Menggenjot Roda Ekonomi dengan Work from Mall, Efektifkah?
- Kombinasi promo diskon dan program WFM diharapkan mendongkrak pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan daya beli masyarakat.

Chrisna Chanis Cara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID—Memasuki libur akhir tahun, pemerintah meluncurkan kebijakan kerja dari mana saja atau work from anywhere (WFA) dengan inovasi terbaru berupa work from mall (WFM). Program ini bertujuan mengoptimalkan fungsi ruang publik menjadi lebih produktif sambil menjaga roda perekonomian tetap berputar saat momen liburan panjang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah berupaya menyelaraskan berbagai program untuk mendorong pergerakan ekonomi keluarga.
"Pemerintah mendorong sinergi antara kebijakan WFA, termasuk WFM dengan berbagai program belanja nasional guna menciptakan momentum pergerakan keluarga yang sejalan dengan libur anak sekolah," ungkapnya, Senin 29 Desember 2025.
Menurut Airlangga, program ini dirancang untuk memanfaatkan berbagai diskon yang tengah marak ditawarkan di pusat perbelanjaan. Ia optimistis kombinasi antara promo diskon dan program WFM akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan daya beli masyarakat. "Hampir di semua mal itu ramai dan mudah-mudahan acara ini bisa berjalan dengan lancar dan akan mendorong kegiatan ekonomi," tuturnya.
Airlangga menjelaskan, konsep WFM mendorong pemanfaatan pusat perbelanjaan sebagai alternatif ruang kerja, khususnya untuk menunjang perkembangan ekonomi digital dan gig economy.
"Program ini akan dikembangkan secara bertahap di sejumlah provinsi dengan dukungan pemerintah daerah serta perusahaan teknologi, memanfaatkan fasilitas yang telah tersedia seperti konektivitas internet, sumber daya listrik, dan layanan penunjang lainnya," paparnya.
Program ini sejalan dengan kampanye belanja lokal yang digelar Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo). Kampanye tersebut menargetkan nilai transaksi mencapai Rp30 triliun dan berlangsung serentak di berbagai mal hingga 4 Januari 2026.
Sementara itu, pemerintah pusat membidik perputaran belanja masyarakat hingga akhir tahun dapat melampaui Rp110 triliun, sehingga dukungan mal terhadap program WFM sangat dibutuhkan. "Mal bukan hanya tempat berbelanja, tetapi bisa dimanfaatkan juga untuk kegiatan ekonomi atau bekerja," ujar Airlangga.
Ia memastikan pemerintah tengah menggencarkan kegiatan ekonomi gig dengan menyiapkan anggaran bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Kita akan kerja di 15 provinsi dan akan didukung oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang IT. Sehingga kalau yang bergerak di gig ekonomi butuhnya charger laptop, wifi, dan kopi. Nah, itu semuanya ada di mal," jelasnya.
Rohana dan Rojali
Pusat perbelanjaan belakangan ini diketahui menghadapi tantangan baru di tengah digitalisasi dan lesunya ekonomi. "Rombongan jarang beli" (rojali) dan "rombongan hanya nanya" (rohana) kini menjadi momok tersendiri bagi pengelola mal.
Fenomena ini menggambarkan perilaku konsumen yang datang ke mal hanya untuk melihat-lihat produk secara fisik, bertanya detail kepada pramuniaga, lalu kemudian membelinya secara online dengan harga lebih murah. Akibatnya, mal kehilangan potensi penjualan meski tetap menanggung biaya operasional untuk melayani pengunjung.
Untuk menyiasati tren itu, sejumlah mal mengandalkan senjata klasiknya: diskon besar-besaran. Namun, strategi potongan harga itu diragukan dapat menarik konsumen untuk shopping di tengah kondisi ekonomi saat ini.
Dosen Senior Bisnis Fashion Lasalle College Jakarta, Dino Augusto, memandang kondisi ekonomi hanya salah satu pemicu keengganan konsumen berbelanja di mal. “Bisa juga karena produk yang enggak menarik, gitu-gitu aja. Tidak ada experience baru saat berbelanja,” ujar Dino di akun Instagram-nya, @dinoaugusto belum lama ini.
Baca Juga: 6 Mall Hits di Jakarta yang Asyik untuk Rojali & Rohana, Bukan Cuma Belanja!
Dino membeberkan riset Colliers yang menyebut 60-70% produk mal di Indonesia seragam. Hal ini, imbuhnya, membuat anak muda bosan dan akhirnya memilih berbelanja di marketplace atau toko-toko alternatif.
“Artinya isi mal di Jakarta sama dengan Palembang, Bali, isinya fast fashion. Gen Z dan milenial sekarang udah cerdas. Mereka mending belanja di toko oren atau toko ijo (marketplace), lebih lengkap dan lebih murah,” tutur influencer fesyen berkelanjutan ini.
Dia menyarankan retailer atau pemilik mal mulai berpikir out of the box. Tak hanya menawarkan diskon besar-besaran, Dino mendorong adaya shifting ke produk lokal maupun produk yang lebih spesifik. “Jadi ada experience baru buat pembeli. Kalau gini-gini aja, mal akan tetap jadi tempat nyoba barang doang,” ujarnya.

Chrisna Chanis Cara
Editor
