Kejatuhan IHSG di Tengah Tekanan Global: Imbas Tarif dan Regulasi yang Perlu Dicermati
- IHSG anjlok 9,19% dan memicu trading halt pasca-libur Lebaran 2025, dipicu kekhawatiran pasar atas kebijakan tarif balasan AS. Analis bilang situasi wajar, karena berkaca pada negara Eropa dan Amerika Serikat juga terjadi penurunan.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA – Pasar modal Indonesia membuka kembali perdagangannya pasca-libur Lebaran dengan guncangan hebat. Pada Selasa, 8 April 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung terperosok ke zona merah dan mengalami trading halt tak lama setelah pembukaan.
Kejatuhan ini tak hanya mencerminkan tekanan teknikal dari kebijakan Bursa Efek Indonesia (BEI), tetapi juga menunjukkan respons emosional pasar terhadap dinamika global, khususnya kebijakan tarif balasan Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
IHSG dibuka di level 5.914,28 atau turun 9,19% dari penutupan terakhir sebelum libur. Penurunan tajam ini langsung memicu penghentian sementara perdagangan di tengah aksi jual besar-besaran yang melanda saham-saham unggulan seperti BBCA, BBRI, BMRI, dan TLKM.
- Kinerja MBMA Moncer, Ditopang Salah Satu Tambang Nikel Terkaya di Dunia
- Biang Kerok Bengkaknya Kerugian Merdeka Copper (MDKA) hingga 169 Persen
- Beban Bengkak, Laba Bersih TBIG Susut Jadi Rp1,36 Triliun
Pada pukul 09.00 WIB, nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia telah mencapai Rp1,92 triliun dari perputaran 1,59 miliar saham. Di tengah tekanan jual yang masif, hanya sembilan saham yang berhasil menguat, sementara 552 saham melemah dan 65 stagnan. Kapitalisasi pasar IHSG pun tergerus menjadi Rp10.218 triliun.
Tekanan terjadi hampir di seluruh sektor. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) anjlok 12,94% ke level Rp7.400. Disusul PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang ambles 13,46% ke Rp4.500, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang melemah 14,57% ke Rp3.460. Saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) juga rontok 14,94% ke level Rp2.050.
Saham-saham teknologi pun tak luput dari koreksi. PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) turun 14,46%, sementara PT Petrosea Tbk (PTRO) dan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) masing-masing melemah 14,75% dan 6,25%.
BEI sebelumnya menetapkan penyesuaian kebijakan terkait batas auto rejection bawah serta mekanisme trading halt. Dalam aturan yang berlaku, saham di Papan Utama, Papan Pengembangan, dan Papan Ekonomi Baru dapat turun hingga 15% dalam satu hari perdagangan. Sementara itu, jika IHSG turun lebih dari 8%, perdagangan dihentikan sementara selama 30 menit.
Jika penurunan berlanjut hingga lebih dari 15%, trading halt kembali diberlakukan. Dalam kondisi ekstrem, ketika IHSG turun lebih dari 20%, BEI dapat melakukan trading suspend hingga akhir sesi, atau lebih dari satu sesi dengan persetujuan OJK.
Menurut Valdy Kurniawan, Head of Research Phintraco Sekuritas, tekanan jual besar-besaran hari ini tak lepas dari kekhawatiran pasar terhadap perkembangan global selama libur Idulfitri.
“Salah satu faktor pemicu adalah kebijakan tarif balasan dari Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang dikenakan tarif sebesar 32%. Situasi ini menimbulkan kecemasan investor terhadap prospek perdagangan dan pertumbuhan ekonomi ke depan, sehingga memicu aksi sell-off,” jelasnya.
Senada, Direktur PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk., Reza Priyambada, menyebut gejolak ini bukan sepenuhnya tak terduga. Menurutnya, tekanan telah mengintai sejak awal tahun.
Situasi kali ini memperkuat urgensi kehati-hatian dalam membaca sentimen. “Kepanikan justru bisa memperburuk keadaan. Investor yang ikut-ikutan cenderung menjual saham dalam kondisi rugi,” ujarnya.
Mengacu pada data bursa global, Reza mengungkapkan bahwa indeks saham di Eropa dan Amerika Serikat juga mengalami tekanan. Indeks NASDAQ (CCMP) tercatat turun 11,44%, S&P 500 (SPX) merosot 10,53%, dan Dow Jones (DJI) melemah 9,26%. Di Eropa, indeks CAC (Prancis) turun 7,43%, DAX (Jerman) 7,81%, dan IBEX (Spanyol) 6,95%.
Untuk itu, Reza mengimbau investor untuk tetap tenang dan mengambil keputusan secara rasional. Ia menyarankan agar investor bersikap objektif. Jika ragu, sebaiknya mengambil sikap wait and see atau mengalihkan dana ke instrumen yang lebih stabil seperti obligasi atau reksa dana pasar uang.

Chrisna Chanis Cara
Editor
