Perbankan

Presiden Dorong Kredit ke Sektor Manufaktur, Apa Risikonya?

  • Meski prospek sektor manufaktur cukup cerah, OJK tetap mengingatkan akan potensi risiko yang bisa mengganggu kelangsungan dan pertumbuhan industri ini. Terutama risiko yang bersumber dari dinamika global. 
plant-production-industry-manufactures-preview.jpg
Ilustrasi industri manufaktur. (Hippopx)

JAKARTA — Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam sarasehan nasional baru-baru ini mengenai pentingnya penyaluran kredit ke sektor manufaktur direspons Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan sektor manufaktur memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional dan menunjukkan tren pemulihan yang positif dalam beberapa tahun terakhir. 

Menurut Dian, sektor manufaktur Indonesia telah mengalami dinamika cukup signifikan dalam lima tahun terakhir. Setelah sempat terpukul oleh pandemi COVID-19, kinerja kredit industri pengolahan menunjukkan pemulihan yang menggembirakan. 

“Setelah terkontraksi akibat pandemi, kredit ke industri pengolahan membaik signifikan dan tumbuh 16,99% secara tahunan (yoy) pada Juli 2022. Walaupun sempat terkoreksi menjadi 1,46% (yoy) pada Juli 2023, tren positif kembali berlanjut hingga Februari 2025,” ujar Dian melalui jawaban tertulis, dikutip Jumat, 2 Mei 2025. 

Ia menambahkan, pada Februari 2025, pertumbuhan kredit sektor manufaktur tercatat naik sebesar 11,46% secara tahunan. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross tercatat sebesar 2,93%, dan Loan at Risk (LaR) sebesar 10,08%. Menurut Dian, angka-angka ini menunjukkan penyaluran kredit ke sektor ini tetap berada dalam batas yang sehat dan terkendali. 

PMI Manufaktur Konsisten di Zona Ekspansif 

Di sisi lain, Purchasing Managers'Index (PMI) Manufaktur Indonesia juga mencerminkan optimisme pelaku usaha. “Pada Maret 2025, PMI Manufaktur Indonesia tercatat 52,4. Walaupun sedikit menurun dari bulan sebelumnya (53,6), PMI masih berada di zona ekspansif selama empat bulan berturut-turut,” ujar Dian. 

Zona ekspansif dalam PMI mengindikasikan bahwa sektor manufaktur mengalami pertumbuhan dan perluasan kegiatan produksi, yang menjadi sinyal positif bagi perbankan dan perekonomian nasional secara keseluruhan. 

Potensi Pertumbuhan dan Multiplier Effect 

Sektor manufaktur dinilai memiliki potensi besar untuk terus tumbuh. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 19–21%, menjadikannya salah satu motor utama penggerak ekonomi Indonesia. 

“Sektor ini berperan dalam memenuhi kebutuhan barang konsumsi seperti pangan, pakaian, elektronik, otomotif, dan lain-lain. Selain itu, sektor manufaktur juga menjadi penopang ekspor barang jadi ke berbagai negara dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” jelas Dian. 

Multiplier effect dari sektor ini pun sangat luas, mulai dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan konsumsi rumah tangga, hingga penambahan pendapatan negara dari ekspor dan pajak. 

Baca Juga: Naik 16 Persen, Kredit Bank Mandiri Tembus Rp1.672 Triliun

Insentif dan Kebijakan Khusus untuk Dorong Kredit Manufaktur 

Menjawab kebutuhan untuk meningkatkan pembiayaan sektor manufaktur, OJK telah menyiapkan sejumlah kebijakan prudensial yang mendukung perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor ini. 

Salah satunya adalah kemudahan dalam penilaian kualitas kredit. “Kredit manufaktur dengan plafon hingga Rp5 miliar dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga,” terang Dian. 

Selain itu, OJK juga memberikan pelonggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) khusus untuk dana bank kepada BUMN dalam rangka pembiayaan sektor manufaktur. “Limitnya bisa mencapai 30% dari modal bank, lebih tinggi dibandingkan dengan penyediaan dana kepada pihak terkait bank yang hanya 10% atau pihak lain non-BUMN yang hanya 25%,” ujarnya. 

Kredit yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi milik pemerintah daerah maupun pusat (BUMN/BUMD) juga dapat dikategorikan sebagai program pemerintah. Dengan demikian, kredit ini bisa mendapat pengecualian dari BMPK, memberikan keleluasaan lebih bagi bank untuk menyalurkan pembiayaan. 

Risiko Global dan Pentingnya Mitigasi 

Meski prospek sektor manufaktur cukup cerah, OJK tetap mengingatkan akan potensi risiko yang bisa mengganggu kelangsungan dan pertumbuhan industri ini. Terutama risiko yang bersumber dari dinamika global. 

“Salah satu risiko utama adalah kebijakan tarif impor global, termasuk pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat terhadap produk Indonesia yang mencapai 32%,” ungkap Dian. Menurutnya, hal ini akan berdampak pada sektor manufaktur yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor ke AS. 

Ia menekankan pentingnya Indonesia mempertahankan daya saing produknya dibanding negara lain dan terus memantau perkembangan kebijakan global yang dapat memengaruhi ekspor dan daya saing industri nasional. 

Untuk mengantisipasi perubahan kondisi baik di pasar global maupun domestik, OJK secara konsisten memberikan arahan kepada perbankan agar tetap menjalankan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang kuat. 

“OJK selalu mengimbau bank agar menyusun skenario, menyiapkan mitigasi risiko yang tepat, dan tidak lengah dalam memperhitungkan semua kemungkinan yang bisa berdampak pada portofolio kredit mereka,” tegas Dian.