Nasional

Pekerja Soal Outsourcing Dihapus: Setuju tapi Juga Cemas

  • Jika sistem outsourcing dihapus tanpa perencanaan matang, maka potensi ledakan pengangguran sangat besar.
startup-594090_1280.jpg
Ilustrasi karyawan start up. (Pixabay)

JAKARTA - Pemerintah tengah menggulirkan wacana penghapusan sistem outsourcing, sebuah sistem kerja kontrak melalui pihak ketiga yang selama ini banyak dipakai di sektor industri, jasa, hingga logistik digital. 

Tujuannya untuk memperkuat perlindungan pekerja. Namun di tengah upaya tersebut, muncul kekhawatiran bahwa langkah ini justru bisa menaikkan angka pengangguran secara signifikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilis per Februari 2025 mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, naik 83.000 dibanding Februari tahun sebelumnya. Peningkatan ini terjadi seiring lonjakan angkatan kerja yang kini menyentuh 153,05 juta orang.

Sementara jumlah penduduk yang bekerja naik menjadi 145,77 juta orang, sebagian besar berada di sektor informal, yang kini mencakup 59,40% dari seluruh pekerja. Artinya, lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia masih belum menikmati perlindungan ketenagakerjaan layak.

Di sisi lain, tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga melonjak tajam di awal 2025. Dalam dua bulan pertama tahun ini, tercatat 18.610 orang terkena PHK naik hampir 460% dari Januari yang hanya 3.325 orang.

Jika sistem outsourcing dihapus tanpa perencanaan matang, maka potensi ledakan pengangguran sangat besar. Banyak perusahaan, terutama di sektor padat karya dan logistik digital, bergantung pada skema outsourcing karena dianggap lebih fleksibel dan efisien secara biaya. 

Tanpa skema pengganti, perusahaan bisa memilih untuk tidak memperpanjang kontrak atau merumahkan pekerja.

Dikhawatirkan Pekerja

Hal ini juga menjadi kekhawatiran besar bagi para pekerja itu sendiri. MAR, salah satu pekerja outsourcing di Solo yang meminta identitasnya dirahasiakan demi menjaga keamanan pekerjaan mereka menyampaikan ketakutannya jika perusahaan tempatnya bekerja tidak bersedia mengangkat karyawan outsourcing sebagai pegawai tetap setelah sistem tersebut dihapus. 

"Saya setuju kalau sistem ini dihapus, tetapi harus ada jaminan kami tetap bisa bekerja," ujarnya dengan nada cemas, kepada TrenAsia, di Solo, Selasa, 6 Mei 2025. 

Bagi MAR, penghapusan sistem outsourcing tanpa solusi konkret justru bisa menjadi bumerang yang mengancam mata pencahariannya dan rekan-rekannya.

Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh SRS seorang pekerja outsourcing di Solo. Ia menilai, penghapusan outsourcing seharusnya membawa perbaikan, bukan justru menciptakan gelombang PHK baru. 

“Kalau outsourcing dihapus tapi kami malah dikeluarkan, itu justru menyakitkan. Harus ada kepastian kalau kami bisa ikut masuk ke sistem baru yang lebih adil,” tegasnya. 

Ia berharap, jika sistem berganti, maka para pekerja lama seperti dirinya tidak ditinggalkan, melainkan dilibatkan dalam proses transisi.

Bagi MAR dan SRS, bayang-bayang kehilangan pekerjaan jauh lebih nyata daripada janji-janji reformasi ketenagakerjaan. Oleh karena itu, mereka berharap pemerintah tidak terburu-buru mengambil kebijakan tanpa mempertimbangkan nasib para buruh yang selama ini telah bekerja keras meski dalam status yang serba tidak pasti.