Minuman Manis Kemasanmu Mau Kena Cukai Tahun Ini, Bagaimana di Negara Lain?
- DPR memberikan sinyal cukai minuman berpemanis akan berlaku tahun ini. Simak implementasinya di negara lain, apakah terbukti efektif mengendalikan konsumsi gula?

Ananda Astri Dianka
Author


JAKARTA – Wacana penerapan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) kembali mengemuka di Indonesia. Setelah sempat direncanakan sejak 2023 dan beberapa kali tertunda, Komisi XI DPR RI mendorong agar kebijakan ini segera dijalankan pada semester II-2025 guna menutup potensi kekurangan penerimaan negara.
Anggota Komisi XI DPR, Fauzi Amro, menyebut bahwa penerapan cukai MBDK bisa menjadi solusi untuk menambah penerimaan negara sebesar Rp5 triliun hingga Rp6 triliun di tengah prediksi shortfall pendapatan tahun ini. “Kalau kita menyarankan, lebih cepat lebih baik pelaksanaannya. Apalagi sudah menjadi bagian dari kesimpulan rapat panja,” ujarnya, Senin 7 Juli 2025.
Namun, di sisi lain, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Djaka Budhi Utama, menyatakan bahwa pemerintah belum berencana menerapkan cukai tersebut dalam waktu dekat, meskipun target penerimaan cukai MBDK senilai Rp3,8 triliun sudah dicantumkan dalam APBN 2025. Artinya, meskipun payung hukumnya telah disiapkan, implementasi konkret masih menghadapi penundaan.
Isu ini bukanlah hal baru. Pemerintah sebenarnya telah menyisipkan target penerimaan dari cukai MBDK dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130 Tahun 2022 untuk APBN 2023, namun kemudian dihapus melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2023. Nasib serupa terjadi pada APBN 2024 melalui Perpres Nomor 76 Tahun 2023, di mana target penerimaan sebesar Rp4,39 triliun kembali tak direalisasikan.
Padahal, kebijakan cukai minuman manis atau dikenal secara internasional sebagai Sugar-Sweetened Beverage Tax (SSB Tax) telah diadopsi oleh banyak negara sebagai upaya pengendalian konsumsi gula yang berlebih serta strategi peningkatan penerimaan negara.
Praktik Internasional Cukai MBDK
Menurut data World Bank hingga 2023, sebanyak 117 negara di dunia telah menerapkan 132 kebijakan SSB Tax, mencakup sekitar 57% dari populasi global. Di kawasan Asia Tenggara saja, tujuh negara sudah mengimplementasikannya: Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Timor Leste.
Masing-masing negara menggunakan instrumen cukai yang berbeda, baik tarif spesifik (berdasarkan volume atau kandungan gula) maupun tarif ad-valorem (berdasarkan nilai jual). Brunei Darussalam sudah menerapkan SSB Tax sejak 2017, mengenakan tarif sebesar 0,4 Dolar Brunei (sekitar Rp4.688) per liter untuk berbagai jenis minuman berpemanis, tanpa memandang kadar gulanya sejak 2023.
Kamboja menggunakan tarif ad-valorem sejak 2003. Per September 2023, pemerintah menerapkan tarif yang berbeda sesuai jenis minuman: 15% untuk minuman energi dan 5–10% untuk minuman susu, kopi, atau berbasis kelapa. Laos mengenakan tarif 5% untuk soda, jus buah, dan air mineral, serta 10% untuk minuman energi.
Malaysia sejak 2019 menerapkan tarif spesifik berdasarkan kadar gula. Misalnya, 0,40 Ringgit (sekitar Rp1.329) per liter dikenakan pada soft drink yang mengandung lebih dari 5 g/100 ml gula. Filipina menetapkan tarif 6 Peso per liter untuk minuman berpemanis biasa, dan 12 Peso untuk yang mengandung high fructose corn syrup, dengan pengecualian bagi susu dan jus murni.
Thailand menjadi contoh kebijakan campuran antara tarif spesifik dan ad-valorem. Di luar tarif dasar 10%–14%, negara ini juga mengenakan tarif tambahan berdasarkan kadar gula: dari 1 hingga 5 Baht per liter, tergantung seberapa tinggi kandungan gulanya. Timor Leste, sebagai negara terbaru dalam daftar, menerapkan cukai sebesar US$3 per liter pada minuman manis sejak 2023.
