Seabad Deklarasi Balfour: Inggris, Kanada, dan Australia Serentak Akui Palestina
- Keputusan Inggris, Kanada, dan Australia mengakui Palestina dinilai sebagai koreksi atas warisan Deklarasi Balfour 1917 yang kontroversial dan penindasan terhadap bangsa Arab, apa sebenernya makna dibalik Deklarasi Balfour?

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID — Tanggal 21 September 2025 tercatat sebagai tonggak baru dalam sejarah panjang konflik Palestina–Israel. Untuk pertama kalinya, tiga negara Barat yaitu Inggris, Kanada, dan Australia secara bersamaan mengumumkan pengakuan resmi terhadap kedaulatan Palestina.
Langkah bersejarah ini diumumkan hanya beberapa hari sebelum Sidang Majelis Umum PBB di New York, dan dinilai penting, baik secara simbolis maupun politis. Di London, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyebut pengakuan tersebut sebagai upaya untuk “menghidupkan kembali harapan perdamaian dan solusi dua negara.” Ia mendesak agar gencatan senjata segera diberlakukan di Gaza serta menyerukan pembebasan sandera oleh Hamas.
“Hari ini, demi menghidupkan kembali harapan perdamaian bagi Palestina dan Israel, Britania Raya secara resmi mengakui Negara Palestina,” ujar Starmer dalam pernyataan resminya, dikutip Senin, 22 September 2025.
Dari Ottawa, Perdana Menteri Kanada Mark Carney menegaskan bahwa negaranya mengakui Palestina dan siap menawarkan kemitraan untuk membangun masa depan damai bagi rakyat Palestina dan Israel.
Sementara itu, di Canberra, Perdana Menteri Anthony Albanese bersama Menteri Luar Negeri Penny Wong menekankan bahwa pengakuan tersebut merupakan dukungan terhadap “aspirasi sah dan lama rakyat Palestina untuk memiliki negara sendiri.” Meski menuai respons keras dari Tel Aviv dan Washington, keputusan tiga negara itu dipandang membuka celah baru dalam peta diplomasi internasional.
Bayang-Bayang Deklarasi Balfour 1917
Pengakuan Inggris terhadap Palestina hari ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang yang berakar pada Deklarasi Balfour tahun 1917. Dokumen tersebut lahir di tengah Perang Dunia I, ketika Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour mengirim surat kepada Lord Lionel Walter Rothschild, tokoh komunitas Yahudi Inggris, yang berisi dukungan Kerajaan Inggris terhadap pendirian “national home for the Jewish people” di Palestina—wilayah yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman.
Namun, deklarasi itu sarat kontroversi. Surat tersebut hanya menyebutkan bahwa penduduk non-Yahudi di Palestina dijamin hak sipil dan agamanya, tanpa memberikan pengakuan atas hak politik bangsa Arab Palestina, meski mereka merupakan mayoritas. Inilah yang kemudian dianggap sebagai “dosa asal” konflik Israel–Palestina yang tak kunjung usai.
Setelah Perang Dunia I, Inggris memperoleh Mandat Palestina (1922–1948) dari Liga Bangsa-Bangsa. Dalam periode itu, arus imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat tajam akibat antisemitisme di Eropa dan tragedi Holocaust. Pertumbuhan populasi Yahudi yang mendapat dukungan otoritas mandat Inggris memicu pemberontakan rakyat Palestina pada 1936–1939, yang ditindas dengan keras dan memperdalam luka sejarah bangsa Palestina.
Deklarasi Balfour juga kerap dipandang sebagai janji ganda Inggris. Di satu sisi, melalui Surat Menyurat Hussein–McMahon (1915–1916), Inggris berjanji kepada bangsa Arab untuk mendukung kemerdekaan mereka jika membantu melawan Ottoman. Namun, di sisi lain, Inggris justru memberi dukungan politik kepada gerakan Zionis.
Ketegangan itu mencapai puncaknya pada peristiwa Nakba 1948, ketika sekitar 750.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka menyusul berdirinya negara Israel.
Sejak saat itu, Deklarasi Balfour dipandang bangsa Palestina sebagai akar ketidakadilan, sementara bagi gerakan Zionis, dokumen tersebut adalah landasan diplomatik internasional pertama yang memberi legitimasi atas berdirinya negara Yahudi.
Bagi banyak pengamat, keputusan Inggris hari ini dipandang sebagai bentuk koreksi moral terhadap warisan sejarah kelam tersebut.
“Inggris berutang lebih dari sekadar pengakuan. Mereka harus meminta maaf dan memberi reparasi,” ujar Victor Kattan, pakar hukum internasional dari University of Nottingham.
Lebih dari satu abad sejak Balfour, dokumen itu masih menjadi simbol yang membelah persepsi: bagi Israel dan pendukungnya, ia adalah tonggak penting bagi terwujudnya negara Yahudi; sementara bagi Palestina dan dunia Arab, deklarasi tersebut tetap menjadi simbol pengkhianatan atas hak mereka yang sudah berabad-abad mendiami tanah tersebut.

Muhammad Imam Hatami
Editor
