Revolusi Industri dan Jejak Perjuangan Buruh
- Pada masa awal Revolusi Industri, kondisi kerja sangat buruk. Buruh, termasuk perempuan dan anak-anak bekerja hingga 12–16 jam sehari dengan upah rendah dan tanpa perlindungan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA – Revolusi Industri yang dimulai pada pertengahan abad ke-18 menandai babak baru dalam sejarah peradaban manusia. Dari desa-desa agraris yang tenang, masyarakat bertransformasi menjadi komunitas industri yang hiruk-pikuk.
Mesin uap, rel kereta api, dan pabrik-pabrik besar bermunculan di Inggris, lalu menyebar ke Eropa, Amerika, hingga Asia. Namun, kemajuan teknologi ini tidak datang tanpa ongkos sosial. Eksploitasi buruh menjadi kenyataan pahit yang menyertai proses modernisasi.
Pada masa awal Revolusi Industri, kondisi kerja sangat buruk. Buruh—termasuk perempuan dan anak-anak—bekerja hingga 12–16 jam per hari dengan upah rendah dan tanpa perlindungan. Ruang kerja minim cahaya dan ventilasi, kecelakaan kerja kerap terjadi, dan tidak tersedia jaminan kesehatan. Sistem kapitalisme industri menempatkan buruh sebagai roda penggerak yang mudah diganti, bukan sebagai manusia dengan hak dan martabat.
Munculnya Gerakan Buruh
Dari penderitaan ini tumbuh kesadaran kolektif yang kemudian berkembang menjadi gerakan buruh. Pada awal abad ke-19, kelompok seperti Luddites di Inggris melakukan perlawanan terhadap mesin-mesin yang dianggap menggantikan tenaga kerja manusia. Meski bersifat spontan dan destruktif, aksi ini menjadi simbol awal keresahan terhadap sistem yang dianggap tidak adil.
Perjuangan buruh terus berkembang menjadi lebih terorganisir. Lahirnya serikat buruh dan berkembangnya gerakan sosialisme menandai babak baru dalam advokasi hak-hak pekerja. Tuntutan terhadap jam kerja yang layak, upah minimum, jaminan kesehatan, serta hak untuk berorganisasi mulai digaungkan secara luas.
Momentum penting terjadi pada 1 Mei 1886 di Amerika Serikat, ketika ribuan buruh melakukan aksi menuntut pemberlakuan 8 jam kerja per hari. Insiden ini kemudian melahirkan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) yang diperingati setiap tahun.
Di Indonesia, jejak perjuangan buruh dimulai sejak era kolonial, ditandai dengan berdirinya serikat buruh seperti Personeel Fabriek Bond (PFB) dan Sarekat Islam yang turut memperjuangkan hak buruh pribumi.
Pasca kemerdekaan, perjuangan buruh mengalami pasang surut, dipengaruhi oleh dinamika politik dan ekonomi nasional. Namun, semangat perlawanan terhadap ketimpangan tetap menyala—terlihat dari berbagai aksi unjuk rasa dan advokasi terkait isu upah layak, sistem kerja outsourcing, hingga jaminan sosial.
Kini, Revolusi Industri 4.0 kembali menguji nasib para buruh. Otomatisasi dan digitalisasi mengancam sektor kerja tradisional, sementara sistem kerja fleksibel seperti gig economy menimbulkan tantangan baru dalam hal kepastian kerja dan perlindungan hukum.
Di tengah tantangan ini, perjuangan buruh tidak boleh berhenti. Keberadaan serikat pekerja, regulasi ketenagakerjaan yang adil, dan solidaritas lintas sektor menjadi kunci untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak kembali mengorbankan manusia.
Dari asap pabrik masa lalu hingga dunia digital masa kini, jejak perjuangan buruh adalah pengingat bahwa keadilan sosial tidak pernah datang dengan mudah. Ia harus diperjuangkan bersama—oleh mereka yang bekerja, dan oleh mereka yang peduli.

Ananda Astridianka
Editor
