Jika Tarif Trump Kalah di Pengadilan: Ekonomi, Politik, dan Perdagangan AS Bisa Runtuh
- Putusan tarif Trump di Mahkamah Agung berpotensi picu refund ratusan miliar dolar dan krisis kepercayaan mitra dagang.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Presiden Donald Trump memperingatkan Amerika Serikat bisa saja membatalkan perjanjian dagang dengan Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan negara lain jika Mahkamah Agung menolak tarif yang ia terapkan.
"Kami membuat kesepakatan dengan Uni Eropa di mana mereka membayar kami hampir satu triliun dolar. Dan tahukah Anda? Mereka senang. Kesepakatan ini sudah selesai. Semua kesepakatan ini sudah selesai," ujar Trump didepan awak media AS, dikutip Reuters, Kamis, 4 September 2025.
Ancaman tersebut bukan hanya retorika politik, melainkan sinyal krisis yang dapat berimbas luas pada ekonomi domestik, pasar global, dan stabilitas hubungan internasional. Kesepakatan dagang yang dinegosiasikan Trump selama masa jabatannya dipuji pendukungnya sebagai keberhasilan politik luar negeri yang mendatangkan keuntungan finansial besar bagi AS.
Namun, jika Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan banding yang menyatakan tarif-tarifnya ilegal, seluruh kesepakatan itu bisa runtuh. Bagi mitra dagang utama seperti Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, pembatalan sepihak dapat mengikis kepercayaan terhadap komitmen jangka panjang Washington. Sementara itu, bagi dunia usaha, ketidakpastian ini bisa membuat rantai pasokan global kembali kacau setelah bertahun-tahun adaptasi pasca perang dagang Trump sebelumnya.
Tanggung Jawab Finansial Raksasa
Putusan banding menyatakan tarif berdasarkan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) tidak sah. Jika Mahkamah Agung setuju, AS mungkin harus mengembalikan lebih dari US$ 200 miliar kepada importir dalam negeri.
Proses refund berskala besar ini bisa menguras kas negara, memaksa penerbitan obligasi baru, dan memperlebar defisit anggaran. Dengan utang federal AS yang sudah mendekati rekor tertinggi, tambahan beban keuangan semacam ini bisa mengguncang kepercayaan investor terhadap obligasi AS dan menimbulkan tekanan pada stabilitas fiskal negara.
Konsekuensi fiskal tidak berhenti di sana. Jika pemerintahan Trump harus menutup lubang ratusan miliar dolar, yield obligasi AS kemungkinan akan naik sehingga mendorong biaya pinjaman lebih tinggi bagi perusahaan dan rumah tangga.
Tekanan inflasi juga bisa muncul kembali, terutama jika pengembalian dana tarif memicu lonjakan konsumsi jangka pendek. Pasar saham pun berisiko mengalami volatilitas baru. Reaksi awal sudah terlihat ketika kontrak berjangka Dow Jones melemah setelah komentar Trump, mencerminkan kegelisahan investor terhadap arah kebijakan perdagangan AS ke depan.
Hubungan Dagang Internasional
Ancaman Trump membawa dampak geopolitik serius. Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan mitra besar yang lain bisa kehilangan dasar kesepakatan yang mereka anggap sudah final.
Retaliasi berupa tarif balasan, penundaan perundingan investasi, hingga penguatan aliansi dagang non-AS bisa saja muncul. Negara berkembang seperti Vietnam, Thailand, dan Indonesia, yang sempat menikmati pengurangan tarif, juga berpotensi menghadapi ketidakpastian baru.
Hal ini dapat memengaruhi strategi ekspor mereka dan melemahkan arus investasi asing. Secara lebih luas, tata perdagangan global akan semakin terfragmentasi, dengan negara-negara mencari alternatif pasar di luar AS untuk mengurangi risiko ketergantungan. Efek dominonya juga bisa terasa di banyak negara. Di Asia Tenggara, misalnya, ketidakpastian ekspor berpotensi mengganggu rantai pasokan elektronik dan tekstil.
Di Amerika Latin, Meksiko dan Kanada yang masuk dalam lingkaran tarif Trump mungkin harus kembali menegosiasikan posisi mereka di bawah USMCA. Sementara itu, China meski tidak langsung terkait kasus ini, bisa saja diuntungkan jika negara-negara lain berbalik arah mencari pasar pengganti AS.
Pertarungan Politik Domestik
Bagi Trump, kasus ini bukan sekadar soal hukum, melainkan juga senjata politik. Jika kalah, ia kemungkinan besar akan menggambarkan Mahkamah Agung sebagai lembaga partisan yang menghalangi agenda “America First”. Di sisi lain, Partai Demokrat akan memanfaatkan kekalahan tersebut untuk menegaskan bahwa kebijakan tarif Trump sejak awal inkonstitusional dan merugikan rakyat AS.
Polarisasi politik dalam negeri bisa semakin tajam, terutama menjelang pemilu, dengan isu ekonomi dan perdagangan sebagai medan tempur utama. Keputusan Mahkamah Agung akan menciptakan preseden bersejarah. Jika Trump kalah, hal itu berarti presiden AS di masa depan tidak lagi leluasa menggunakan IEEPA untuk menetapkan tarif darurat.
Kondisi ini akan mempersempit ruang manuver Gedung Putih dalam menghadapi krisis dagang, memindahkan sebagian besar kendali kembali ke Kongres. Sebaliknya, jika Trump menang, presiden berikutnya akan memiliki kekuasaan lebih luas untuk menggunakan tarif sebagai alat politik luar negeri, yang sekaligus membuka pintu ketidakpastian baru di masa depan.

Muhammad Imam Hatami
Editor
