Perang Harga Bikin Ekonomi China Tertekan, Partai Komunis Ungkap Kegelisahan
- Fenomena perang harga di mana perusahaan dan bahkan pemerintah daerah di China saling berlomba menurunkan harga demi merebut pangsa pasar disebut telah menyebabkan kelebihan kapasitas industri, pemborosan sumber daya, dan penurunan kualitas produk.

Muhammad Imam Hatami
Author


BEIJING - Pemerintah China melalui publikasi resmi kebijakan Partai Komunis China, Qiushi, mengeluarkan kritik tajam terhadap praktik persaingan tidak sehat yang semakin merajalela di berbagai sektor industri. Dalam edisi terbaru yang terbit pada awal Juli 2025, Partai Komunis menyerukan tindakan tegas terhadap fenomena “persaingan involusioner” dan perang harga yang dianggap merusak fondasi ekonomi jangka panjang Negeri Tirai Bambu.
“pemborosan sumber daya sosial yang sangat besar,dan utang yang tidak berkelanjutan yang dapat membahayakan pertumbuhan jangka panjang,” tulis Partai Komunis China dalam laporan tersebut, dikutip Rabu, 2 Juli 2025.
Fenomena perang harga di mana perusahaan dan bahkan pemerintah daerah di China saling berlomba menurunkan harga demi merebut pangsa pasar disebut telah menyebabkan kelebihan kapasitas industri, pemborosan sumber daya, dan penurunan kualitas produk. Situasi ini diperburuk oleh lemahnya permintaan domestik dan tekanan dari pasar ekspor yang melambat.
- BRI Borong 15 Penghargaan di Ajang FinanceAsia 2025
- Jadi Ormas Islam Terkaya di Dunia, dari Mana Sumber Kekayaan Muhammadiyah?
- Panggung IPO Prajogo Pangestu Vs Bos Alfamart: Saling Betot Perhatian Investor
Sejumlah sektor strategis seperti industri fotovoltaik, baterai litium, kendaraan listrik (EV), hingga e-commerce disebut turut terdampak. Untuk mempertahankan daya saing, banyak pelaku usaha justru mengorbankan investasi jangka panjang seperti penelitian dan pengembangan (R&D). Akibatnya, inovasi melambat dan produk murah berkualitas rendah membanjiri pasar, menggusur produk-produk unggulan.
Fenomena ini digambarkan dalam istilah klasik ekonomi, “uang buruk menyingkirkan uang baik,” di mana kompetisi ekstrem justru melemahkan pelaku usaha yang lebih berkualitas dan berkelanjutan.
Tekanan Rantai Pasok dan Kerentanan Sosial
Tidak hanya berdampak pada perusahaan, efek domino perang harga juga dirasakan dalam rantai pasok. Banyak perusahaan dikabarkan menunda pembayaran kepada pemasok, menciptakan ketegangan likuiditas dan gangguan operasional secara menyeluruh.
Di sektor e-commerce, Qiushi juga menyoroti bagaimana platform digital besar tidak hanya menekan harga jual namun meneruskan beban kepada pelaku usaha kecil, yang semakin rentan dan tidak berdaya dalam sistem persaingan brutal ini.
Qiushi juga tidak segan mengkritik pejabat daerah yang dianggap tidak menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Beberapa bahkan ikut memicu perang harga dengan memberikan subsidi besar, insentif pajak, atau perlindungan berlebihan kepada perusahaan lokal, yang menyebabkan distorsi pasar dan membebani keuangan daerah.
- BRI Borong 15 Penghargaan di Ajang FinanceAsia 2025
- Jadi Ormas Islam Terkaya di Dunia, dari Mana Sumber Kekayaan Muhammadiyah?
- Panggung IPO Prajogo Pangestu Vs Bos Alfamart: Saling Betot Perhatian Investor
Dampak Sistemik dan Ketergantungan Ekonomi
Lebih jauh, artikel ini mengingatkan bahwa struktur ekonomi China rentan terhadap guncangan, karena masih terlalu bergantung pada ekspor dan investasi pemerintah. Lemahnya konsumsi domestik, diperburuk oleh kesenjangan sosial dan minimnya jaring pengaman, mempersempit ruang pertumbuhan yang sehat.
Selain itu, kelemahan regulasi juga menjadi sorotan. Sistem hukum dan mekanisme kebangkrutan dinilai belum cukup kuat untuk membatasi ekspansi agresif yang tidak didukung oleh permintaan riil.
"Memperbaiki persaingan 'involusioner' adalah proyek rekayasa sistematis yang rumit yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat atau dengan satu langkah tegas," tambah Laporan tersebut.
Sebagai solusi, Qiushi menyerukan reformasi sisi penawaran untuk mengatasi kelebihan kapasitas dan mendorong konsumsi dalam negeri. Namun, mereka mengakui bahwa proses ini bersifat jangka panjang dan kompleks, serta tidak bisa diatasi hanya dengan kebijakan tunggal.
Kritik ini mencerminkan kekhawatiran Beijing atas stabilitas ekonomi domestik di tengah tekanan global, termasuk dari kebijakan proteksionis AS dan melambatnya permintaan internasional. Jika tidak ditangani dengan serius, perang harga berkelanjutan bisa menjadi boomerang bagi pertumbuhan ekonomi China, dan berimbas pada pasar mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Muhammad Imam Hatami
Editor
