Tren Ekbis

Moderasi Konten Digital di Indonesia: Homeless Media Paling Rentan Terdampak

  • Keunggulan homeless media adalah kecepatan dan relevansi lokal. Tapi, karena mereka bergantung pada platform, setiap aturan moderasi yang longgar atau ketat langsung memengaruhi keberlangsungan mereka. Bahkan, ketidakjelasan batasan konten—terutama yang masuk kategori “abu-abu” seperti satire atau kritik politik—bisa berujung pada pemblokiran mendadak.
media-journalism-global-daily-news-content-concept.jpg
Ilustrasi homeless media. (Daily News)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pergeseran besar dalam konsumsi informasi terjadi di Indonesia. Dari media konvensional seperti surat kabar, televisi, dan radio, masyarakat kini lebih banyak mencari berita lewat media sosial. Perubahan ini memunculkan peluang baru, tapi juga risiko, terutama terkait moderasi konten.

Regulasi seperti Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020 dan Keputusan Menkominfo No. 522 Tahun 2024—yang melahirkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN)—mengatur bagaimana platform digital dan media harus menghapus konten terlarang. Aturannya ketat, bahkan ancaman dendanya bisa mencapai Rp500 juta per konten jika melanggar.

Namun, ada kekhawatiran: aturan ini jangan sampai menghalangi kebebasan berekspresi di ruang digital.

Homeless Media, Paling Rentan Terkena Dampak

Menurut Muhammad Nidhal, Peneliti dan Analis Kebijakan di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), industri media yang disebut homeless media adalah yang paling rentan terkena imbas. Homeless media adalah media alternatif tanpa platform tetap, yang sepenuhnya bergantung pada media sosial untuk distribusi berita dan model bisnisnya.

Keunggulan homeless media adalah kecepatan dan relevansi lokal. Tapi, karena mereka bergantung pada platform, setiap aturan moderasi yang longgar atau ketat langsung memengaruhi keberlangsungan mereka. Bahkan, ketidakjelasan batasan konten—terutama yang masuk kategori “abu-abu” seperti satire atau kritik politik—bisa berujung pada pemblokiran mendadak.

“Pergeseran ini berdampak cukup signifikan bagi industri media, terutama mereka yang tergolong homeless media. Secara umum, homeless media ini sangat bergantung dengan platform media sosial sebagai sumber informasi sekaligus basis bisnis mereka, sehingga kepatuhan terhadap kebijakan konten di ruang digital menjadi prasyarat penting,” jelas Nidhal melalui pernyataan tertulis yang diterima TrenAsia, dikutip Jumat, 15 Agustus 2025. 

Bagaimana Moderasi Konten Dijalankan?

Berdasarkan Permenkominfo No. 5/2020, moderasi konten wajib dilakukan oleh semua Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat—baik individu, badan usaha, maupun komunitas—yang menyediakan atau mengoperasikan sistem elektronik, untuk dirinya sendiri atau pihak lain.

Mekanisme pelaporan konten terlarang dapat diajukan oleh:

  • Masyarakat
  • Kementerian/lembaga
  • Aparat penegak hukum
  • Lembaga peradilan

Jika permintaan penghapusan datang dari pemerintah, PSE wajib menghapus konten dalam waktu maksimal 24 jam sejak menerima perintah tertulis. Untuk konten kategori mendesak—seperti terorisme, pornografi anak, atau konten yang mengganggu ketertiban umum—batas waktu penghapusan hanya 4 jam.

Masalah Utama: Definisi "Konten Terlarang" Masih Terlalu Luas

Salah satu kritik terbesar terhadap regulasi ini adalah luasnya cakupan definisi “konten terlarang”. Misalnya, frasa “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” dalam Pasal 9 Ayat (4)b Permenkominfo No. 5/2020 dianggap terlalu kabur. Tanpa definisi yang jelas, interpretasinya bisa sangat subjektif.

Akibatnya, platform digital cenderung bermain aman dengan melakukan penyensoran berlebihan (overblocking), bahkan terhadap konten yang sebenarnya masih dalam batas kebebasan berpendapat.

Baca Juga: Indonesia Jadi Kekuatan Media Sosial Dunia, Peringkat 5 Global

Risiko: Dari Penyebaran Konten Berbahaya hingga Sensor Berlebihan

Regulasi moderasi konten ini ibarat pisau bermata dua:

  • Terlalu lemah → berisiko membiarkan konten berbahaya, seperti ujaran kebencian atau hoaks, menyebar luas.
  • Terlalu ketat → berpotensi mematikan ruang diskusi publik, kritik, dan ekspresi kreatif karena konten bisa dihapus tanpa proses uji yang transparan.

Bagi homeless media dan kreator konten independen, risiko ini semakin besar karena sumber daya mereka terbatas, sementara ancaman denda dan pemblokiran tetap ada.

Tiga Solusi Agar Moderasi Konten Tidak Mengorbankan Kebebasan Berpendapat

Agar aturan ini berjalan efektif tanpa menggerus kebebasan di dunia digital, ada tiga rekomendasi yang bisa dipertimbangkan pemerintah:

1. Perjelas Definisi Konten Terlarang

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) perlu mempersempit definisi “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” dengan bahasa hukum yang jelas. Tujuannya agar platform tahu persis konten seperti apa yang harus diawasi.

2. Sediakan Mekanisme Banding yang Adil

Harus ada uji keberatan atau banding melalui lembaga netral, seperti pengadilan. Mekanisme ini bisa berbentuk pra-peradilan atau pengujian di Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga hak pengguna dan platform tetap terlindungi.

3. Perkuat Tata Kelola dan Transparansi

Pemerintah bersama pemangku kepentingan perlu membangun tata kelola moderasi konten yang transparan, dengan pengawasan publik yang ketat. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan meningkatkan kepercayaan terhadap kebijakan yang dibuat.

Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan di Ruang Digital

Moderasi konten adalah kebutuhan di era digital untuk melindungi masyarakat dari konten berbahaya. Tapi, jika dilakukan secara berlebihan dan tanpa batasan yang jelas, aturan ini bisa berubah menjadi alat sensor yang merugikan demokrasi.

Khususnya bagi homeless media dan kreator independen, pemahaman yang tepat tentang aturan ini sangat penting agar mereka tetap bisa beroperasi tanpa takut diblokir.

Kalau kamu peduli dengan isu kebebasan berekspresi di dunia digital, penting untuk terus mengikuti perkembangan regulasi ini dan berpartisipasi dalam diskusi publik. Siapa tahu, suaramu bisa ikut membentuk aturan yang lebih adil di masa depan.