Mahalnya Kursi DPR: Modal Rp32 M Hanya Balik Rp4,2 M dalam 5 Tahun
- Gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil beberapa waktu lalu kembali menyoroti isu politik uang dan mahalnya ongkos demokrasi di Indonesia.

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil beberapa waktu lalu kembali menyoroti isu politik uang dan mahalnya ongkos demokrasi di Indonesia.
Tuntutan transparansi biaya politik muncul di jalanan, seiring dengan keresahan publik bahwa parlemen lebih sering dipenuhi oleh kalkulasi modal ketimbang aspirasi rakyat. Keresahan itu kian relevan setelah muncul perhitungan viral di media sosial.
Melalui unggahan di akun Instagram @dr.richard_lee_dr dan @mirasumianti, terungkap bahwa untuk bisa duduk di kursi DPR, seorang calon legislatif harus menyiapkan modal hingga Rp32 miliar per kursi. Jika dikalikan dengan total 500 kursi, nilainya fantastis, Rp16 triliun.
- Gejolak Politik Jepang: Ishiba Lengser, Pasar Keuangan Bergerak
- Gagal Kalahkan Pasar, Sekuritas Ini Rombak Skuad Saham Lawan Kutukan September
- Dukung Kedaulatan Data Nasional, IDCloudHost Hadirkan SafeGov Berbasis Zero Trust untuk Keamanan Jaringan Pemerintah
Uang sebesar ini, jika dialihkan untuk kepentingan publik, sejatinya mampu membiayai berbagai kebutuhan strategis. Misalnya, membangun 160 rumah sakit dengan rata-rata biaya Rp100 miliar per unit, memberikan 3,2 juta beasiswa mahasiswa masing-masing Rp5 juta, membangun 32 ribu sekolah dengan biaya Rp500 juta per unit, atau memberikan subsidi bagi 16 juta pelaku UMKM.
Namun realitas politik menunjukkan sebaliknya. Masih mengutip unggahan tersebut, dalam perhitungan populer yang disebut sebagai “girl math versi anggota DPR”, ongkos masuk parlemen berasal dari dua komponen besar membeli suara sebanyak 100 ribu orang dengan harga rata-rata Rp300 ribu per suara atau setara Rp30 miliar.
Itu masih ditambah biaya kampanye Rp2 miliar. Total modal yang harus disiapkan pun mencapai Rp32 miliar. Sementara dari sisi pemasukan, gaji dan tunjangan anggota DPR diperkirakan sebesar Rp100 juta per bulan. Setelah dipotong kontribusi partai sebesar 30%, jumlah bersih yang diterima hanya sekitar Rp70 juta per bulan.
Jika dijumlahkan selama lima tahun masa jabatan, total pendapatan kotor hanya mencapai Rp4,2 miliar. Artinya, ada selisih minus atau defisit hingga Rp27,8 miliar dibandingkan dengan modal awal.
Situasi inilah yang sering memicu pertanyaan publik bagaimana seorang anggota DPR mengembalikan modal politiknya? Dugaan kuat, beban biaya tinggi inilah yang mendorong praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
Bukan soal menaikkan gaji, melainkan persoalan sistem politik yang mahal dan transaksional. Tanpa perombakan sistem secara menyeluruh, kursi DPR akan terus menjadi ajang rebutan modal, bukan ajang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Chrisna Chanis Cara
Editor
