Makroekonomi

Sebenarnya Apa Pengaruh Suku Bunga BI untuk Kelas Menengah dan Bawah?  Ini Penjelasannya

  • Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi sinyal penting bagi arah kebijakan ekonomi nasional. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelaku pasar keuangan, tetapi juga menjalar ke berbagai kelompok masyarakat, meski dalam intensitas yang berbeda.
graphic-concept-with-percent-symbol.jpg
Ilustrasi kenaikan suku bunga. (Freepik)

JAKARTA – Naik-turunnya suku bunga bank sentral, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) kerap kali menjadi sorotan dalam konteks perekonomian, khususnya di lapisan pengusaha dan pemerintah. Namun, apa sebenarnya pengaruh dinamika suku bunga terhadap kelompok masyarakat menengah dan bawah? 

Kebijakan BI yang menurunkan suku bunga acuan kembali menjadi sorotan penting di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional. Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 20–21 Mei 2025, BI memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen. Suku bunga Deposit Facility turut diturunkan menjadi 4,75 persen dan Lending Facility menjadi 6,25 persen. 

Langkah ini diambil sebagai respons terhadap inflasi yang terkendali di kisaran target 2,5% ± 1%, serta perlambatan ekonomi pada kuartal I 2025 yang hanya tumbuh 4,87 persen—angka terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Keputusan ini juga mencerminkan upaya bank sentral dalam menstabilkan nilai tukar rupiah sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. 

Namun, bagaimana sebenarnya penurunan suku bunga ini berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas? Apakah semua kalangan akan merasakan manfaatnya? 

Suku Bunga Acuan sebagai Alat Kebijakan Moneter 

Suku bunga acuan yang ditetapkan Bank Indonesia berfungsi sebagai tolok ukur bagi bank-bank komersial dalam menentukan suku bunga kredit dan simpanan. Saat BI menurunkan bunga acuan, bank biasanya akan merespons dengan menurunkan suku bunga pinjaman serta bunga simpanan. 

Dampaknya, biaya pinjaman menjadi lebih murah, sementara keuntungan menabung jadi lebih kecil. Hal ini menciptakan dorongan bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk meningkatkan aktivitas ekonomi melalui konsumsi dan investasi. 

Sebaliknya, bila BI menaikkan bunga acuan, suku bunga kredit meningkat, sehingga masyarakat dan dunia usaha cenderung menahan belanja dan investasi. Kenaikan suku bunga juga mendorong masyarakat untuk menabung lebih banyak, menurunkan permintaan agregat dan pada akhirnya menekan inflasi. 

Dosen UII: Penurunan BI Rate Sinyal Makroekonomi Penting 

Menurut dosen dan peneliti ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, keputusan BI ini bukan semata-mata keputusan teknis, melainkan sinyal makroekonomi penting untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. 

Dalam hasil risetnya pada Jumat, 23 Mei 2025, Listya menilai bahwa kebijakan pelonggaran moneter ini sangat strategis untuk memperkuat sektor riil, yang merupakan sektor paling terdampak pasca-pandemi serta tekanan global. “Ini adalah langkah yang menunjukkan keberpihakan terhadap pemulihan ekonomi masyarakat,” katanya. 

Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa efektivitas kebijakan ini sangat tergantung pada transmisi kebijakan di lapangan serta struktur intermediasi keuangan nasional. 

Dampak Penurunan Suku Bunga bagi Berbagai Kelompok Masyarakat 

Penurunan suku bunga memiliki dampak berlapis pada berbagai kalangan masyarakat, baik pengusaha besar maupun masyarakat berpenghasilan rendah. Berikut rincian dampaknya: 

1. Pengusaha 

Pengusaha skala besar di sektor padat modal seperti manufaktur dan properti diuntungkan dengan turunnya biaya pendanaan. Suku bunga yang lebih rendah memungkinkan mereka mengekspansi usaha atau membiayai proyek baru dengan biaya modal yang lebih murah. 

Sementara itu, pelaku UMKM atau usaha mikro dan kecil juga mendapat peluang lebih besar untuk mengakses kredit dengan bunga lebih ringan. Namun, masih terdapat hambatan dalam bentuk syarat administrasi dan jaminan yang kerap membuat pelaku UMKM tidak serta-merta bisa menikmati penurunan bunga. 

“Penurunan BI Rate ini perlu ditopang dengan strategi fiskal dan kebijakan keuangan mikro agar UMKM benar-benar bisa mengakses dana murah,” ujar Listya. 

2. Konsumen Ritel (Masyarakat Biasa) 

Untuk masyarakat umum, dampak paling langsung dari penurunan suku bunga terasa pada pembiayaan konsumtif seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor. Angsuran yang lebih rendah memberikan ruang bagi rumah tangga untuk memiliki lebih banyak dana tersisa atau disposable income yang bisa digunakan untuk konsumsi lainnya. 

Selain itu, suku bunga pinjaman personal seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan bunga kartu kredit juga ikut menurun. Ini memberikan napas bagi masyarakat yang membutuhkan dana cepat untuk kebutuhan mendesak. 

