Tren Global

Sanksi IOC, Anti-imperialisme dan Kelahiran Ganefo

  • Indonesia kembali disanksi IOC setelah menolak atlet Israel di Kejuaraan Dunia Senam 2025, mengulang sejarah serupa pada era Sukarno tahun 1962.
a_68fa1be58dd13.jpg
Gegap gempita menyambut Ganefo. (Perpustakaan Nasional RI.)

JAKARTA, TRENASIA.ID -  Sejarah seolah berulang. Lebih dari enam dekade setelah Indonesia di bawah Presiden Sukarno dijatuhi sanksi oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC), kini negeri ini kembali harus menerima hukuman serupa. 

Kali ini, alasannya masih sama, penolakan terhadap keikutsertaan atlet Israel. Pada tanggal 22 Oktober 2025, IOC mengumumkan serangkaian sanksi terhadap Indonesia setelah pemerintah menolak memberikan visa kepada tim senam Israel yang dijadwalkan bertanding dalam Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta.

Dalam pernyataan resminya, IOC menyebut langkah pemerintah Indonesia telah melanggar prinsip non-diskriminasi dan netralitas politik sebagaimana diatur dalam Piagam Olimpiade. 

Sebagai konsekuensinya, IOC menghentikan semua pembicaraan dengan Indonesia terkait hak tuan rumah Olimpiade 2036 dan Youth Olympics 2030.

Lebih jauh lagi, IOC merekomendasikan seluruh federasi olahraga internasional untuk tidak menyelenggarakan kompetisi di Indonesia sampai pemerintah memberikan jaminan tertulis bahwa tidak akan ada diskriminasi terhadap atlet berdasarkan kewarganegaraan. 

Baca juga : Harga Emas Antam Kembali Melesat Jelang Akhir Pekan

Sanksi ini menjadi pukulan telak bagi ambisi Indonesia yang selama beberapa tahun terakhir gencar melobi untuk menjadi tuan rumah Olimpiade pertama di Asia Tenggara.

Keputusan tersebut bermula dari kebijakan pemerintah Indonesia yang menolak mengeluarkan visa bagi atlet Israel. Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa langkah itu merupakan konsistensi dari kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak mengakui kedaulatan Israel serta bentuk dukungan terhadap perjuangan Palestina. 

Menurut Yusril, Indonesia berdiri di sisi keadilan dan kemanusiaan, utamanya berkaitan dengan Genosida Israel atas rakyat Palestina. Namun bagi IOC, sikap tersebut bertentangan dengan semangat universal olahraga. 

“Olimpiade tidak mengenal batas politik. Semua atlet berhak bertanding atas nama sportivitas,” demikian pernyataan resmi organisasi yang bermarkas di Lausanne, Swiss, itu.

Sejarah Berulang

Bagi yang mengikuti sejarah, peristiwa ini bukan hal baru. Indonesia pernah berada di posisi serupa pada tahun 1962, ketika menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 di Jakarta. 

Kala itu, pemerintahan Presiden Sukarno juga menolak partisipasi atlet Israel dan Taiwan (Republik Tiongkok) dengan alasan politik luar negeri anti-imperialisme. Akibatnya, IOC menjatuhkan sanksi suspensi terhadap Indonesia. Namun alih-alih tunduk, Sukarno memilih melawan.

Sebagai bentuk perlawanan, Sukarno meluncurkan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pada tahun 1963. Ajang ini menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi Barat dalam olahraga internasional, sekaligus wadah bagi negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka untuk menegaskan eksistensinya. 

“Ganefo bukan sekadar olahraga, tapi gerakan politik,” ujar Sukarno kala itu. Ia menggambarkan Ganefo sebagai wadah bagi kekuatan baru yang sedang bangkit (New Emerging Forces) untuk menentang hegemoni negara-negara lama (Old Established Forces). 

Baca juga : Pembukaan LQ45 Hari Ini: AKRA dan MBMA Meroket, AMMN Ambles

Meskipun hanya berlangsung beberapa kali, Ganefo menorehkan bab penting dalam sejarah politik olahraga dunia, sebuah momen ketika olahraga dan ideologi bersatu di bawah semangat revolusioner.

Enam puluh tiga tahun berselang, motif penolakan terhadap atlet Israel masih berakar pada solidaritas politik luar negeri Indonesia. Namun, respons terhadap sanksi IOC kini berbeda. 

Jika pada era Sukarno Indonesia membalas dengan konfrontasi dan menciptakan “Olimpiade tandingan,” pemerintahan saat ini memilih bersikap hati-hati dan tetap berpartisipasi dalam sistem olahraga global. 

Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam pernyataannya menegaskan bahwa Indonesia akan “tetap menjunjung nilai sportivitas dan keteraturan internasional, sambil menjaga ketertiban umum serta prinsip politik luar negeri.”