Kejagung Periksa 1 Saksi Baru Skandal Korupsi BPJS Ketenagakerjaan
Tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa seorang saksi terkait kasus korupsi pada pengelolaan keuangan dan dana investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Reky Arfal
Author


Peserta BP Jamsostek berkomunikasi dengan petugas pelayanan saat melakukan klaim melalui Layanan Tanpa Kontak Fisik (Lapak Asik) di kantor Cabang Jakarta Menara Jamsostek, Jakarta, Jum’at, 10 Juli 2020. Seiring dengan meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja di tengah pandemi Covid-19, klaim BPJS Ketenagakerjaan turut melonjak. Pencairan tabungan di BP Jamsostek menjadi alternatif untuk mendukung daya beli pekerja yang tergerus. Sementara dalam rangka adaptasi kebiasaan baru dan untuk memutus penyebaran virus corona, BP Jamsostek telah menerapkan protokol pelayanan secara daring dan tanpa pertemuan secara fisik. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
(Istimewa)JAKARTA – Tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa seorang saksi terkait kasus korupsi pada pengelolaan keuangan dan dana investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan tim Jampidsus Kejagung memeriksa seorang saksi pada Senin, 15 Maret 2021, yaitu AA selaku Asisten Deputi Bidang Pasar Saham BPJS TK.
“Pemeriksaan saksi dilakukan guna mencari fakta hukum dan mengumpulkan alat bukti tentang perkara dugaan tipikor pada pengelolaan keuangan dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan,” katanya sebagaimana dikutip dari keterangan resmi.
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- Cegah Ledakan Kasus COVID-19, Pemerintah Geser dan Hapus Hari Libur Nasional Ini
- Penyaluran KPR FLPP: BTN Terbesar, Tiga Bank Daerah Terbaik
Sebagai catatan, Kejagung telah mengantongi nilai transaksi dalam dugaan penyimpangan investasi pada BPJS Ketenagakerjaan, senilai Rp43 triliun.
Meski demikian, nilai transaksi itu belum dapat dikatakan sebagai kerugian negara.
Penyidik perlu waktu untuk memeriksa satu per satu transaksi guna memastikan ada tidaknya unsur pidana.
“Salah satu yang harus dipastikan, yakni bentuk investasinya, apakah melanggar pidana atau hanya merupakan risiko bisnis,” tutupnya. (SKO)
