Redenominasi Rupiah: Jurus Berantas Korupsi atau Ilusi Stabilitas yang Mahal?
- PMK 70 Kemenkeu targetkan RUU Redenominasi 2027. BI jamin stabilitas. Ekonom terbelah: langkah transparansi atau buang anggaran?

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Rencana pemerintah untuk memangkas tiga angka nol dari mata uang Rupiah (redenominasi) kini menjadi agenda resmi. Rencana ini telah tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025-2029.
Pemerintah menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Harga Rupiah ini rampung pada 2027. Bank Indonesia (BI) menegaskan langkah ini hanya penyederhanaan dan akan dilakukan secara hati-hati untuk menjaga stabilitas ekonomi serta kredibilitas Rupiah.
Namun, di balik rencana teknis ini, muncul perdebatan pandangan yang tajam di kalangan ekonom. Satu kubu melihatnya sebagai strategi membersihkan uang haram, sementara kubu lain menilainya sebagai ilusi yang membuang-buang anggaran negara.
- Baca Juga: Kritik Kehadiran Indonesia dalam KTT COP30
1. Rencana Resmi dan Target Pemerintah
Rencana redenominasi rupiah kini resmi masuk Rencana Strategis Kemenkeu 2025-2029 (PMK No. 70). RUU Redenominasi ini merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027.
Dokumen tersebut menjelaskan empat urgensi RUU ini. Tujuannya adalah untuk efisiensi perekonomian, menjaga kesinambungan perkembangan ekonomi, nilai rupiah yang stabil, serta meningkatkan kredibilitas mata uang Rupiah secara keseluruhan di mata internasional.
2. Pandangan Pro: Strategi Anti Korupsi
Pengamat ekonomi, Ibrahim Assuaibi, menilai redenominasi adalah strategi besar pemerintahan Prabowo. Langkah ini dinilai bukan hanya teknis moneter, tetapi juga untuk membersihkan peredaran uang gelap yang marak di Indonesia.
- Baca Juga: Merger Gojek-Grab Dikonfirmasi Mensesneg, Saham GOTO Langsung Naik
Ia menjelaskan proses penukaran uang nanti akan menuntut setiap warga menunjukkan identitas diri (KTP). Mekanisme penukaran berbasis identitas inilah yang akan memudahkan pelacakan sumber dana dan mendukung transparansi fiskal.
"Cara yang tepat adalah redenominasi, pemangkasan harga rupiah dari seribu menjadi satu rupiah," kata Ibrahim, Senin, 10 November 2025. "Maka pada saat menukar uang... di KTP inilah nanti akan ketahuan dari siapa, uang siapa."
3. Pandangan Kontra: Ilusi Mahal Tanpa Dampak Riil
Pandangan berbeda datang dari Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi. Ia menilai redenominasi adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam memprioritaskan hal esensial, yaitu memperbaiki produktivitas nasional untuk mengejar target pertumbuhan 8 persen.
Ia berpendapat, narasi bahwa redenominasi akan mempermudah pencatatan tidak disertai bukti empiris. Syafruddin juga menyoroti biaya besar yang dibutuhkan negara untuk mencetak ulang seluruh uang kertas dan koin, serta perbaikan sistem perbankan.
"Indonesia tidak butuh ilusi stabilitas dalam bentuk nominal baru. Indonesia butuh realitas pertumbuhan yang bermakna bagi rakyat," ucap Syafruddin dalam keterangan tertulisnya pada Minggu, 9 November 2025.
"Produktivitas nasional tidak akan membaik hanya karena angka di mata uang dirapikan. Yang dibutuhkan adalah efisiensi birokrasi, kepastian hukum, dan kebijakan yang mendorong pelaku usaha untuk berkembang,” ujar Syafruddin.
4. Sikap Resmi Bank Indonesia (BI)
Di tengah perdebatan ini, Bank Indonesia menegaskan posisinya. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyatakan redenominasi hanya menyederhanakan digit. Langkah ini dipastikan tidak akan mengurangi daya beli masyarakat atau nilai tukar Rupiah.
Tujuannya murni untuk efisiensi transaksi dan memperkuat kredibilitas Rupiah. "Bank Indonesia akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi selama proses redenominasi berlangsung," tambah Ramdan.
"Proses redenominasi direncanakan secara matang dan melibatkan koordinasi erat antarseluruh pemangku kepentingan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin, 10 November 2025.
5. Konteks Urgensi dan Risiko Kebijakan
Namun, Syafruddin mencatat bahwa di banyak negara, redenominasi dilakukan karena kebutuhan mendesak seperti hiperinflasi. Namun, Indonesia saat ini tidak berada dalam situasi krisis tersebut, sehingga urgensinya dipertanyakan oleh sebagian pihak.
Rencana ini juga pernah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) pada Juli 2025 karena dianggap menyentuh ranah moneter dan fiskal. MK memutuskan langkah ini hanya bisa dilakukan lewat undang-undang baru, yang kini sedang ditempuh oleh pemerintah.

Alvin Bagaskara
Editor
