Krakatau, Ranggawarsita, dan Penyesalan Ilmuwan Belanda

  • Krakatau yang meletus pada Jumat 10 April 2020 merupakan salah satu gunung dengan sejarah besar, terutama dalam bidang vulkanologi. Letusan besarnya pada tahun 1883 tercatat sebagai salah satu letusan gunung api paling dahsyat di dunia dan membawa efek secara global.

Erupsi gunung

Erupsi Gunung Anak Krakatau. / Pixabay

(Pixabay)

Jakarta-Krakatau yang meletus pada Jumat 10 April 2020 merupakan salah satu gunung dengan sejarah besar, terutama dalam bidang vulkanologi. Letusan besarnya pada tahun 1883 tercatat sebagai salah satu letusan gunung api paling dahsyat di dunia dan membawa efek secara global.

Tetapi tahukah Anda, Rogier Verbeek, seorang ahli gunung dunia asal Belanda yang menjadi saksi mata letusan hebat Krakatao pada 26 Agustus 1883 tersebut sangat menyesal karena terlambat membaca kitab Pustaka Raja Purwa yang ditulis pujangga terkenal Ranggawarsita? Jika saja dia tidak terlambat, pasti dia bisa mengingatkan orang untuk mengungsi sebelum petaka terjadi hingga setidaknya bisa mengurangi korban jiwa.

Sesekali lihatlah film The Last Day of Krakatoa (Hari-hari Terakhir Krakatao). Sebuah film dokumenter yang dibuat berdasarkan catatan Verbeek tentang letusan dahsyat gunung tersebut. Sebagai seorang ahli gunung dia sangat menyesal karena tak mampu memberi peringatan kepada masyarakat.

Salah satunya karena dia meyakini Krakatao tidak akan menjadi bencana besar. Letaknya yang ada di Selat Sunda dengan jarak 30 mil dari daratan dinilai Verbeek sebagai jarak  yang aman. Salah satunya tentu karena sejauh itu tidak memiliki catatan sejarah letusan gunung tersebut.

Dalam salah satu adegan film tersebut ditunjukkan bagaiman Verbeek menjadi panik dengan perkembangan Krakatao. Setelah letusan pertama terjadi diikuti tsunami, ternyata Krakatao terus saja meletus. Dia mulai cemas.

Bersama asistennya dia segera mengumpulkan buku-buku tentang gunung api. Survei geologi Sumatera 1850, Prinsip-Prinsip Geologi dari Weill, Klasifikasi Letusan Gunung Api dari Werner dan sebagainya ditumpuk untuk dicocokkan dengan keadaan. ”Kopiiiiiii sediakan kopiiiiiii kita akan melewati malam yang panjang,” teriaknnya.

Tiba-tiba munculah seorang wanita pribumi yang dengan ragu berkata ”Bahwa letusan hebat pernah terjadi di Krakatao,”

Tentu saja Verbeek yang seorang ahli gunung itu tercengang.

”Ada banyak cerita tentang  gunung tersebut tentang bagaimana roh gunung terlepas memecah belah daratan lalu menenggelamkannya di laut. Dan bagaimana dia lahir kembali dari laut. Dan ada orang bilang ia akan muncul kembali menghancurkan kita,” kata wanita itu pelan.

Asisten Verbeek pun segera sibuk mencari sebuah buku. ”Ini dia, Anda pasti akan tertarik,” katanya setelah menemukan buku itu.

Buku tersebut adalah Pustaka Raja Purwa. Tetapi bahasa yang digunakan sudah bahasa Belanda. Buku itu ternyata sudah diterbikan di Belanda beberapa tahun sebelum bencana Krakatao. Sedang Ranggawarsita sendiri hidup pada 1802-1873.

Dibacakannya oleh asisten tentang isi buku yang berkaitan dengan Krakatao.

”Akhirnya tahun 416  dengan gemuruh besar gunung meletus berkeping keping dan tenggelam ke dalam bumi,” kata asisten itu.

Verbeek terdiam sebelum berkata ”Dan pada bagian selanjutnya apa?”

Dengan ragu asistennya itu melanjutkan membaca ”Air laut naik dan membanjiri daratan,” Verbeek pun terhenyak dan segera mengamati peta.

Jadi sebenarnya Ranggawarsita sudah memperingatkan kemungkinan akan terjadi letusan dahsyat Krakatao. Karena hal itu pernah terjadi pada 416 atau sekitar 1400 tahun sebelum letusan 1887. Dan dampaknya luar biasa karena gunung hancur berantakan dan memunculkan tsunami. Tetapi kitab itu dianggap remeh dan dianggap sebagai kumpulan dongeng rakyat yang penuh dengan klenik.

Dan itulah yang menjadi salah satu penyesalan terbesar Verbeek. Bagaimana sebagai ilmuwan dia tidak mampu memberi peringatan yang tepat. Bahkan dia mengaku butuh waktu setidaknya dua tahun untuk melupakan kejadian yang mengerikan itu. Andai saja dia tidak meremehkan Ranggawarsita.

Terlambat

Sebenarnya Verbeek berusaha secepatnya melakukan peringatan setelah dia sadar. Tetapi terlambat. Krakatao keburu meletus dahsyat hingga hancur berkeping-keping.

Letusan menghancurkan 165 desa di pantai. Lebih dari  36.000
orang. Ada laporan mayat dan batu apung yang terdampar di Afrika setahun kemudian. Sebanyak 250.000 galon  gaselin dipesan oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu untuk membakar mayat korban letusan.

Letusan Krakatao menjadi salah satu bencana terhebat yang pernah terjadi di muka bumi. Sebanyak 20 juta ton belerang dilepas ke atmosfer yang menyebabkan pandangan senja luar biasa di seluruh planet dan menurunkan suhu global hingga abad ke-20. Krakatao nyaris tak tersisa. Batu keras 12 mil persegi telah lenyap ke udara hanya dalam waktu 40 jam.

Gunung secara harfiah telah meledakkan dirinya hingga hancur. Gelegar Krakatao disebut sebagai suara paling bising di dunia yang berhasil dicatat. Kekuatan ledaknya diperkirakan 30.000 kali kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hirosima Jepang.

Verbeek pun meramal gunung akan tumbuh dengan kecepatan 5 meter per tahunnya. Ramalan yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Ranggawarsita yang mengatakan roh gunung akan muncul kembali. Bedanya, Verbeek menyebut gunung yang muncul sebagai The Son of Krakatoa (Anak Krakatao), sementara jika mengacu pada Ranggawarsita, gunung yang ada sekarang ini adalah Cucu Krakatao

Karya Verbeek   tentang Krakatao menjadi dasar vulkanologi modern yang memberi ilmuwan catatan rinci saksi mata dari seluruh siklus letusan untuk pertama kali dalam sejarah. Meski diapun harus menanggung sesal karena terlambat mempelajari karya Ranggawarsita.

Dan sayangnya orang Indonesia justru lebih suka mempelajari ilmu dari tokoh asing. Di bangku-bangku sekolah, tidak akan pernah ada pelajaran yang mengupas secara detil tetang pemikiran Ranggawarsita, konsep kepemimpinan Gadjah Mada atau Sultan Iskandar Muda, ajaran Sultan Agung dan sebagainya. Pendidikan kita lebih memilih mempelajari teori ekonomi Adam Smit, ajaran politik Hegel, pemikiran Karl Marx dan sebagainya.