Peta Panas Laut China Selatan : Perseteruan China-AS, Akar Konflik, dan Skenario Masa Depan
- China menyebut AS “pengganggu terbesar” di Laut China Selatan, menyoroti pengerahan rudal, armada militer, dan standar ganda UNCLOS. Simak akar konflik dan skenario masa depan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terbaru, Duta Besar China untuk PBB, Fu Cong, melontarkan kritik tajam terhadap Amerika Serikat dengan menyebutnya sebagai “pengganggu terbesar” perdamaian di Laut China Selatan.
Ia menuduh AS telah menempatkan rudal jarak menengah berbasis darat di kawasan, mengirim armada laut dan udara secara besar-besaran untuk pengintaian serta latihan militer, dan belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
China juga menyampaikan penghormatan terhadap kedaulatan Panama dan netralitas permanen Terusan Panama sebagai jalur air internasional. Dalam pernyataannya, Fu mengajak AS untuk melakukan introspeksi dan bertindak dengan itikad baik sebagai kekuatan besar dunia.
"AS telah menempatkan persenjataan ofensif di kawasan tersebut, termasuk rudal jarak menengah berbasis darat, dan berulang kali mengirimkan armada laut serta udara besar-besaran untuk melakukan pengintaian dan latihan militer di Laut China Selatan," ujar Fu Cong, kala pertemuan Dewan Keamanan PBB, Senin, 12 Juni 2025.
Ia juga mengecam standar ganda dalam penerapan UNCLOS dan menyerukan interpretasi serta implementasi yang utuh dan tulus. China mendorong penyelesaian damai atas sengketa melalui konsultasi langsung antar pihak terkait, serta mengajak kerja sama internasional dalam menghadapi isu global seperti kejahatan maritim, perlindungan lingkungan laut, perubahan iklim, dan kenaikan permukaan laut.
Baca juga : Prabowo Dikritik Tentang Laut China Selatan, Inilah Harta Karun Indonesia di Sana
Akar Konflik: Klaim Historis vs Hukum Internasional
Konflik Laut China Selatan berakar pada klaim historis China yang dikenal sebagai “nine-dash line”, mencakup sekitar 90% wilayah laut tersebut, termasuk Kepulauan Paracel dan Spratly.
Klaim ini tidak memiliki dasar hukum dalam UNCLOS 1982 dan ditolak oleh negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, yang mengacu pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai ketentuan hukum internasional. Taiwan juga memiliki klaim yang tumpang tindih di kawasan ini, meski tidak diakui sebagai negara berdaulat oleh mayoritas komunitas internasional.
Laut China Selatan memiliki nilai strategis yang sangat tinggi, baik dari segi ekonomi maupun geopolitik. Kawasan ini menyimpan cadangan minyak sekitar 11 miliar barel dan gas alam sebesar 190 triliun kaki kubik.
Selain itu, sekitar 30% perdagangan maritim dunia, senilai US$3.37 triliun per tahun, melintasi wilayah ini, menjadikannya jalur vital yang menghubungkan Asia Pasifik dengan Eropa dan Timur Tengah.
China telah membangun tujuh pulau buatan di Kepulauan Spratly yang dilengkapi dengan landasan pacu, sistem rudal, dan radar militer. Sebagai respons, Amerika Serikat melancarkan operasi Freedom of Navigation (FONOPs) dan memperkuat aliansi militer dengan negara-negara seperti Filipina melalui latihan gabungan.
Antara tahun 2020 hingga 2024, tercatat sebanyak 197 insiden konfrontasi kapal, terutama di wilayah perairan sekitar Mischief Reef yang diklaim Filipina dan di sekitar Natuna yang menjadi wilayah Indonesia.
Konflik ini telah menyebabkan fragmentasi dalam tubuh ASEAN, di mana perbedaan tingkat ketergantungan ekonomi terhadap China, seperti antara Kamboja dan Filipina, melemahkan kemampuan organisasi regional tersebut untuk merespons secara kolektif.
Baca juga : Diperkirakan Perang Tahun 2027, Inilah Perbandingan Kekuatan Laut China Vs AS di Pasifik
Latihan militer yang semakin intensif antara China dan AS juga meningkatkan risiko terjadinya insiden tak terduga, seperti tabrakan kapal, yang dapat memicu konflik bersenjata.
Ketidakpastian hukum di kawasan ini telah menurunkan minat investor, khususnya di sektor minyak dan gas. Selain itu, reklamasi pulau yang dilakukan China telah menghancurkan sekitar 1.500 hektar terumbu karang antara tahun 2020 hingga 2025, menimbulkan kerusakan ekosistem laut yang signifikan.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi pelanggaran kedaulatan dengan masuknya kapal China ke ZEE Natuna sebanyak 58 kali dalam periode 2019-2024, yang mendorong pemerintah memperkuat armada laut dan gugus pulau di wilayah tersebut. Filipina juga mengalami insiden serius, di mana kapal nelayan China menyerang kapal Filipina di Second Thomas Shoal antara tahun 2023 hingga 2024.
Upaya Resolusi dan Kendala Diplomasi
Negosiasi antara ASEAN dan China terkait Code of Conduct (CoC) telah berlangsung sejak 2002, namun belum mencapai kesepakatan karena penolakan China terhadap mekanisme sanksi. Pendekatan diplomasi non-intervensi yang dikenal sebagai “ASEAN Way” dinilai kurang efektif dalam menghadapi agresivitas China di kawasan.
Putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 2016 menolak klaim “nine-dash line” China dan mengakui hak Filipina atas ZEE-nya. Namun, China menolak putusan tersebut dan tetap menafsirkan pasal “hak historis” dalam UNCLOS secara sepihak, menimbulkan ketegangan hukum yang berkelanjutan.
Amerika Serikat bersama aliansi QUAD (AS, Jepang, India, Australia) secara rutin melakukan patroli di kawasan untuk mengimbangi dominasi China. Uni Eropa juga menunjukkan sikap penolakan terhadap militerisasi dengan mengirim kapal perang dari Inggris dan Prancis antara tahun 2021 hingga 2024.
Terdapat beberapa skenario masa depan yang mungkin terjadi. Pertama, status quo di mana konflik tetap terkendali namun klaim teritorial tidak terselesaikan jika CoC gagal diratifikasi pada 2026.
Kedua, eskalasi terbatas berupa bentrokan militer kecil jika AS dan sekutunya meningkatkan FONOPs di zona sensitif China. Ketiga, solusi win-win melalui pembentukan Joint Development Area (JDA) untuk eksplorasi migas, seperti model kerja sama Malaysia-Vietnam di Teluk Thailand.

Amirudin Zuhri
Editor
