Kisah IKEA, Lahir dari Gudang Kecil di Swedia hingga Mendunia
- Ingvar Kamprad resmi meluncurkan IKEA pada tahun 1943, awalnya menjual barang-barang rumah tangga kecil melalui sistem pesanan pos. Tanpa toko fisik, Ingvar menjalankan bisnisnya dari sebuah gudang kecil, mengirimkan katalog kepada pelanggan, dan memenuhi pesanan dengan mencari barang-barang kebutuhan sehari-hari yang murah dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan.

Distika Safara Setianda
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Kamu pasti sudah tak asing dengan toko furnitur yang menjadi bagian dari kehidupan banyak orang di seluruh dunia termasuk Indonesia ini.
Saat kamu melangkah masuk ke toko IKEA, kamu bukan sekadar memasuki ruang pamer furnitur, kamu memasuki sebuah mahakarya psikologis yang dipentaskan dengan brilian. IKEA bukan sekadar pengecer, melainkan sebuah pengalaman, perjalanan, dan bagi banyak orang, sebuah ujian tekad untuk menghindari pengeluaran berlebihan.
Inilah kisah nyata IKEA yang liar, sebuah perusahaan yang lahir dari awal yang sederhana, dinodai oleh sejarah kelam seorang anak petani disleksia, dan dibentuk oleh strategi bisnis yang inovatif.
Lahirnya IKEA
Di usianya yang baru 17 tahun, Ingvar Kamprad resmi meluncurkan IKEA pada tahun 1943, awalnya menjual barang-barang rumah tangga kecil melalui sistem pesanan pos. Nama IKEA merupakan gabungan dari inisialnya (Ingvar Kamprad), nama peternakan keluarganya (Elmtaryd), dan desa terdekat (Agunnaryd).
Tanpa toko fisik, Ingvar menjalankan bisnisnya dari sebuah gudang kecil, mengirimkan katalog kepada pelanggan, dan memenuhi pesanan dengan mencari barang-barang kebutuhan sehari-hari yang murah dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan.
Titik balik terjadi pada 1948 ketika IKEA berekspansi ke bisnis furnitur, langkah yang terinspirasi oleh ledakan pembangunan perumahan di Swedia pasca-Perang Dunia II.
Dengan mendapatkan furnitur dari sumber lokal dan memberi nama produk yang mudah diingat (untuk memudahkan disleksinya), Ingvar membuat IKEA menonjol. Pendekatan inovatifnya terhadap desain dan distribusi dengan cepat mendapat perhatian, membuka jalan bagi kebangkitan perusahaan yang pesat.
Pada tahun 1950-an, IKEA mulai memperkenalkan konsep desain furnitur datar yang bisa dirakit sendiri oleh pembeli. Inovasi ini membuat produk IKEA lebih terjangkau dan praktis untuk dibawa pulang, sekaligus memberi pelanggan kebebasan untuk menyesuaikan furnitur sesuai keinginan mereka.
Perkembangan IKEA Secara Global
Pada tahun 1958, IKEA membuka toko pertamanya di Älmhult, toko ini menjadi model bagi seluruh toko-toko IKEA di seluruh dunia, dengan konsep self-service dan desain produk yang inovatif. IKEA terus berkembang dengan pesat, memperluas jangkauan ke berbagai negara di Eropa, lalu masuk ke Amerika Utara, Asia, dan Australia.
Dilansir dari ikea.co.id, misi IKEA adalah “menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik bagi banyak orang” melalui penyediaan produk perabot rumah tangga yang fungsional dan berkualitas dengan harga terjangkau.
Konsep flat-pack yang diperkenalkan IKEA pada 1956, yaitu furnitur dikirim dalam bentuk komponen yang belum dirakit, memungkinkan IKEA untuk menghemat biaya transportasi dan penyimpanan, sehingga bisa menawarkan harga lebih rendah kepada pelanggan.
Sebuah Kekaisaran yang Dibangun dari Psikologi
Pada tahun 1960-an, IKEA menjadi bintang yang sedang naik daun di Swedia, tetapi Ingvar memiliki ambisi yang jauh lebih besar. Kesuksesan beberapa toko pertamanya meyakinkan Ingvar bahwa IKEA bukan sekadar menjual furniture, melainkan menciptakan sebuah pengalaman.
Dilansir dari Yourstory, berbekal wawasan ini, Ingvar mulai merancang toko IKEA agar tidak hanya memaksimalkan penjualan, tapi juga membuat pelanggan ingin kembali. Inilah awal transformasi IKEA menjadi kekuatan ritel global.
Inti dari strategi IKEA adalah tata letak tokonya yang unik, sebuah perjalanan pelanggan yang dirancang dengan cermat seperti jalur satu arah melalui labirin. Ingvar menyadari semakin lama orang menghabiskan waktu di toko, semakin besar kemungkinan mereka melakukan pembelian tak terduga.
Sejak pelanggan masuk, mereka dipandu melalui jalur berliku yang memamerkan seluruh koleksi IKEA. Setiap belokan menampilkan tata letak ruangan baru, memicu inspirasi dan menggoda pelanggan untuk membeli barang tak mereka rencanakan. Bahkan ukuran toko yang luas dan desain pintu masuk-keluar dirancang dengan sengaja, secara halus mendorong pelanggan untuk berlama-lama di toko.
Tata letak ini bukan sekadar praktis, melainkan jenius psikologis. IKEA memanfaatkan “Efek Gruen,” sebuah fenomena di mana lingkungan yang dirancang dengan cerdik justru membingungkan pelanggan hingga membuat mereka lupa waktu dan menghabiskan lebih banyak uang.
