No First Use vs First Strike, Doktrin Nuklir Beda Jalur antara China dan AS
- China tegaskan komitmen No First Use, berbeda dengan AS yang buka opsi first strike. Doktrin ini jadi dasar penolakan pelucutan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Pemerintah China menolak ajakan Amerika Serikat (AS) untuk ikut serta dalam negosiasi pelucutan senjata nuklir dengan Rusia. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menilai permintaan tersebut “tidak masuk akal dan tidak realistis” karena kekuatan nuklir Beijing jauh lebih kecil dibandingkan dengan Washington dan Moskow.
"Tidak masuk akal dan tidak realistis untuk meminta China bergabung dalam negosiasi pelucutan senjata nuklir dengan AS dan Rusia," tegas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, dikutip Kamis, 28 Agustus 2025.
Guo menegaskan bahwa China menganut kebijakan “no first use”, yakni tidak akan menggunakan senjata nuklir terlebih dahulu dalam konflik. Menurutnya, kekuatan nuklir China dipertahankan pada level minimum untuk kebutuhan pertahanan diri, bukan untuk ikut serta dalam perlombaan senjata. Ia menambahkan, China justru telah berkontribusi pada stabilitas global dan mendukung tujuan perdamaian dunia.
Kebijakan tersebut menunjukan perbedaandari sisi doktrin dan strategi penggunaan. AS masih membuka opsi serangan pertama (first strike), terutama dalam skenario konflik besar, sehingga membuat negara lain merasa rentan terhadap tekanan strategis.
Sebaliknya, Beijing menyerukan agar AS dan Rusia, yang menguasai sekitar 90% stok senjata nuklir dunia, melakukan pemangkasan arsenal secara drastis dan substantif. China berpendapat langkah tersebut akan menciptakan kondisi yang lebih kondusif menuju tujuan jangka panjang, yakni pelucutan senjata nuklir secara total. Berdasarkan data SIPRI 2025, China kini memiliki sekitar 600 hulu ledak nuklir, naik dari 500 pada Januari 2024, dengan 132 di antaranya dalam proses pengisian peluncur.
Baca juga : Digunakan Trump untuk Menggertak Rusia, Inilah Kekuatan Kapal Selam Amerika
"Kekuatan nuklir China sama sekali tidak sebanding dengan Amerika Serikat. Kebijakan nuklir dan lingkungan keamanan strategis kami juga benar-benar berbeda," tambah Guo Jiakun.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan pentingnya keterlibatan China dalam perundingan. Ia memperingatkan bahwa meski Beijing saat ini masih tertinggal, kapasitas nuklirnya bisa menyusul dalam lima tahun ke depan.
Trump juga menegaskan peningkatan persenjataan nuklir tidak boleh dibiarkan. Ia menyinggung kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Alaska pada 15 Agustus lalu sebagai sinyal positif komitmen Moskow terhadap negosiasi pengendalian senjata.
Senjata Nuklir China VS AS
Kekuatan nuklir Amerika Serikat (AS) dan China menunjukkan ketimpangan yang signifikan baik dari segi jumlah maupun kesiapan operasional. Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2025, AS menguasai sekitar 5.244 hulu ledak nuklir, dengan 1.770 di antaranya dalam kondisi aktif dan siap dikerahkan.
Senjata ini tersebar melalui sistem nuclear triad yang lengkap, yaitu rudal balistik antarbenua (ICBM) berbasis darat, rudal balistik kapal selam (SLBM), dan pesawat pengebom strategis. Dengan infrastruktur militer yang sudah mapan, AS masih menjadi salah satu negara dengan postur nuklir paling kuat di dunia, sekaligus menjadi aktor utama dalam percaturan strategis global.
Baca juga : Iran Terancam Sanksi Snapback atas Program Nuklirnya, Begini Artinya
Sementara itu, China diperkirakan memiliki 500-600 hulu ledak nuklir, dengan hanya sekitar 24 unit yang telah benar-benar dikerahkan dalam peluncur operasional. Arsenal ini jauh tertinggal dibandingkan AS dan Rusia, baik dari sisi kuantitas maupun kapabilitas.
Meski demikian, China terus mempercepat modernisasi kekuatan nuklirnya, termasuk pengembangan rudal hipersonik, peningkatan jumlah ICBM, serta memperluas armada kapal selam nuklir sebagai bagian dari upaya membangun triad nuklir yang lebih seimbang. Peningkatan ini membuat Washington khawatir bahwa dalam kurun 5-10 tahun mendatang, Beijing bisa mendekati level paritas strategis tertentu.
Ketidakseimbangan jumlah dan perbedaan doktrin menjadi alasan utama China menolak bergabung dalam perjanjian pelucutan senjata bersama AS dan Rusia. Beijing menilai bahwa dengan arsenal yang jauh lebih kecil, melucuti senjata di level yang sama hanya akan memperbesar kerentanan mereka terhadap kekuatan nuklir Barat.

Muhammad Imam Hatami
Editor
