Membandingkan Genosida Nazi dan Israel Berdasarkan Data
- Meskipun konteks geopolitik dan latar belakang sejarah kedua peristiwa ini berbeda dampak yang digunakan menunjukkan kesamaan yang signifikan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Genosida merupakan salah satu noda tergelap dalam sejarah umat manusia. Dua peristiwa yang paling menonjol dalam catatan sejarah dan perdebatan internasional adalah genosida yang dilakukan Nazi terhadap Yahudi selama Perang Dunia II (1941–1945), dan kekerasan struktural berkepanjangan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza sejak 1948.
Meskipun konteks geopolitik dan latar belakang sejarah kedua peristiwa ini berbeda dampak yang digunakan menunjukkan kesamaan yang signifikan. Terutama sejak Oktober 2023, ketika agresi Israel terhadap Gaza meningkat secara drastis, dunia mulai menyaksikan tragedi kemanusiaan yang menimbulkan pertanyaan besar tentang etika, hukum internasional, dan standar ganda dalam politik global.
Metode Kekejaman dan Kebijakan Sistematis
Berdasarkan catatan United State Holocoust Memorial Museum, Rezim Nazi merancang dan menjalankan genosida terhadap Yahudi dengan pendekatan sistematis dan terorganisir. Mereka menggunakan metode seperti kamar gas, kerja paksa di kamp konsentrasi, dan penembakan massal oleh Einsatzgruppen.
Semua ini dijalankan dengan dukungan birokrasi yang rapi, termasuk lewat Protokol Wannsee yang menjadi dokumen perencanaan akhir “Solusi Terakhir” untuk pembersihan etnis Yahudi.
Sementara itu, Israel menurut laporan Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese dan investigasi internasional,menerapkan pendekatan kekerasan sistemik yang berbeda bentuk, namun serupa dalam tujuannya. Israel menerapkan blokade penuh terhadap Gaza, melakukan serangan udara dan artileri terhadap wilayah padat penduduk, serta menjalankan kebijakan yang dikenal sebagai “kelaparan terencana.”
Tindakan militer Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023 menunjukkan pola kekerasan yang sistematis dan menyeluruh, dengan sasaran yang mencakup tidak hanya milisi bersenjata, tetapi juga infrastruktur sipil vital dan populasi non-kombatan.
Tercatat serangan demi serangan dilancarkan terhadap rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Al-Shifa dan Rumah Sakit Indonesia, yang selama ini menjadi tempat perawatan bagi ribuan korban luka.
Tempat ibadah seperti masjid dan gereja tak luput dari serangan, meruntuhkan ruang spiritual dan komunitas warga. Tak hanya itu, sumber makanan dan air bersih juga menjadi target, sistem distribusi air dihancurkan, lahan pertanian dibom, dan depot bantuan diblokade.
"Serangan Israel di Gaza juga menghantam Gereja Keluarga Kudus. Serangan terhadap warga sipil yang telah berlangsung selama berbulan-bulan ini tidak dapat diterima. Tidak ada aksi militer yang dapat membenarkan sikap semacam ini," ujar Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, dalam keterangannya di laman media sosial resmi, dikutip Kamis, 7 Agustus 2025.
Bahkan, pengungsi yang mencoba mendekati pusat distribusi bantuan kemanusiaan dilaporkan ditembaki secara langsung, termasuk dalam insiden mematikan di Jalan Rashid dan kawasan Nuseirat. Tenda-tenda pengungsian, yang semestinya menjadi tempat aman justru menjadi sasaran bom, menewaskan banyak keluarga dalam sekejap.
Lebih dari sekadar agresi militer, yang terjadi adalah penghancuran sistematis terhadap seluruh struktur kehidupan di Gaza. Penyiksaan terhadap tahanan, penghilangan paksa, dan pelecehan terhadap warga sipil dilaporkan luas oleh lembaga HAM internasional.
Serangan udara dan darat dilancarkan secara konsisten terhadap gedung-gedung pemerintahan, sekolah, universitas, pusat budaya, dan rumah-rumah warga. Akibat dari rangkaian penghancuran ini, Gaza kini tak ubahnya puing raksasa, kota yang dulunya padat kini hampir sepenuhnya rata dengan tanah.
