Memutus Lingkaran Setan Penyuapan dengan Penerapan Standar ISO-3700
- Penyuapan dalam praktik industri hari ini, alih-alih hanya tampil dalam transaksi uang atau barang saja, cakupannya juga memasukkan perilaku yang mengatur keputusan demi kepentingan orang atau institusi, secara tak transparan.

trenasia
Author


Korupsi dan praktik suap tak hanya terjadi di institusi penyelenggara negara. Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, menjadi pusaran tempat terjadinya perbuatan itu, akibat perannya sebagai penentu aturan maupun kebijakan. Peran yang dapat menentukan nasib institusi lain. Karenanya banyak pihak yang ingin turut campur --didahului suap dan korupsi-- mempengaruhi aturan dan kebijakan, demi keuntungannya.
Namun dalam kenyataannya, tindakan di atas juga melibatkan institusi di luar penyelenggara negara. Termasuk industri barang maupun jasa. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Tak hanya ekonomi yang jelas hitungannya. Namun juga sosial maupun budaya, berupa buruknya situasi.
Kerugian ekonomi dapat didekati dengan menghitung selisih nilai yang senyatanya dengan nilai setelah di-mark up. Bahan baku yang telah ada standar harga pasarnya, di-mark up menjadi lebih mahal. Ini bisa muncul akibat permintaan suap. Sebuah perusahaan roti, dengan harga pasar 1 Kg tepung terigu Rp 15.000-17.000, di-mark up menjadi Rp 25.000. Selisih Rp 8000 untuk alokasi suap. Akibatnya, produk akhirnya harus dijual lebih mahal dari roti lain yang harga terigunya tak di-mark up.
Praktik suap dengan cara ini, menyebabkan kemampuan perusahaan berkompetisi menurun. Sedangkan kerugian sosialnya: akibat perusahaan yang menjadi tak kompetitif --agar keberlangsungan usahanya dapat dipertahankan-- harus melakukan penghematan. Mark up harga bahan baku ditutup dengan penghematan biaya tenaga kerja. Perusahaan harus melakukan PHK. Ini selain menyebabkan pengangguran, juga memaksa tenaga kerja yang ada bekerja lebih keras. Tentu penggunaan tenaga kerja yang jam kerjanya tak standar itu, dapat menyebabkan kerawanan terjadinya kecelakaan kerja.
Kerugian dalam aspek budaya --berupa normalisasi suap— menurunkan kepercayaan pasar terhadap produk yang diperdagangkan. Hingga di sini dipahami: penyuapan dalam praktik industri harus diputus rantainya. Selain dari ilustrasi sederhana di atas tergambar, temuan berbagai lembaga penelitian yang juga menyebut: di negara yang suapnya merebak, industri nasionalnya akan kalah bersaing dari negara lain.
Maka untuk memutus rantai itu, perlu dipahami akar penyuapan berikut tindakan pencegahannya. Mengacu pada Transparency International, 2014, penyuapan adalah serangkaian tindakan yang mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan ilegal. Ragamnya meliputi: menawarkan, menjanjikan, memberi, menerima, atau meminta keuntungan sebagai bujukan. Bujukan yang tak etis, berubah sebagai pelanggaran hukum yang ketika dilakukan dapat merusak kepercayaan.
Maka tampaknya suap juga dapat diperluas, sebagai tindakan yang belum tentu melanggar hukum, tapi tak beretika. Tak beretika, lantaran kepercayaan sebagai landasan persaingan dilanggar. Dalam uraiannya yang lebih dalam, Transparency International mengkategorisasi suap sebagai “penyuapan aktif”. Ini terjadi ketika seseorang –sebut saja subyek-- menawarkan atau menjanjikan, memberikan sesuatu yang menguntungkan pihak lain yang disebut obyek. Janji umumnya ditunaikan setelah obyek melakukan tindakan yang menguntungkan subyek. Namun bisa juga diberikan di awal pekerjaan, yang mengindikasikan “komitmen”.
Sedangkan kategori lainnya, adalah “penyuapan pasif”. Indikasinya, adanya obyek yang meminta, menerima, atau menyetujui suap. Sedangkan subyeknya tak menawarkan, tapi juga tak menolak permintaan suap. Tentu saja selama tujuannya tercapai.
Pengertian di atas termuat dalam publikasi Transparency International --lembaga internasional masyarakat sipil nirlaba antikorupsi di berbagai sektor, termasuk bisnis dan pemerintahan-- dengan judul “How to Bribe: A Typology of Bribe Paying and How to Stop It”.
Sedangkan pengertian suap yang lain, dikemukakan Robert Klitgaard, 1988, dalam bukunya “Controlling Corruption”. Namun Klitgaard tak hanya menguraikan suap, melainkan juga mencakup korupsi. Disebutkannya: tindakan-tindakan itu, terjadi ketika terdapat kombinasi antara monopoli kekuasaan, diskresi, dan akuntabilitas yang lemah. Dituliskan dalam formula: “Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability”.
Ini dapat dimengerti, adanya diskresi –pemberlakuan pengecualian pada aturan yang disepakati— oleh institusi yang memiliki monopoli yang menyebabkan terpusatnya kekuasaan namun akuntabilitasnya rendah, membuka jalan lebar bagi terjadinya korupsi. Diskresi, monopoli dan akuntabilitas menjadi kata kunci bagi korupsi. Seluruhnya dibuka pemberian suap.
Baik pengertian yang dikemukakan Transparency International, maupun Guru Besar yang tekun meneliti korupsi itu, tak menyebut suap sebatas yang terjadi di institusi penyelenggara negara. Maupun dalam relasi, yang sudah ada undang-undangnya. Dalam kenyataannya suap dipraktikkan luas. Termasuk antar perusahaan, dengan perbuatan yang belum tentu sudah diatur undang-undang.