Kebijakan cukai terbukti efektif mengendalikan konsumsi gula di berbagai negara. Di Meksiko, konsumsi minuman berpemanis menurun 5,5% pada tahun pertama sejak kebijakan diterapkan, dan membaik menjadi 9,7% pada tahun kedua. Di Inggris, penerapan tarif cukai berdasarkan kandungan gula mendorong produsen melakukan reformulasi produk untuk menurunkan kadar gula.
Di Filipina, cukai MBDK yang mulai diberlakukan sejak 2018 menghasilkan penerimaan negara sebesar US$800 juta hanya dalam tahun pertama, sekaligus menurunkan tingkat konsumsi. Negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam juga telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa, dengan pendekatan berbeda-beda, mulai dari tarif spesifik per liter hingga tarif ad valorem berdasarkan kandungan gula.
Pelajaran untuk Indonesia: Spesifik vs Ad-Valorem
Kebanyakan negara memilih tarif spesifik karena dinilai lebih efektif dalam mengendalikan konsumsi. Dengan pendekatan ini, tarif dikenakan berdasarkan jumlah kandungan gula, bukan nilai jual produk. Hal ini menghindari distorsi bahwa produk murah lebih “aman”, padahal dampak kesehatannya tetap sama.
Keunggulan lain dari tarif spesifik adalah mendorong reformulasi produk. Produsen terdorong untuk menurunkan kadar gula demi menghindari tarif tinggi. Namun, tarif ini perlu disesuaikan secara berkala untuk menjaga efektivitasnya terhadap inflasi.
Selain cukai, ada pula negara yang menggunakan instrumen lain seperti bea masuk (import duty), PPN (VAT), atau kombinasi. Misalnya, India dan Spanyol memanfaatkan PPN sebagai mekanisme pengenaan pajak terhadap minuman manis.
Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, tekanan untuk menambah pendapatan negara membuat cukai MBDK jadi opsi menarik. Di sisi lain, tarik-menarik antara kesiapan industri, sosialisasi publik, dan kepastian hukum membuat implementasi terus tertunda.
Fauzi Amro menekankan bahwa sosialisasi kepada masyarakat menjadi kunci. “Pemerintah harus menjelaskan jenis minuman yang dikenakan cukai, misalnya yang mengandung pemanis lebih dari 6%, seperti produk-produk di supermarket,” ujarnya.
- Baca Juga: 10 Barang yang Berpotensi Kena Cukai
Kenapa Minuman Berpemanis Dikenakan Cukai?
Sebagai informasi, MBDK dikenakan cukai karena dianggap menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, sehingga perlu dikendalikan konsumsinya melalui mekanisme fiskal. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan menambah penerimaan negara, tetapi juga untuk mengurangi beban biaya kesehatan jangka panjang akibat penyakit tidak menular (PTM).
Menurut World Health Organization (WHO), “Konsumsi minuman berpemanis secara berlebihan dapat menyebabkan obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan kerusakan gigi," dikutip dari WHO Guideline: Sugars intake for adults and children, 2015.
WHO menyarankan agar asupan gula tambahan tidak melebihi 10% dari total energi harian, dan lebih ideal jika ditekan hingga di bawah 5%. Artinya, dalam sehari, konsumsi gula sebaiknya tidak lebih dari 25 gram atau sekitar enam sendok teh. Namun kenyataannya, sebagian besar masyarakat Indonesia jauh melampaui ambang batas tersebut, terutama dari konsumsi minuman manis dalam kemasan.
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Prevalensi obesitas pada orang dewasa meningkat dari 14,8% pada 2013 menjadi 21,8% pada 2018. Sementara itu, prevalensi diabetes juga naik dari 6,9% menjadi 8,5% dalam periode yang sama. Lonjakan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga di kalangan anak-anak dan remaja yang kini menjadi konsumen utama produk minuman manis.
Nah, lonjakan penyakit tidak menular ini menimbulkan beban besar terhadap anggaran kesehatan nasional. Berdasarkan laporan BPJS Kesehatan, pada tahun 2022 saja, biaya pengobatan penyakit jantung menembus angka Rp11,5 triliun, sementara untuk diabetes mencapai Rp3,1 triliun. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi produk tinggi gula di masyarakat.

Ananda Astridianka
Editor
