Kekeringan Puluhan Tahun Menghancurkan Salah Satu Peradaban Tertua di Dunia
- Peradaban Lembah Indus ini (juga dikenal sebagai peradaban "Harappa") berkembang pesat antara 5.000 dan 3.500 tahun yang lalu di wilayah yang membentang melintasi perbatasan India-Pakistan modern

Amirudin Zuhri
Author


JAKARTA-Sebuah studi baru menemukan bahwa serangkaian kekeringan panjang menyebabkan runtuhnya Peradaban Lembah Indus.
Peradaban Lembah Indus ini (juga dikenal sebagai peradaban "Harappa") berkembang pesat antara 5.000 dan 3.500 tahun yang lalu di wilayah yang membentang melintasi perbatasan India-Pakistan modern. Penduduknya membangun kota-kota, seperti Harappa dan Mohenjo Daro, yang memiliki sistem pengelolaan air yang canggih. Mereka juga menciptakan aksara tertulis, yang masih belum terpecahkan oleh para cendekiawan modern, dan mereka melakukan perjalanan ke Mesopotamia , tempat mereka berdagang.
Mengapa peradaban mereka merosot telah lama menjadi bahan perdebatan. Kini, dalam sebuah studi baru yang diterbitkan Kamis 27 November November 2025 di jurnal Communications Earth & Environment , para ilmuwan mengatakan bahwa kekeringan panjang memainkan peran yang cukup besar.
"Kekeringan besar yang berturut-turut, masing-masing berlangsung lebih dari 85 tahun, kemungkinan besar merupakan faktor kunci dalam keruntuhan Peradaban Lembah Indus," tulis tim ilmiah tersebut dalam sebuah pernyataan. Seiring kekeringan ini semakin parah, populasi dalam masyarakat tersebut berpindah ke daerah-daerah yang masih memiliki sumber air yang cukup, demikian temuan para peneliti.
Akhirnya, kota-kota di seluruh wilayah tersebut runtuh. Kekeringan selama seabad yang dimulai sekitar 3.500 tahun yang lalu "bertepatan dengan deurbanisasi yang meluas dan ditinggalkannya budaya kota-kota besar," tulis tim tersebut dalam makalah tersebut.
Simulasi iklim
Untuk analisis ini, tim menggunakan tiga simulasi iklim global yang tersedia untuk umum — simulasi komputer kompleks yang menggunakan data dalam jumlah besar untuk menentukan bagaimana iklim telah berubah selama ribuan tahun. Mereka menggunakan data ini untuk menentukan bagaimana curah hujan dan suhu berubah antara 5.000 hingga 3.000 tahun yang lalu di wilayah tempat Peradaban Lembah Indus pernah berkembang pesat. Ketiga simulasi tersebut menunjukkan adanya kekeringan.
"Penurunan curah hujan yang konsisten dari 5000 hingga 3000 tahun [lalu] di seluruh simulasi memastikan bahwa fitur-fitur seperti kekeringan multi-abad, melemahnya musim hujan, atau pergeseran curah hujan musim dingin merupakan sinyal yang nyata dan terus-menerus, bukan artefak dari satu model," kata penulis utama studi Hiren Solanki , seorang mahasiswa doktoral di Institut Teknologi India di Gandhinagar, kepada Live Science melalui email.
Tim tersebut memasukkan data curah hujan dan suhu ke dalam model hidrologi untuk menentukan bagaimana sungai, aliran air, dan badan air lainnya di wilayah tersebut berubah seiring waktu. Mereka membandingkannya dengan data arkeologi yang menunjukkan keberadaan permukiman dan mengamati bahwa permukiman tersebut cenderung bergeser seiring waktu agar tetap dekat dengan air.
Untuk memeriksa ulang hasil mereka, tim meninjau studi-studi sebelumnya yang menganalisis seberapa cepat stalagmit dan stalaktit di gua-gua di wilayah tersebut tumbuh. Struktur-struktur ini tumbuh lebih lambat ketika curah hujan lebih rendah, memberikan bukti tidak langsung adanya kekeringan. Sebagai metode tambahan untuk menentukan bagaimana pola curah hujan berubah, tim juga meninjau studi-studi sebelumnya yang menunjukkan bagaimana endapan sedimen di danau-danau di wilayah tersebut berubah seiring waktu.
Dengan membandingkan data simulasi dengan data gua dan endapan danau, mereka dapat memastikan bahwa data dari simulasi cukup akurat.
Nick Scroxton , seorang ilmuwan peneliti hidrologi, paleoklimat, dan paleoenvironment di University College Dublin yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, memuji penelitian tersebut.
"Sungai Indus jelas penting bagi Harappa, dan pemodelan aliran sungai membantu kita memahami bagaimana perubahan pola curah hujan dapat memengaruhi perubahan permukiman perkotaan dan praktik pertanian," ujar Scroxton kepada Live Science melalui email.
Liviu Giosan , seorang ahli geosains di Woods Hole Oceanographic Institution di Massachusetts yang tidak terlibat dalam penelitian ini, juga memberikan tanggapan positif terhadap makalah tersebut, memuji "pemodelan canggih" yang dilakukan tim tersebut. "Hasilnya merupakan langkah maju yang signifikan dalam mempelajari peran hidroklimat dalam evolusi peradaban kuno," ujar Giosan kepada Live Science melalui email.

Amirudin Zuhri
Editor
