Oracle Transformasi Jadi Raksasa AI, Saham Melonjak Tertinggi Sejak 1992
- Hanya dalam satu hari perdagangan, 10 September 2025, saham Oracle Corporation (ORCL) meroket hampir 36 persen, dari US$241,51 (Rp3.948.208) menjadi US$328,33 (Rp5.366.790).

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Saham Oracle Corporation (ORCL) melonjak hampir 36% hanya dalam satu hari perdagangan, 10 September 2025. Harga sahamnya terbang dari US$241,51 (Rp3,94 juta) ke US$328,33 (Rp5,36 juta), menandai lonjakan terbesar sejak 1992 dan langsung menarik sorotan dunia finansial maupun teknologi.
Kenaikan fantastis ini dipicu kabar kontrak jumbo dengan sejumlah perusahaan kecerdasan buatan (AI) ternama, mulai dari OpenAI, xAI milik Elon Musk, hingga Meta Platforms. Nilai kontrak diperkirakan mencapai ratusan miliar dolar, memperkuat posisi Oracle yang dulu dikenal sebagai pionir database menjadi salah satu pemasok utama infrastruktur AI global.
Oracle berdiri pada 1977 lewat tangan Larry Ellison, Bob Miner, dan Ed Oates. Bermula dari gagasan menghadirkan database relasional berbasis SQL, perusahaan ini kemudian tumbuh menjadi raksasa software enterprise.
Kini berkantor pusat di Austin, Texas, Oracle dipimpin CEO Safra Catz dan memiliki lebih dari 162.000 karyawan dengan pendapatan tahunan US$57,4 miliar (Rp938 triliun). Produk andalan Oracle Database masih menjadi tulang punggung bisnis global, tetapi fokus kini beralih ke Oracle Cloud Infrastructure (OCI) yang menjadi taruhan besar perusahaan di masa depan.
Salah satu kesepakatan paling monumental adalah kontrak US$300 miliar (Rp4.905 triliun) dengan OpenAI selama lima tahun untuk penyediaan infrastruktur cloud dan AI. Oracle akan memasok kapasitas data center setara 4,5 gigawatt guna melatih model AI skala besar. Selain itu, kerja sama bernilai ratusan juta dolar juga dijalin dengan xAI dan Meta.
Akibatnya, backlog Oracle membengkak menjadi US$455 miliar (Rp7.434 triliun) per 31 Agustus 2025, dan diperkirakan menembus US$500 miliar (Rp8.175 triliun). Analis memperkirakan pendapatan cloud Oracle bisa tumbuh 77% ke US$18 miliar (Rp294 triliun) pada 2026, bahkan berpotensi melesat ke US$144 miliar (Rp2.354 triliun) dalam lima tahun.
Portofolio Produk dan Akuisisi Strategis
Selain database, Oracle kini menawarkan portofolio luas, mulai dari layanan IaaS dan SaaS melalui Oracle Fusion Cloud Suite (ERP, HCM, CRM), hingga Java, bahasa pemrograman populer yang diperoleh lewat akuisisi Sun Microsystems pada 2010.
Di sektor kesehatan digital, Oracle memperkuat pijakan lewat akuisisi Cerner senilai US$28,3 miliar (Rp463 triliun) pada 2022.
Posisinya kini disejajarkan dengan Microsoft, IBM, Amazon Web Services (AWS), dan Google Cloud. Meski pangsa pasar cloud Oracle masih di bawah AWS dan Azure, keunggulannya terletak pada spesialisasi solusi cloud untuk kebutuhan enterprise skala besar dan aplikasi AI.
Euforia kenaikan saham tak menutup fakta bahwa Oracle tetap menghadapi tantangan. Pada 2022, perusahaan terseret gugatan class action karena diduga melacak data pengguna tanpa izin. Kasus ini diselesaikan dengan kompensasi US$115 juta (Rp1,88 triliun) pada 2024.
Selain itu, persaingan cloud semakin ketat. AWS, Azure, dan Google masih menjadi pilihan utama banyak korporasi. Oracle harus membuktikan infrastruktur mereka mampu bersaing dalam skala, keandalan, dan harga.
Meski demikian, lonjakan saham dan kontrak AI bernilai raksasa menandai transformasi Oracle dari perusahaan software tradisional menjadi salah satu pilar infrastruktur AI global.
Bagi Larry Ellison yang kini menjabat Chief Technology Officer, perjalanan ini terasa seperti lingkaran penuh. Dari membangun database yang menopang era informasi, kini Oracle ikut menopang era kecerdasan buatan.
Apakah momentum ini bisa dipertahankan? Satu hal jelas, pasar teknologi melihat Oracle telah menemukan “emas baru” di ranah AI—dan untuk saat ini, kepercayaan investor berada di puncaknya.

Ananda Astri Dianka
Editor
