Tren Ekbis

Pihak Asing Gunakan LSM dan Perang Narasi untuk Lemahkan Industri Strategis Nasional

  • Ia menyayangkan banyak LSM yang tidak independen, melainkan digerakkan oleh pendanaan dan agenda luar negeri, sehingga sering kali bertentangan dengan kepentingan nasional.
Demo Buruh Rokok Keemenkes - Panji 2.jpg
Ribuan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) menggelar aksi unjuk rasa nasional di depan Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta Selatan, Selasa, 10 Oktober 2024.  Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA – Ancaman intervensi asing terhadap kedaulatan ekonomi nasional semakin nyata. Sejumlah tokoh dan pakar pertahanan menyoroti strategi sistematis yang digunakan pihak asing untuk melemahkan industri strategis nasional, seperti industri tembakau dan kelapa sawit, melalui perang narasi dan infiltrasi kebijakan.

Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Donny Ermawan mengungkapkan bahwa bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara kini hadir dalam wujud yang lebih modern, yakni melalui Narrative and Legal Warfare (NLW).

"Tujuan dari dua bentuk perang tersebut jelas, memengaruhi opini publik, memanipulasi persepsi, menciptakan polarisasi, hingga mencapai tujuan strategis tertentu yang merugikan kepentingan nasional," ujarnya dalam Dialog Publik bertajuk “Defence Intellectual Community: Memperkokoh Narasi dan Tatanan Negara untuk Kedaulatan dan Kesejahteraan Bangsa”, Rabu, 24 September 2025.

Donny menegaskan bahwa sektor perkebunan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 menjadi salah satu sasaran utama intervensi asing. Ia menjelaskan bahwa sektor ini memiliki peran krusial bagi perekonomian nasional, bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara, tetapi juga sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang. Komoditas yang termasuk di dalamnya antara lain kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, tembakau, dan berbagai hasil perkebunan lainnya.

Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Satya Arinanto menyoroti peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap dimanfaatkan sebagai alat intervensi asing. "Saya pernah memposisikan bahwa LSM itu bisa menjadi pilar demokrasi. Tapi LSM yang saya inginkan itu adalah LSM yang mandiri," tegasnya.

Ia menyayangkan banyak LSM yang tidak independen, melainkan digerakkan oleh pendanaan dan agenda luar negeri, sehingga sering kali bertentangan dengan kepentingan nasional.

Senada, Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar FHUI mengungkapkan bahwa proksi asing bahkan bisa menyusup ke dalam pemerintahan untuk menekan industri strategis nasional. Ia mencontohkan pelemahan industri tembakau melalui perjanjian internasional dan kampanye negatif, termasuk dugaan masuknya agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) secara tidak langsung dalam kebijakan Kementerian Kesehatan.

"Mereka menggunakan proksi. Proksinya siapa? Kementerian kita sendiri," tegas Hikmahanto. Padahal, industri tembakau dan kelapa sawit memiliki peran vital dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Wakil Ketua Komisi I DPR RI dan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pertahanan RI, Dr. Dave Laksono menyoroti penggunaan perang narasi melalui kanal komunikasi modern yang memanfaatkan isu global untuk melemahkan posisi Indonesia. "Narasi negatif seringkali diciptakan untuk memecah belah. Kekuatan media dan narasi ini digunakan untuk menyerang lawan-lawan, baik di tingkat domestik maupun global," jelasnya.

Dari perspektif ekonomi pertanian, Prof. Bungaran Saragih, Guru Besar IPB University memberikan peringatan serius terhadap keberlangsungan sektor pertanian dari hulu hingga hilir. Ia menekankan bahwa sektor agribisnis merupakan satu ekosistem yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu bagian dilemahkan, maka ketahanan pangan dan kedaulatan ekonomi nasional terancam.

"Tanpa ketahanan pangan, kita tidak punya kedaulatan. Kalau kita tidak mau berdaulat, maka 5–10 tahun yang akan datang, sistem pertahanan kita harus diubah," imbuhnya.

Bungaran juga mengingatkan bahwa tanpa proteksi serius terhadap sektor hilir seperti tembakau dan sawit, Indonesia berisiko mengalami deindustrialisasi dan stagnasi ekonomi di angka 5%, jauh dari target pemerintah sebesar 8%.

Tags: