PM Takaichi Naik, Jepang Bakal Punya Militer Seperti Era PD II Lagi?
- Sanae Takaichi resmi menjadi Perdana Menteri perempuan pertama Jepang. Ia bertekad memperkuat pertahanan nasional dengan menaikkan anggaran militer dan mendorong revisi Pasal 9 Konstitusi.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Sanae Takaichi resmi menjabat sebagai Perdana Menteri ke-104 Jepang, sekaligus menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi dalam sejarah politik Negeri Sakura.
Politisi konservatif dari Partai Demokrat Liberal (LDP) ini memenangkan pemungutan suara di parlemen dengan 237 suara di majelis rendah dan 125 suara di majelis tinggi.
Langkah Takaichi menandai perubahan besar dalam arah kebijakan Jepang. Dengan latar belakang politik nasionalis dan sikap keras terhadap isu keamanan, Takaichi bertekad membawa Jepang ke posisi yang lebih tegas dalam pertahanan dan geopolitik Asia Timur.
Dilansir laman Forbes, Rabu, 22 Oktober 2025, dalam pidato perdananya, Takaichi menegaskan rencana untuk menaikkan anggaran militer Jepang dari 1% menjadi 2% dari PDB, serta mendorong amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang.
Baca juga : Abaikan Purbaya, BI Pilih Tahan Suku Bunga 4,75 Persen
Pasal ini, yang dikenal sebagai “Pasal Perdamaian”, lahir pasca-Perang Dunia II di bawah pengawasan Amerika Serikat, dan secara tegas melarang Jepang memiliki angkatan perang serta berperang sebagai alat diplomasi negara.
Selama lebih dari tujuh dekade, Pasal 9 menjadi simbol perdamaian Jepang. Namun, di bawah tekanan ancaman regional dari China, Korea Utara, dan Korea Selatan, interpretasi pasal ini mulai melunak. Jepang membentuk Japan Self-Defense Forces (JSDF) sejak 1950-an sebagai kekuatan pertahanan murni, bukan militer ofensif.
Kini, di bawah kepemimpinan Takaichi, langkah menuju remiliterisasi penuh tampak semakin nyata. Ia menilai bahwa Jepang perlu memiliki kemampuan pertahanan yang “nyata dan mandiri” agar tidak sepenuhnya bergantung pada payung keamanan Amerika Serikat.
Kekhawatiran China dan Dampak Geopolitik
Kenaikan Takaichi ke kursi perdana menteri langsung memicu kekhawatiran di Beijing. China menilai kebijakan kerasnya berpotensi menghidupkan kembali semangat militerisme Jepang yang pernah memicu konflik besar di Asia pada era Perang Dunia II.
Media pemerintah China bahkan menyebut bahwa Jepang kini “berada di ambang perubahan bersejarah dalam politik pasca-perang.”
“Kebangkitan Takaichi telah disaksikan dengan cemas di Beijing. Reputasinya sebagai sosok yang gigih dan berani memperjuangkan gagasan remiliterisasi Jepang telah mendahuluinya dan tampaknya telah mengguncang Beijing,” tulis laman Forbes dalam laporannya.
Baca juga : Melemah 13,60 Poin, LQ45 Ditutup di 806,30 Poin
Hubungan Jepang-China selama ini sudah tegang akibat sengketa wilayah di Laut China Timur dan rivalitas ekonomi di kawasan Indo-Pasifik. Dengan Takaichi yang dikenal sebagai tokoh “hawkish”, ketegangan ini diperkirakan akan meningkat, terutama jika amandemen Pasal 9 benar-benar disahkan.
Langkah Sanae Takaichi menandai babak baru dalam sejarah Jepang modern, bukan hanya karena ia menjadi perempuan pertama yang memimpin negara tersebut, tetapi juga karena tekadnya untuk mengubah fondasi konstitusional yang telah membatasi Jepang sejak 1947.
Jika revisi Pasal 9 benar-benar terjadi, Jepang akan memiliki legitimasi penuh untuk membangun kekuatan militer seperti negara besar lainnya. Hal ini berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan di Asia Timur, sekaligus menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah Jepang sedang menuju kebangkitan militer seperti era Perang Dunia II, atau sekadar menyesuaikan diri dengan dinamika keamanan global yang semakin kompleks?

Chrisna Chanis Cara
Editor