3. Kelas Menengah 

Masyarakat kelas menengah yang memiliki tabungan dan mulai berinvestasi akan terdorong untuk mencari alternatif imbal hasil yang lebih tinggi karena turunnya bunga deposito. Instrumen seperti saham, obligasi korporasi, dan reksa dana akan menjadi pilihan. 

Namun, peningkatan aktivitas di pasar modal juga bisa membawa risiko volatilitas yang lebih tinggi, terutama bagi investor ritel yang belum berpengalaman. 

4. Kelas Atas 

Kelompok masyarakat kelas atas umumnya lebih luwes dalam mengelola portofolio keuangannya. Penurunan suku bunga membuat mereka terdorong untuk meningkatkan alokasi dana ke instrumen global seperti aset dolar, properti mewah, dan bahkan aset berisiko tinggi seperti private equity atau venture capital. 

Di sisi lain, biaya bunga pinjaman juga menjadi lebih menarik, mendorong mereka untuk mengambil pinjaman korporasi atau pribadi guna memanfaatkan arbitrase suku bunga. 

5. Kelas Bawah 

Dampak langsung penurunan suku bunga terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan rendah cenderung terbatas. Pasalnya, sebagian besar dari mereka masih bergantung pada pinjaman informal seperti rentenir, yang bunganya sangat tinggi dan tidak terpengaruh oleh kebijakan BI. 

Meski demikian, penurunan suku bunga tetap dapat memberikan efek tidak langsung yang positif. Biaya produksi pelaku usaha cenderung turun, sehingga harga kebutuhan pokok dapat stabil. Hal ini bisa memberikan dampak pada kenaikan upah atau penciptaan lapangan kerja baru, yang akhirnya dinikmati oleh pekerja informal dan harian. 

Tantangan Transmisi Suku Bunga: Sticky Interest Rate 

Meskipun BI telah menurunkan suku bunga acuan, penyesuaian suku bunga oleh perbankan tidak selalu berjalan cepat. Fenomena ini dikenal sebagai *sticky interest rate*, di mana bank enggan segera menurunkan bunga kredit karena mempertimbangkan risiko gagal bayar, biaya operasional, dan kebutuhan menjaga margin keuntungan. 

Listya menilai bahwa transmisi kebijakan moneter melalui sektor perbankan masih menghadapi kendala struktural. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2023, penurunan BI Rate belum sepenuhnya diikuti dengan penurunan suku bunga pinjaman bank secara signifikan. 

Sisi Lain: Risiko Jika BI Naikkan Suku Bunga 

Selain skenario pelonggaran moneter, kebijakan sebaliknya yaitu kenaikan suku bunga juga perlu diwaspadai. Jika BI menaikkan suku bunga acuan, maka dampaknya bisa berbalik arah: 

* Menekan Inflasi: Permintaan domestik akan melemah, sehingga tekanan harga dapat berkurang.
* Menarik Modal Asing: Imbal hasil surat utang negara menjadi lebih menarik bagi investor asing, memperkuat nilai tukar rupiah.
* Kredit Lebih Mahal: Biaya pinjaman meningkat, membuat konsumen dan dunia usaha lebih hati-hati dalam berbelanja dan berinvestasi.
* Dorong Masyarakat Menabung: Imbal hasil deposito meningkat, mengurangi konsumsi jangka pendek namun memperkuat cadangan dana di sistem keuangan. 

Namun, kelompok yang paling rentan terhadap kenaikan bunga adalah rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah yang memiliki cicilan KPR, kredit kendaraan, atau utang konsumtif lainnya. 

Kebijakan BI Harus Didukung oleh Reformasi Struktural 

Meski kebijakan moneter BI memainkan peran penting, Listya menekankan bahwa pemulihan ekonomi tidak bisa hanya mengandalkan penurunan suku bunga. Diperlukan dukungan nyata dari sisi fiskal dan reformasi struktural. 

“Investasi tidak hanya bergantung pada bunga pinjaman, tapi juga pada kepastian hukum, iklim bisnis, dan regulasi yang pro-pasar,” jelasnya. 

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menciptakan ekosistem usaha yang kondusif menjadi krusial. Peningkatan belanja infrastruktur, efisiensi birokrasi, dan dukungan terhadap sektor riil akan membuat dampak pelonggaran moneter terasa lebih maksimal di lapangan. 

Kesimpulan 

Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi sinyal penting bagi arah kebijakan ekonomi nasional. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelaku pasar keuangan, tetapi juga menjalar ke berbagai kelompok masyarakat, meski dalam intensitas yang berbeda. 

* Bagi pelaku usaha, suku bunga rendah membuka peluang ekspansi.
* Bagi konsumen, biaya pinjaman lebih murah memberi ruang untuk meningkatkan konsumsi.
* Bagi investor, peluang investasi di pasar modal meningkat, meski risikonya juga bertambah.
* Bagi kelas bawah, dampaknya lebih bersifat tidak langsung melalui stabilitas harga dan perluasan lapangan kerja. 

Namun demikian, agar kebijakan ini benar-benar efektif dalam mendorong pemulihan ekonomi, diperlukan sinergi kebijakan antara moneter dan fiskal, serta pembenahan struktural di sektor keuangan dan dunia usaha. Tanpa hal tersebut, manfaat dari penurunan suku bunga bisa menjadi tidak optimal.