Tren Leisure

Ketika Anak Muda Mulai Ngeluh dan Curhat ke ChatGPT

  • Sebuah tren yang mengkhawatirkan muncul di kalangan remaja muda, di mana mereka mulai menggunakan chatbot AI seperti ChatGPT untuk menyampaikan perasaan terdalam dan masalah pribadi mereka. Hal ini menimbulkan keprihatinan serius di kalangan pendidik dan para ahli kesehatan mental.
Chat GPT
Chat GPT (Istock)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) berkembang dengan sangat pesat, salah satu kemajuan paling menarik adalah munculnya model AI percakapan seperti ChatGPT.

Dikembangkan oleh OpenAI, ChatGPT merupakan model bahasa canggih yang mampu memahami dan menghasilkan teks layaknya manusia.

Mesk teknologi ini memiliki potensi besar di berbagai bidang, dampaknya terhadap remaja menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebagai generasi digital, remaja berada di garis depan dalam mengadopsi dan mengintegrasikan teknologi baru ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Sebuah tren yang mengkhawatirkan muncul di kalangan remaja muda, di mana mereka mulai menggunakan chatbot AI seperti ChatGPT untuk menyampaikan perasaan terdalam dan masalah pribadi mereka. Hal ini menimbulkan keprihatinan serius di kalangan pendidik dan para ahli kesehatan mental.

Para pakar memperingatkan ruang aman digital ini justru menciptakan ketergantungan yang berbahaya, mendorong perilaku mencari pengakuan, serta memperparah krisis komunikasi dalam keluarga.

Mereka menyatakan kenyamanan digital ini hanyalah ilusi semu, karena chatbot dirancang untuk memberikan pengakuan dan interaksi, yang berpotensi menanamkan keyakinan keliru serta menghambat perkembangan keterampilan sosial penting dan ketahanan emosional.

Dilanisir dari Teens Vogue, anak muda kini menggunakan ChatGPT dan teknologi AI untuk terapi, mengatasi putus cinta, bahkan untuk berkomunikasi dengan teman.

Menurut studi terbaru dari Common Sense Media, jelas kecerdasan buatan sedang mengubah dunia, khususnya cara remaja berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka. Studi ini, yang meneliti tingkat interaksi remaja dengan AI, melibatkan 1.060 remaja berusia 13 hingga 17 tahun.

Ketika berbicara tentang pendamping AI seperti ChatGPT dan Google Gemini, sebagian besar remaja telah menggunakannya dalam berbagai cara.

Survei menunjukkan 72% remaja pernah menggunakan pendamping AI setidaknya sekali, dan sekitar setengahnya (52%) adalah pengguna rutin yang memakai pendamping tersebut beberapa kali dalam sebulan.

Sekitar 13% remaja menggunakan pendamping AI setiap hari, namun satu dari empat remaja mengaku belum pernah menggunakan pendamping AI sama sekali.

Meski remaja dari generasi sebelumnya lebih banyak mengandalkan teman dan lingkungan sekitar untuk interaksi sosial, 33% remaja yang disurvei menyatakan mereka menggunakan pendamping AI untuk berinteraksi sosial dan menjalin hubungan, termasuk untuk latihan bercakap-cakap, dukungan emosional, bermain peran, persahabatan, atau interaksi romantis.

Di antara remaja yang menggunakan AI, 30% menyebut hiburan dan rasa ingin tahu sebagai alasan utama, sementara 9% mengatakan bahwa berbicara dengan chatbot AI terasa lebih mudah dibandingkan dengan berbicara kepada orang lain.

Setengah dari remaja tidak percaya sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh AI. Remaja yang lebih tua cenderung lebih skeptis terhadap informasi dari AI dibandingkan remaja yang lebih muda.

Meski demikian, remaja masih menemukan manfaat dari pendamping AI. Studi tersebut menyebutkan 31% remaja merasa percakapan dengan pendamping AI sama memuaskan atau bahkan lebih memuaskan dibandingkan dengan percakapan bersama teman di dunia nyata.

AI juga tampak menjadi sarana bagi remaja untuk berlatih bersosialisasi, di mana 2 dari 5 pengguna AI menerapkan keterampilan yang mereka latih bersama AI dalam kehidupan nyata (dengan perempuan lebih banyak melaporkan hal ini dibandingkan laki-laki).

“Memulai percakapan adalah keterampilan yang paling sering diterapkan (18%), diikuti oleh memberi nasihat (14%), dan mengekspresikan emosi (13%),” tulis Teens Vogue.

Dilansir dari The Economic Times, Kepala Sekolah ITL Public School Sudha Acharya menyoroti pola pikir berbahaya telah berkembang di kalangan remaja, yang keliru menganggap bahwa ponsel mereka adalah tempat perlindungan pribadi.

“Sekolah adalah tempat bersosialisasi, tempat untuk belajar sosial dan emosional,” ujarnya kepada PTI. “Akhir-akhir ini, ada tren di kalangan remaja. Mereka beranggapan saat menggunakan ponsel, mereka berada di ruang pribadi. Padahal, ChatGPT menggunakan model bahasa besar, dan informasi yang dibagikan kepada chatbot itu jelas termasuk dalam domain publik.”

Acharya mengamati anak-anak cenderung menggunakan ChatGPT untuk menyampaikan perasaan mereka saat merasa sedih, tertekan, atau tidak memiliki orang untuk diajak berbagi. Ia meyakini hal ini menunjukkan adanya kekurangan komunikasi yang serius di dunia nyata, yang berawal dari keluarga.

