Nasional

Kontradiksi Angka Kemiskinan RI Versi Bank Dunia dan BPS

  • Standar Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah ke atas, seseorang dikategorikan miskin apabila pengeluarannya kurang dari US$6,85 per hari atau sekitar Rp115.000 per hari. Berdasarkan acuan ini, sebanyak 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 171,9 juta jiwa dari total 285,1 juta penduduk tergolong miskin pada tahun 2024.
Kemiskinan Ekstrem Masih 0,54 Persen, Bali Targetkan Menjadi 0 Persen di Tahun 2024 dengan Bentuk Tim
Kemiskinan Ekstrem Masih 0,54 Persen, Bali Targetkan Menjadi 0 Persen di Tahun 2024 dengan Bentuk Tim (JPNN Bali)

JAKARTA - Tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2024 masih menjadi isu krusial di tengah ambisi besar pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045. 

Meskipun ekonomi nasional terus tumbuh dan investasi terus digalakkan, data terbaru versi Bank Dunia menunjukkan lebih dari separuh rakyat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan berdasarkan standar internasional. 

Fakta ini menyoroti kesenjangan nyata antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Menurut standar Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah ke atas, seseorang dikategorikan miskin apabila pengeluarannya kurang dari US$6,85 per hari atau sekitar Rp115.000 per hari. 

Berdasarkan acuan ini, sebanyak 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 171,9 juta jiwa dari total 285,1 juta penduduk tergolong miskin pada tahun 2024. 

Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan persentase penduduk miskin tertinggi kedua di Asia Tenggara, hanya berada di bawah Laos yang mencatatkan angka 68,9%. 

Negara-negara tetangga lainnya menunjukkan performa lebih baik dalam mengurangi kemiskinan, dengan Filipina berada di angka 50,6%, Vietnam 18,2%, Thailand 7,1%, dan Malaysia hanya 1,3%.

Padahal data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023 mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 25,9 juta jiwa atau 9,36% dari total populasi. 

BPS menghitung angka kemiskinan di Indonesia berdasarkan garis kemiskinan nasional, yang terdiri dari dua komponen utama, Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). 

GKM dihitung dari nilai pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan energi sebesar 2.100 kilokalori per kapita per hari, sementara GKNM mencakup kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, dan sandang. 

Seseorang dikategorikan miskin apabila total pengeluarannya per bulan berada di bawah jumlah GKM dan GKNM. Metode ini berbeda dengan pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar pengeluaran global (misalnya US$6,85 per hari untuk negara berpendapatan menengah ke atas).

Sehingga angka kemiskinan versi BPS cenderung lebih rendah karena disesuaikan dengan kondisi harga dan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. Perbedaan antara standar nasional dan internasional ini mencerminkan beragam pendekatan dalam mengukur kesejahteraan, dengan indikator global menilai kebutuhan hidup yang lebih kompleks dan layak di tengah perkembangan ekonomi.

Pertumbuhan Ekonomi dan Proyeksi Penurunan Kemiskinan

Pemerintah terus menargetkan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi utama dalam menurunkan angka kemiskinan. Dalam skenario optimistis dengan asumsi pertumbuhan ekonomi mencapai 6% per tahun, tingkat kemiskinan diperkirakan akan menurun secara bertahap, menjadi 58,7% pada 2025, 57,2% pada 2026, dan 55,5% pada 2027. 

Meski menunjukkan tren positif, penurunan ini belum cukup signifikan untuk segera membawa Indonesia keluar dari jeratan kemiskinan struktural. Untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2029.

“Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah harus menargetkan 8% pada tahun 2029 melalui investasi yang lebih tinggi," tulis laporan Bank Dunia tersebut, dikutip Selasa, 30 April 2025.

Target tersebut dinilai ambisius, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir hanya berkisar antara 5–5,3% per tahun. Beberapa tantangan utama dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia meliputi ketimpangan distribusi pendapatan dan akses ekonomi. 

Data Gini Ratio Indonesia pada Maret 2023 berada di angka 0,388, yang menunjukkan tingkat ketimpangan yang masih cukup tinggi. Selain itu, keterbatasan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan masih menjadi hambatan besar, terutama di daerah tertinggal. 

Meskipun sudah ada berbagai program bantuan sosial seperti Kartu Indonesia Pintar dan BPJS Kesehatan, masih banyak masyarakat miskin yang belum memperoleh manfaat optimal dari program-program tersebut. 

Dominasi sektor informal yang menampung sekitar 59,2% tenaga kerja Indonesia juga menjadi masalah, karena sektor ini cenderung rentan terhadap guncangan ekonomi dan kurang perlindungan sosial. 

Faktor lain yang turut memperburuk kondisi masyarakat miskin adalah ketahanan pangan yang lemah dan fluktuasi harga bahan pokok, terutama dalam situasi geopolitik dan iklim yang tidak menentu.

Solusi yang Dilakukan

Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 telah menyusun strategi pembangunan yang berfokus pada transformasi ekonomi. Arah kebijakan yang diambil mencakup peningkatan investasi berkualitas di sektor manufaktur dan teknologi, digitalisasi ekonomi, serta hilirisasi industri sumber daya alam. 

Selain itu, pemerintah juga menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia sebagai fondasi pertumbuhan jangka panjang. Peningkatan kualitas pendidikan, akses kesehatan, dan penguatan program jaring pengaman sosial menjadi bagian dari strategi ini. 

Program-program unggulan seperti makan bergizi gratis untuk pelajar dan ibu hamil, serta pembangunan 15 juta rumah rakyat, ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung sekaligus mendorong pertumbuhan sektor-sektor penunjang.

"Mempercepat pertumbuhan memerlukan penerapan reformasi struktural untuk meningkatkan potensi pertumbuhan negara dan mengurangi risiko pemanasan berlebihan,” tulis laporan Bank Dunia.