Tren Leisure

Kenapa Banyak Anak Muda Kelas Menengah ke Bawah Berusaha Terlihat Kaya? Ini Penjelasan Psikologisnya

  • Sebagian individu berpendapatan tinggi sengaja berpakaian sederhana atau menghindari pamer kekayaan untuk menghindari label sombong.
Ilustrasi wanita pulang dari belanja.
Ilustrasi wanita pulang dari belanja. (Freepik/diana.grytsku)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pernah nggak, kamu lihat teman yang gajinya pas-pasan tapi outfit-nya full branded? Atau yang selalu nongkrong di kafe hits padahal sering ngeluh “tanggal tua”? Fenomena ini ternyata bukan cuma terjadi di circle kamu, tapi di seluruh dunia. 

Banyak anak muda—terutama dari kelas menengah ke bawah—merasa perlu tampil “cukup” atau bahkan “lebih” daripada kondisi finansial sebenarnya.

Apakah ini soal gengsi, tekanan sosial, atau sekadar ikut tren gaya hidup? Yuk, kita bongkar bareng faktor sosial dan psikologis yang bikin fenomena ini begitu kuat, lengkap dengan sumber penelitian dan teori yang mendasarinya.

Efek “Conspicuous Consumption”: Beli Biar Dipamerin

Konsep conspicuous consumption pertama kali dijelaskan oleh Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class (1899). Menurut Veblen, banyak orang membeli barang bukan karena kebutuhan, tetapi untuk dipamerkan sebagai tanda status sosial.

Veblen juga mengenalkan istilah pecuniary emulation, yaitu keinginan untuk meniru atau menyamai status orang yang lebih kaya. Misalnya, seseorang rela membeli sneakers edisi terbatas atau tas branded sebagai sinyal bahwa ia “setara” dengan kalangan mapan.

Fenomena ini kini makin kentara di era media sosial, di mana citra visual dari satu postingan bisa membentuk persepsi “mapan” meski kondisi finansial aslinya berbeda.

Affordable Affluence: Mewah yang Terjangkau

Istilah affordable affluence atau accessible luxury dibahas dalam penelitian marketing oleh Silverstein & Fiske (Harvard Business Review, 2003). Mereka menemukan tren meningkatnya permintaan produk mewah versi terjangkau yang dirancang menyerupai brand high-end.

Dengan strategi desain dan branding yang tepat, produk ini memberi ilusi kemewahan tanpa harga setinggi brand asli. Di Indonesia, fenomena ini terlihat dari maraknya brand fashion lokal yang mengusung desain premium tapi tetap ramah kantong. Strategi ini memungkinkan kelas menengah merasakan sensasi “kaya” secara visual tanpa benar-benar mengeluarkan biaya besar.

Identitas dan Sinyal Sosial: Status Itu Budaya

Psikolog sosial Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979) menjelaskan bahwa kelas sosial tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari selera budaya seperti musik, bahasa, dan gaya berpakaian.

Konsep ini dikenal sebagai cultural capital—modal budaya yang digunakan untuk membangun identitas dan menunjukkan status sosial. Ketika seseorang memakai simbol kelas atas, seperti tas desainer atau gadget terbaru, ia sedang mengirimkan sinyal status (status signalling) kepada lingkungannya.

Perbandingan Sosial di Era Media Sosial

Teori social comparison dari Leon Festinger (1954) menjelaskan bahwa manusia cenderung menilai dirinya dengan membandingkan diri terhadap orang lain. Di era digital, efek ini makin kuat karena media sosial memperluas lingkar perbandingan ke jutaan orang.

Penelitian oleh Vogel et al. (Journal of Social and Clinical Psychology, 2014) menemukan bahwa sering melihat pencapaian atau kemewahan orang lain di media sosial dapat menurunkan kepuasan hidup dan memicu perilaku konsumtif.

Akibatnya, muncul “perlombaan gaya” yang sulit dihentikan—di mana banyak orang merasa perlu mengimbangi citra yang mereka lihat secara online.

Baca Juga: Minimalisme: Gaya Hidup atau Strategi Bertahan di Tengah Tekanan Ekonomi?

Tekanan Moral dan Rasionalisasi Konsumsi

Fenomena penyesuaian citra ini juga terjadi pada orang kaya. Menurut laporan The New Yorker (2017), sebagian individu berpendapatan tinggi sengaja berpakaian sederhana atau menghindari pamer kekayaan untuk menghindari label sombong.

Meski konteksnya berbeda, hal ini menunjukkan satu kesamaan: citra yang ditampilkan sering kali adalah hasil kalkulasi sosial. Entah itu untuk terlihat berhasil atau untuk terlihat rendah hati—semuanya adalah strategi pengelolaan kesan (impression management), istilah yang diperkenalkan Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956).

Validasi Emosional dan “Dopamin Sosial”

Dari perspektif psikologi, keinginan terlihat kaya sering kali terkait kebutuhan validasi eksternal. Menurut teori self-worth yang dikembangkan oleh Crocker & Wolfe (Psychological Review, 2001), individu akan mencari pengakuan dari orang lain untuk memperkuat harga diri mereka.

Media sosial memberi jalur instan untuk validasi ini melalui like, komentar, dan pujian—yang memicu respons dopamin di otak (Howe et al., Nature Communications, 2021). Bagi sebagian orang, terutama dari kelas menengah ke bawah, ini menjadi kompensasi emosional saat kondisi finansial belum stabil.

Siklus Konsumtif dan Risiko Finansial

Bahaya terbesar dari conspicuous consumption adalah risiko finansial jangka panjang. Penelitian oleh Charles, Hurst, dan Roussanov (Quarterly Journal of Economics, 2009) menemukan bahwa pengeluaran untuk barang status tinggi dapat mengurangi tabungan dan meningkatkan utang, terutama di kelompok berpenghasilan rendah.

Lingkaran ini berbahaya: ingin terlihat kaya → membeli barang di luar kemampuan → menambah beban utang → makin sulit mencapai stabilitas finansial. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memperlebar kesenjangan ekonomi.

Tampil Mapan Boleh, Tapi Jangan Sampai Mengorbankan Masa Depan

Fenomena anak muda kelas menengah ke bawah yang ingin terlihat kaya adalah hasil gabungan dari teori Veblen tentang conspicuous consumption, konsep affordable affluence dari penelitian pemasaran, cultural capital Bourdieu, teori perbandingan sosial Festinger, hingga riset terbaru tentang validasi media sosial dan risiko finansial.

Tampil gaya sah-sah saja, apalagi kalau itu membuat kita percaya diri. Tapi penting untuk memastikan gaya hidup itu sejalan dengan kemampuan finansial. Karena pada akhirnya, yang lebih berharga dari sekadar “terlihat kaya” adalah benar-benar hidup tanpa beban utang.