Ia juga menyampaikan jika orang tua tidak mau berbagi tentang kekurangan dan kegagalan mereka kepada anak-anak, maka anak-anak tidak akan pernah belajar hal yang sama maupun mengatur emosi mereka sendiri.

“Masalahnya, para remaja ini telah mengembangkan pola pikir yang terus-menerus membutuhkan pengakuan dan persetujuan.”

Ia menyoroti kekhawatiran khusus, ketika seorang remaja membagikan kegelisahannya kepada ChatGPT, respons yang langsung muncul sering kali adalah, “tenanglah, kita akan menyelesaikannya bersama.”

“Sikap AI ini menunjukkan chatbot berusaha membangun rasa percaya pada penggunanya, sehingga memberi pengakuan dan persetujuan yang membuat pengguna terus terlibat dalam percakapan,” ujar Acharya.

Dia meyakini akar masalah sebenarnya berasal dari orang tua, yang sering kali kecanduan gadget dan kurang memberikan waktu emosional bagi anak-anak mereka. Walaupun memberikan kenyamanan materi, dukungan dan pengertian secara emosional seringkali absen.

“Oleh karena itu, kami merasa ChatGPT kini berperan menjembatani kekosongan tersebut, tapi pada akhirnya ini hanyalah bot AI. Ia tidak memiliki emosi dan tidak bisa membantu mengatur perasaan seseorang,” ia mengingatkan.

“Ini hanyalah mesin yang memberi apa yang ingin kamu dengar, bukan apa yang terbaik untuk kesejahteraanmu,” lanjutnya.

Ayeshi, siswa kelas 11, mengakui sering membagikan masalah pribadinya kepada bot AI karena takut dihakimi dalam kehidupan nyata.

“Saya merasa itu adalah ruang emosional dan akhirnya menjadi ketergantungan emosional. Rasanya seperti tempat yang aman bagi saya. Chatbot selalu memberikan umpan balik positif dan tidak pernah menentang saya. Meskipun saya perlahan menyadari itu bukanlah pembimbing atau penasihat yang sebenarnya, tapi butuh waktu untuk menyadarinya,” kata Ayeshi, yang berusia 16 tahun, kepada PTI.

Ayushi juga mengakui menggunakan chatbot untuk masalah pribadi sudah cukup umum di kalangan teman-temannya.

Siswa lain, Gauransh, 15 tahun, menyadari perubahan perilakunya setelah menggunakan chatbot untuk masalah pribadi. “Saya merasa semakin tidak sabar dan agresif,” ujarnya.

Ia sudah memakai chatbot selama satu atau dua tahun, namun berhenti baru-baru ini setelah mengetahui bahwa “ChatGPT menggunakan informasi ini untuk mengembangkan dan melatih datanya.”

Psikiater Dr. Lokesh Singh Shekhawat dari Rumah Sakit RML menegaskan bot AI dirancang sedemikian rupa untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna.

“Ketika para remaja mengungkapkan perasaan negatif atau keyakinan salah kepada ChatGPT, bot AI tersebut malah menguatkan hal itu,” jelasnya. “Remaja mulai mempercayai respons tersebut, sehingga yang terjadi hanyalah delusi.”

Jika sebuah keyakinan salah terus-menerus diperkuat, maka keyakinan itu akan tertanam dalam pola pikir sebagai sebuah kebenaran. Hal ini mengubah sudut pandang mereka, fenomena yang disebutnya sebagai ‘bias perhatian’ dan ‘bias memori’.

Kemampuan chatbot untuk menyesuaikan nada bicara dengan pengguna adalah strategi sengaja untuk mendorong percakapan lebih lanjut.

Singh menekankan pentingnya kritik yang membangun bagi kesehatan mental, sesuatu yang sama sekali tidak ada dalam interaksi dengan AI.

“Remaja merasa lega dan terbuka saat membagikan masalah pribadi pada AI, tapi mereka tidak menyadari hal ini justru membuat mereka ketergantungan yang berbahaya,” ia memperingatkan.

Ia juga menarik perbandingan antara ketergantungan pada AI untuk memperbaiki suasana hati dengan kecanduan game atau alkohol. “Ketergantungan ini terus meningkat setiap hari,” katanya, mengingatkan dalam jangka panjang hal ini akan menyebabkan kekurangan keterampilan sosial dan isolasi.

Dilansir dari gtscholars.org, jika remaja kurang memiliki kesadaran digital, mereka berisiko dimanipulasi oleh algoritma atau menerima hasil AI yang bias sebagai kebenaran. Mereka mungkin akhirnya membagikan data pribadi tanpa menyadari konsekuensinya.

Namun, ketika remaja memiliki kesadaran digital, mereka dapat mempertanyakan apa yang mereka lihat, berpikir kritis, dan menggunakan teknologi dengan lebih bertanggung jawab.

Bias dan keadilan adalah topik penting saat mengajarkan AI kepada anak. Penting bagi mereka untuk mengetahui sistem AI belajar dari data yang dibuat oleh manusia, dan data tersebut dapat mengandung bias. Jika datanya tidak adil atau berat sebelah, kecerdasan buatan dapat terus memberikan kesalahan yang sama dalam hasilnya.

Bicaralah dengan anak Anda tentang bagaimana hal ini dapat menyebabkan hasil yang tidak adil dan mengapa penting untuk mempertanyakan hasil AI. Ketika mereka memahami tidak semua hasil AI adil atau akurat, mereka akan menjadi pengguna teknologi yang lebih kritis, bijaksana, dan terinformasi.