Tren Ekbis

Negosiasi Panjang Freeport: IUPK, Tambang Raksasa, dan Taruhan Ekonomi Nasional

  • Sejak pertama kali beroperasi di Papua pada 1967, Freeport telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang sulit terelakkan, namun juga menuai kontroversi besar selama lebih dari lima dekade beroperasi.
Smelter Freeport.jpg
Smelter Freeport (PT Freeport Indonesia)

JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah satu dari sedikit perusahaan tambang multinasional yang sejarahnya sangat erat terkait dengan perjalanan politik, ekonomi, dan geostrategis Indonesia. 

Sejak pertama kali beroperasi di Papua pada 1967, Freeport telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang sulit terelakkan, namun juga menuai kontroversi besar selama lebih dari lima dekade beroperasi.

Awal Mula: Kontrak Karya Generasi Pertama

Kisah Freeport dimulai setelah penemuan tambang tembaga Ertsberg di kawasan Pegunungan Jayawijaya, Papua, pada tahun 1936 oleh geolog Belanda, Jean Jacques Dozy. 

Pengembangan tambang baru dimulai setelah Indonesia dan Freeport Sulphur Company (AS) menandatangani Kontrak Karya (KK) pertama pada tahun 1967, hanya dua tahun setelah Papua resmi dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Kontrak ini menjadi tonggak awal masuknya investasi asing besar di sektor pertambangan Indonesia. Namun, kontrak tersebut juga menjadi sumber perdebatan karena ditandatangani dua tahun sebelum Pepera, sehingga dianggap inkonstitusional oleh sebagian pihak.

Ekspansi ke Tambang Grasberg dan Dominasi Global

Setelah kesuksesan di Ertsberg, pada 1988 Freeport menemukan deposit raksasa Grasberg, yang kemudian berkembang menjadi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. 

Operasi Grasberg berada pada ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut dan menjadi tulang punggung produksi tembaga dan emas global selama dekade 1990-2000-an.

Produksi dari Grasberg mencakup tembaga hingga 1 juta ton per tahun, dan emas lebih dari 1 juta ons per tahun pada puncaknya.

Kegiatan operasional ini juga menjadikan PTFI sebagai penyumbang devisa utama Indonesia, tetapi juga menimbulkan kontroversi lingkungan dan sosial, termasuk tuduhan pencemaran sungai dan konflik sosial dengan masyarakat adat Papua.

Alih Kepemilikan dan IUPK 2018

Kepemilikan Freeport Indonesia mengalami perubahan signifikan setelah pemerintah Indonesia, melalui BUMN tambang MIND ID (Inalum), mengakuisisi 51,2% saham Freeport Indonesia pada tahun 2018.

Hal tersebut merupakan bagian dari negosiasi ulang Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berlaku hingga tahun 2041.

Peralihan tersebut disertai dengan kewajiban pembangunan smelter dalam negeri, termasuk proyek Smelter Manyar di Gresik, sebagai bagian dari strategi hilirisasi pemerintah.

Memasuki tahun 2024, wacana perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia kembali mencuat. Presiden Direktur PTFI, Tony Wenas, menegaskan bahwa jika izin tidak diperpanjang hingga 2061, maka dampaknya akan sangat signifikan. 

Negara berpotensi kehilangan penerimaan sebesar US$ 4 miliar per tahun. Bahkan, pada tahun 2024 saja, kontribusi Freeport telah mencapai US$ 4,7 miliar atau sekitar Rp 80 triliun. 

Selain itu, nasib sekitar 32.000 karyawan terancam, penerimaan daerah sebesar Rp10 triliun per tahun bisa lenyap, serta program community development yang selama ini dijalankan dengan anggaran mencapai Rp2 triliun juga tidak akan berlanjut.

Tambang Kucing Liar dan Tantangan Masa Depan

Proyek andalan Freeport saat ini adalah Tambang Kucing Liar (Deep Mill Level Zone), tambang bawah tanah yang diproyeksikan menjadi penerus Grasberg. Tambang ini direncanakan memproduksi 240 ribu ton bijih tembaga per hari, dengan cadangan mencapai 3 miliar ton.

Namun, proyek ini sangat bergantung pada kepastian hukum dan perpanjangan izin. Menurut Freeport, dibutuhkan waktu 15 tahun untuk mempersiapkan penambangan skala penuh, dan mereka siap berinvestasi hingga US$ 14–15 miliar jika izin diperpanjang hingga 2061.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa proses perpanjangan izin hampir rampung, dan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang sedang disusun. 

Kendati demikian, belum ada kepastian kapan regulasi itu akan diterbitkan, meskipun tekanan untuk memberikan kepastian hukum kepada investor kian menguat.