Kolom & Foto

Menggugat Relevansi Gerakan Non-Blok

  • Di era multipolar saat ini, GNB justru tampak limbung. Alih-alih menjadi agenda setter global, netralitas GNB seringkali jatuh pada posisi pasif: menghindari konflik, menunda sikap, atau sekadar ikut arus tarik-menarik kepentingan kekuatan besar tanpa mampu mengartikulasikan agenda sendiri.
prabowo di ktt g20.jpg
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menghadiri sesi pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil yang berlangsung pada Senin, 18 November 2024. (Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev)

Dunia hari ini sudah jauh berbeda dibanding era ketika Bung Karno bersama para pemimpin dunia ketiga menggagas Gerakan Non-Blok (GNB). Menurut sejarawan Jürgen Dinkel, GNB lahir dari dua peristiwa besar abad ke-20: dekolonisasi dan Perang Dingin. Di situasi itulah GNB muncul sebagai alternatif politik internasional.

Dari sudut pandang poskolonial, GNB dapat dibaca sebagai apa yang disebut Homi K. Bhaba sebagai third space atau ruang ketiga, sebuah wujud hibriditas politik yang menantang dominasi oposisi biner. Dalam konteks Perang Dingin, GNB adalah resistansi negara-negara dunia ketiga yang menolak ditarik sepenuhnya ke orbit Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Trauma kolonialisme dan perang berkepanjangan membuat mereka mencari jalannya sendiri.

Tak mengherankan, ide ini segera mendapat tempat. Partisipasi GNB meningkat drastis dari 25 negara di Konferensi Beograd 1961 menjadi 47 di Kairo (1964), 75 di Aljir (1973), hingga 99 di New Delhi (1983). Kini, GNB beranggotakan 120 negara dengan 17 negara peninjau, mewakili 4,7 miliar jiwa atau hampir 59% populasi dunia. Secara ekonomi, gabungan PDB anggota GNB mencapai sekitar 30% PDB global pada 2022, angka yang menegaskan bobotnya dalam sistem internasional.

Beberapa anggota GNB seperti India, Indonesia, Brasil bahkan termasuk dalam kelompok inbetweener economies yang memiliki peran penting dalam ekonomi global. Kelompok ini diperkirakan menyumbang hampir 20% dari PDB dunia (dengan perhitungan berdasarkan daya beli, PPP), lebih dari 25% populasi kerja dunia, dan sekitar 10% dari perdagangan dan belanja pertahanan global.

Namun, besarnya massa tidak otomatis menjelma menjadi pengaruh. Di era multipolar saat ini, GNB justru tampak limbung. Alih-alih menjadi agenda setter global, netralitas GNB seringkali jatuh pada posisi pasif: menghindari konflik, menunda sikap, atau sekadar ikut arus tarik-menarik kepentingan kekuatan besar tanpa mampu mengartikulasikan agenda sendiri. 

Fenomena ini merupakan gambaran umum banyak anggota GNB yang mayoritas adalah negara berkembang masuk ke orbit kekuatan besar tanpa membawa agenda nasional yang jelas. Mereka lebih sering tampil sebagai penerima kebijakan, bukan perumus arah.

Padahal, dalam lanskap dunia yang semakin saling terhubung, kemampuan mengelola ketergantungan justru adalah bentuk kekuasaan baru. GNB seharusnya menjadikan kondisi dunia multipolar ini sebagai peluang meraup keuntungan dari banyak kekuatan global. Di titik ini, relevansi GNB dipertaruhkan: apakah tetap menjadi forum pasif, atau bertransformasi menjadi platform kolektif yang mampu menegosiasikan kepentingan negara berkembang? 

Kegagalan terbesar GNB bukan semata pada ketidaksepahaman antar-anggota, melainkan pada absennya agenda bersama yang konkret. GNB seharusnya tak lagi hanya didikte, melainkan penentu desain pembangunan narasi global.

Masa depan dunia tidak ditentukan oleh siapa yang kuat hari ini, tetapi oleh siapa yang berani mendesain ulang distribusi kekuasaan esok. Dalam konteks ini, netralitas bukan jawaban. GNB harus berani keluar dari peran figuran dalam narasi kekuatan global, dan mulai menulis cerita dengan bahasa sendiri.

Dengan kata lain, bila ingin tetap relevan, Gerakan Non-Blok harus bertransformasi dari macan ompong menjadi kekuatan penentu. Sebab sejarah hanya berpihak pada mereka yang berani mengambil posisi.