Bursa Saham

Saham Bank BUMN Telah Diskon hingga 30 Persen, Momentum Beli?

  • Harga saham bank-bank pelat merah sedang berada di titik lemah, meskipun jadwal pembagian dividen jumbo sudah di depan mata. Tapi, justru kondisi ini dinilai sebagai peluang akumulasi oleh analis pasar.
Ilustrasi aktivitas di bank BUMN.
Ilustrasi aktivitas di Bank BUMN. (TrenAsia)

JAKARTA – Harga saham bank-bank pelat merah sedang berada di titik lemah, meskipun jadwal pembagian dividen jumbo sudah di depan mata. Tapi, justru kondisi ini dinilai sebagai peluang akumulasi oleh analis pasar. Diskon harga saham hingga 30% dari level tertingginya disebut membuka ruang penguatan signifikan dalam 12 bulan ke depan.

Berdasarkan data Bloomberg pada Senin, 21 April 2025, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) melemah 0,55% ke Rp3.620, sementara PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) turun 1,24% ke Rp3.990. 

Sementara itu, harga saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) juga tertekan lebih dalam 2,56% ke Rp920. Praktis, hanya saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang masih naik tipis 0,22% ke Rp4.610.

Padahal, keempat bank tersebut akan membagikan dividen besar dalam pekan ini. BBRI dan BMRI akan mencairkan dividen pada 23 April, masing-masing sebesar Rp208,4 dan Rp466,18 per saham. Disusul BBNI dan BBTN pada 25 April dengan dividen Rp374,05 dan Rp53,57 per saham.

Namun alih-alih reli menjelang pembagian dividen, harga saham-saham ini justru terkoreksi. Di sisi lain, konsensus analis Bloomberg memperkirakan bahwa harga saham BBRI masih berpotensi naik hingga Rp4.905 (return 35,5%) dalam 12 bulan ke depan. BMRI bahkan diproyeksi menguat ke Rp6.658 (return 44,4%), disusul BBNI ke Rp5.625 (return 41%), dan BBTN ke Rp1.317 (return 43,2%).

JP Morgan dalam riset terbarunya menyebut bahwa saham-saham bank besar saat ini tengah berada dalam fase undervalued, dengan koreksi 22%–30% dari puncaknya dalam 12 bulan terakhir. Koreksi ini dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap likuiditas ketat, tekanan pada margin bunga bersih (net interest margin/NIM), dan potensi kenaikan biaya kredit.

Dengan asumsi biaya kredit mencapai 30 bps pada 2025, potensi penurunan EPS diperkirakan mencapai 3,4% pada BBNI, 2,7% BRI, 2,3% BBRI, dan 1,4% BBCA. “Setiap kenaikan biaya kredit 10 basis poin bisa memangkas laba per saham (EPS) sebesar 1%–3%,” tulis JP Morgan dikutip pada Selasa, 22 April 2025. 

Meskipun ada tekanan jangka pendek, prospek industri perbankan masih bergantung pada pemulihan ekonomi. Tim Ekonomi BCA memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 sebesar 4,9% YoY, sedikit lebih rendah dari 2024 yang mencapai 5,03%. Kredit perbankan diproyeksi tumbuh 6%–10%, sementara DPK berada pada kisaran 8%–12% YoY.

Bank juga cenderung lebih selektif dalam menyalurkan kredit, terutama untuk sektor-sektor yang dinilai prospektif seperti layanan kesehatan, pendidikan, properti, dan informasi–komunikasi. Insentif kebijakan seperti program makan bergizi gratis dan relaksasi PPN properti dinilai akan membantu mendorong permintaan kredit.

Dengan valuasi saat ini yang relatif rendah, ditambah prospek pemulihan ekonomi dan pembagian dividen yang atraktif, saham bank BUMN disebut-sebut sudah berada di “zona beli”. Namun, risiko dari sisi regulasi dan biaya kredit tetap menjadi catatan penting bagi investor jangka menengah.