Upaya ini dinilai bukan sekadar penumpasan musuh, melainkan bagian dari strategi penghancuran total terhadap identitas, sejarah, dan keberadaan rakyat Palestina itu sendiri.
Pemerintah Israel lewat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengakui menggunakan kelaparan sebagai alat untuk mendukung genosida yang Israel lakukan terhadap warga Gaza
"Saya ingin menegaskan satu hal, tidak ada makan gratis," ujar Netanyahu dalam keterangannya kepada awak media, dikutip AFP.
Hingga Agustus 2025, PBB mencatat lebih dari 61.158 warga Palestina tewas, termasuk 193 orang yang meninggal karena kelaparan, akibat blokade dan penutupan bantuan kemanusiaan.
Durasi dan Intensitas Kejahatan
Laman Ensiklopedia Britanica mencatat dalam periode empat tahun, dari 1941 hingga 1945, jutaan orang dibunuh secara sistematis sebagai bagian dari pembersihan rasial. Meski waktunya singkat, intensitas dan skala kebrutalannya sangat tinggi.
Di sisi lain, pendudukan dan agresi Israel terhadap Palestina telah berlangsung lebih dari 77 tahun, sejak peristiwa Nakba tahun 1948. Serangan yang dimulai pada 7 Oktober 2023 memicu eskalasi besar-besaran, menjadikan periode ini sebagai salah satu tragedi kemanusiaan paling mematikan dalam sejarah modern.
Dalam waktu kurang dari satu tahun, PBB mencatat lebih dari 151.000 warga Palestina mengalami luka-luka, dan 61.158 tewas. Serangan terus berlangsung hingga 2025, mencerminkan pola kekerasan yang berlangsung lama dan tidak terselesaikan.
Holokaus menewaskan sekitar satu juta anak Yahudi, sebuah tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka sejarah dalam. Namun dalam konteks Gaza, angka kematian anak-anak menunjukkan tingkat kehancuran yang mengejutkan dalam waktu yang jauh lebih singkat.
Sejak Oktober 2023 hingga pertengahan 2025, tercatat 15.162 anak Palestina tewas, 12.000 mengalami luka-luka, dan sekitar 19.000 menjadi yatim piatu.
Respons Dunia dan Hukum Internasional
Setelah Perang Dunia II, para pelaku Holokaus diadili dalam Pengadilan Nuremberg dan dunia secara luas mengakui genosida Nazi sebagai kejahatan kemanusiaan terbesar abad ke-20. Holokaus dijadikan simbol universal tentang pentingnya keadilan dan HAM global.
Namun dalam kasus Gaza, respons internasional jauh dari memadai. Meski Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Mei 2024, serta Dewan Keamanan PBB telah mengesahkan Resolusi 2417 (2018) yang melarang kelaparan sebagai senjata perang, pelanggaran oleh Israel tetap berlangsung.
Blokade tetap diberlakukan, bantuan kemanusiaan terhambat, dan serangan terhadap warga sipil berlanjut. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, dianggap menerapkan standar ganda: mengecam Holokaus, tetapi membiarkan kejahatan yang terjadi di Gaza berlangsung tanpa konsekuensi nyata.
Ironisnya, negara Israel yang lahir dari trauma Holokaus kini dituduh melakukan tindakan yang mencerminkan pola kekejaman serupa terhadap rakyat Palestina. Bahkan, mantan menteri Israel Yoav Gallant secara terbuka menyatakan bahwa tujuan serangan Israel adalah untuk “mengembalikan Gaza ke era kegelapan.” Ungkapan ini memperkuat anggapan bahwa penderitaan warga Palestina bukan semata akibat konflik, tetapi hasil dari strategi penghancuran yang disengaja dan sistematis.
Genosida Nazi dan kekerasan sistematis Israel terhadap Palestina sama-sama merupakan kejahatan kemanusiaan yang tak terbantahkan. Perbedaannya terletak pada konteks dan respons global. Di era ketika dunia telah memiliki instrumen hukum dan HAM yang lebih canggih, kegagalan menghentikan tragedi ini menjadi cermin kegagalan moral global.

Muhammad Imam Hatami
Editor