Dalam relasi dua perusahaan produsen sepatu --yang bersaing memperoleh bahan baku kulit berkualitas— dengan perusahaan pemasoknya, terbuka peluang penyuapan. Ini lantaran persediaan bahan baku langka, sedangkan pemasok bahan baku kulitnya tunggal. Terakumulasinya kekuasaan, akibat monopolisasi pasokan membuka permainan kekuasaan. Misalnya perusahaan pemasok bahan baku hanya menjual bahan baku pada perusahaan sepatu yang membayar lebih banyak kepadanya.
Transaksinya tentu tak berlangsung terbuka. Karenanya fenomena ini termasuk praktik suap. Hanya, belum tentu telah diatur undang-undang. Walaupun tak melanggar hukum, tapi praktiknya tak etis. Karena dapat mengacaukan keseimbangan harga yang terbentuk oleh mekanisme pasar. Dan tentu saja merusak kepercayaan yang telah terbangun.
Kerusakan itu akibat: hanya pada perusahaan yang mampu mengeluarkan biaya lebih, bahan baku disediakan. Persaingannya tak adil. Terhadap fenomena penyuapan --yang belum tentu telah tercakup di dalam undang-undang-- ISO 37001:2016, mendefinisikannya sebagai tindakan transaksional yang bertujuan langsung mengubah keputusan.
Tindakan transaksional itu luas, termasuk pemberian hadiah, pemberian potongan harga, pemberian fasilitas kemudahaan yang tak berlaku umum. Seluruhnya diterima seseorang, sebelum atau setelah dilakukannya proses pengambilan keputusan. Dalam praktiknya yang tak tampak nyata, tindakan transaksional itu disebut “suap terselubung”.
Penyuapan dalam praktik industri hari ini, alih-alih hanya tampil dalam transaksi uang atau barang saja, cakupannya juga memasukkan perilaku yang mengatur keputusan demi kepentingan orang atau institusi, secara tak transparan. Penyuapan menghilangkan transparansi, keadilan maupun akuntabilitas. Seluruhnya merupakan landasan praktik industri yang efisien dan kompetitif.
Pencegahan penyuapan, dapat ditempuh perusahaan melalui penerapan standar ISO-37001. Standar ini menggunakan pendekatan berbasis risiko, dengan adanya kelengkapan struktur pengendalian yang mampu mendeteksi, mencegah, dan merespons berbagai bentuk ancaman. Termasuk ancaman pemalsuan data, pemalsuan dokumen, akses ilegal terhadap informasi penting, hingga potensi penyuapan digital lewat aplikasi keuangan elektronik.
Kelengkapan struktur pengendalian dalam ISO 37001 bersifat abstrak-konseptual –berupa pernyataan kesungguhan pimpinan tertinggi perusahaan untuk menolak praktik penyuapan—hingga tindakan praktis yang bertujuan mempertahankan sistem yang telah dijalankan. Seluruhnya tercakup pada standar yang meliputi: pernyataan kebijakan anti penyuapan; melakukan penilaian risiko terjadinya praktik penyuapan; pelaksanaan due diligence --terhadap mitra bisnis, pemasok maupun pihak lain yang terkait-- untuk memastikan integritasnya; pelaksanaan pelatihan yang membangun kesadaran untuk mencegah penyuapan; penyediaan fasilitas pelaporan dan penyelidikan jika terjadi penyuapan; serta pelaksanaan audit maupun tinjauan berkala untuk memastikan dipatuhinya standar.
Dalam revisi standarnya yang terbaru menjadi ISO 37001:2025 juga dimasukkan aspek pengelolaan risiko perubahan iklim dan pemantapan budaya kepatuhan. Maka integrasi itu berarti: sistem anti-penyuapan tak semata tindakan manajerial yang bersifat administratif dan hukum, tetapi rangkaian tindakan yang berbasis etika bisnis, keberlanjutan maupun perlindungan lingkungan.
Dari seluruh uraian di atas, ketika Standar ISO-37001 diterima dan diterapkan secara luas oleh berbagai perusahaan, pada gilirannya akan menciptakan ekosistem industri antipenyuapan yang luas. Dari keadaan ini, akan diperoleh keuntungan ekonomi, sosial maupun budaya yang luas.
Keuntungan ekonomi, bersumber dari terpangkasnya produksi berbiaya tinggi akibat berhentinya penyuapan. Produksi berlangsung dalam skema mekanisme pasar yang transparan dan persaingannya mengandalkan keunggulan produk semata. Dalam skala relasi antar negara pun, persaingan ditentukan oleh inovasi produk dan kreativitas. Bukan lantaran bahan baku bermutu yang diperoleh dengan suap.
Ini akan menciptakan pertumbuhan nilai perusahaan. Jika pertumbuhan itu merata dialami perusahaan lainnya, secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan nasional. Sumber pertumbuhan baru inilah yang digunakan untuk menaikkan UMR pekerja, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Ketika kesadaran antipenyuapan telah menjadi cara berpikir yang luas, sebagaimana negara maju –Jepang, Singapura, Swiss, Finlandia—budaya suap menjadi asing dan ditolak. Seluruhnya itu akan mendorong optimalisasi aktivitas industri untuk kesejahteraan yang merata. Tentu bukan cita-cita yang berlebihan, karena cara menempuhnya jelas. Terlebih jika dimulai hari ini juga.
Tulisan kolom oleh Ir. Arifin Lambaga, MSE
Praktisi dan Pemerhati Industri Testing, Inspection, Certification (TIC)
Presiden Direktur Mutuagung Lestari

Ananda Astridianka
Editor