Dengan menempatkan pajangan yang menarik dan pencahayaan secara strategis di area-area utama, IKEA memastikan pelanggan akan memperlambat langkah, menjelajah, dan seringkali tergoda untuk melakukan pembelian impulsif. Riset menunjukkan sebagian besar pembelian di IKEA tidak direncanakan, sebuah bukti efektivitas pendekatan ini.
Langkah brilian lainnya adalah membagi toko menjadi tiga zona berbeda. Bagian pertama, ruang pamer, menampilkan ruangan yang sepenuhnya berperabotan yang dirancang untuk memunculkan ide dan membantu pelanggan memvisualisasikan tampilan barang-barang di rumah mereka.
Bagian kedua, “Market Hall,” menawarkan barang-barang yang lebih kecil dan terjangkau seperti peralatan dapur dan dekorasi, cocok untuk pembelian impulsif cepat.
Terakhir, gudang swalayan memungkinkan pelanggan mengambil kembali furnitur yang telah mereka kagumi sebelumnya dalam kemasan datar. Sistem ini tidak hanya efisien, tetapi juga memperkuat citra IKEA sebagai surganya barang-barang yang dapat dikerjakan sendiri.
Namun, Ingvar tidak berhenti di furnitur. Ia melihat tren unik, yaitu setelah makan siang, toko terasa lebih sepi. Untuk mengatasinya, ia memperkenalkan restoran di dalam toko yang menyajikan makanan lezat dan terjangkau seperti bakso Swedia dan selai lingonberry.
Kehadiran makanan membuat pelanggan tinggal lebih lama, mengubah perjalanan belanja IKEA menjadi kunjungan seharian. Dalam beberapa kasus, orang datang ke IKEA hanya untuk makan dan akhirnya melakukan pembelian tak terduga. Inovasi ini mengaburkan batas antara ritel dan layanan, menjadikan IKEA sebagai tujuan, bukan sekadar toko.
Dengan strategi psikologis dan logistik ini, toko IKEA menjadi lebih dari sekadar ruang ritel, mereka menjadi pengalaman. Pelanggan tidak hanya berbelanja, mereka menjelajah, mengeksplorasi, dan menemukan.
Kombinasi tata letak strategis, harga cerdas, dan fasilitas tambahan menciptakan perjalanan pelanggan yang tak tertandingi. Pada akhir 1960-an, IKEA telah menyempurnakan formulanya, membuka jalan bagi ekspansi global dan menegaskan posisinya sebagai salah satu merek paling inovatif dalam sejarah ritel.
Kontroversi dan Tantangan
Meski IKEA meroket, masa lalu sang pendiri membayangi kesuksesannya. Keterlibatan Ingvar di masa mudanya dengan partai Nazi Swedia muncul kembali pada tahun 1990-an, memicu kemarahan publik.
Ingvar secara terbuka dan jujur mengungkapkan masa lalunya, mengungkapkan penyesalan yang mendalam, dan menjauhkan diri dari pandangan tersebut. Terlepas dari kontroversi yang ada, sebagian besar karyawan dan pelanggan IKEA mendukungnya.
Perusahaan juga menghadapi kritik atas praktik ketenagakerjaan, termasuk tuduhan penggunaan kerja paksa di Jerman Timur. Dalam beberapa tahun terakhir, IKEA telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini, dengan menawarkan kompensasi kepada para korban dan menerapkan kode etik pemasok yang lebih ketat.
Sejarah IKEA di Indonesia
Sebelum melantai di Indonesia, IKEA Indonesia juga memiliki kisahnya sendiri. Toko IKEA pertama di Indonesia dibuka di Alam Sutera, sebelah barat Jakarta, pada 15 Oktober 2014.
IKEA di Indonesia merupakan bagian dari Dairy Farm International Holdings, anak perusahaan Jardine Matheson Group. IKEA Indonesia bekerja sama dengan berbagai mitra lokal, mulai dari pemasok bahan baku, kontraktor konstruksi, hingga perusahaan logistik.
Melalui keterlibatan mitra lokal ini, IKEA tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga memastikan produk-produk yang dijual di Indonesia sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen lokal.
IKEA sebenarnya telah memiliki jejak yang lebih panjang di Indonesia dibandingkan yang banyak orang sadari. Kehadiran IKEA di Indonesia dimulai sejak tahun 1990 melalui IKEA Supply.
Saat itu, fokus utama IKEA adalah menjalin kemitraan dengan pemasok lokal untuk memproduksi produk-produk IKEA. Artinya, meski toko fisik belum ada, produk buatan Indonesia sudah menjadi bagian dari rangkaian produk global IKEA.
Toko IKEA pertama baru resmi dibuka di Alam Sutera pada tahun 2014. Pembukaan ini menandai babak baru bagi IKEA di Indonesia, di mana konsumen dapat langsung mengunjungi toko dan membeli berbagai produk perabot rumah tangga yang ditawarkan.
Warisan Pendiri IKEA
Ingvar Kamprad meninggal pada tahun 2018, meninggalkan kerajaan bisnis yang luas dengan lebih dari 450 toko di lebih dari 50 negara. Meski kaya raya, Ingvar tetap hidup hemat, terkenal karena mengendarai Volvo tua dan terbang di kelas ekonomi.
Visinya untuk IKEA yaitu untuk menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik bagi banyak orang, terus menginspirasi operasi global perusahaan. Kini, IKEA bukan sekadar peritel furniture, ia adalah ikon budaya, mahakarya inovasi, dan bukti kekuatan kegigihan.
Dari awal yang sederhana hingga kontroversi yang kompleks, kisah IKEA menjadi pengingat bahwa bahkan merek paling ikonik pun memiliki sisi kemanusiaan, bercacat, menarik, dan tak henti-hentinya menginspirasi.

Distika Safara Setianda
Editor