Jepang Kembali Lirik PLTN Pasca Fukushima, Apa Pelajaran bagi Rencana Nuklir Indonesia?
- Jepang mereaktivasi PLTN pasca-Fukushima dengan standar keselamatan ketat. Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia yang tengah mengkaji pembangunan PLTN.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Lebih dari satu dekade setelah bencana nuklir Fukushima Daiichi pada 2011, Jepang kembali menempatkan energi nuklir dalam strategi ketahanan energi nasional dan upaya penurunan emisi karbon.
Dikutip dari Japan Times, Senin, 22 Desember 2025, Pemerintah Jepang mendorong reaktivasi sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang sebelumnya dihentikan. Langkah ini diambil di tengah kenaikan harga energi global serta kebutuhan menjaga stabilitas pasokan listrik domestik.
Pasca kecelakaan Fukushima, Jepang melakukan reformasi besar terhadap sistem keselamatan dan pengawasan nuklir. Pemerintah membentuk Nuclear Regulation Authority (NRA) sebagai lembaga independen, memisahkan fungsi pengawasan dari promosi energi nuklir yang sebelumnya berada dalam satu institusi.
Sejak itu, reaktivasi PLTN mensyaratkan pemenuhan standar keselamatan baru yang lebih ketat. Persyaratan tersebut mencakup perlindungan terhadap gempa bumi dan tsunami di luar asumsi desain awal, sistem pendinginan darurat berlapis, serta ketersediaan sumber listrik cadangan yang terpisah secara geografis.
Menurut otoritas Jepang, standar keselamatan ini dirancang untuk menurunkan risiko kecelakaan beruntun seperti yang terjadi pada 2011. Namun, regulator tetap menyatakan bahwa risiko teknologi nuklir tidak dapat dihilangkan sepenuhnya.
Refleksi bagi Rencana PLTN Indonesia
Indonesia saat ini tengah mengkaji pembangunan PLTN, termasuk opsi Small Modular Reactor (SMR), sebagai bagian dari diversifikasi energi dan pengurangan emisi. Pengalaman Jepang menunjukkan bahwa pengembangan PLTN tidak hanya berkaitan dengan pembangunan fisik pembangkit, tetapi juga mencakup kesiapan sumber daya manusia, kelembagaan regulator, kerangka hukum, serta penerimaan publik.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Special Report on Renewable Energy mencatat bahwa pengoperasian PLTN membutuhkan sistem pendukung jangka panjang, termasuk pendidikan dan pelatihan tenaga ahli di bidang nuklir. Tanpa kesiapan tersebut, risiko operasional dan sosial dapat meningkat.
Indonesia telah memiliki institusi pendukung seperti perguruan tinggi teknik, lembaga riset, serta regulator keselamatan nuklir melalui Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun, pengembangan kapasitas secara berkelanjutan tetap menjadi prasyarat dalam rencana pembangunan PLTN.
Di Jepang, tantangan reaktivasi PLTN tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sosial dan ekonomi. Dampak psikologis bencana Fukushima masih memengaruhi tingkat penerimaan publik terhadap energi nuklir. Saat ini, persetujuan pemerintah daerah dan komunitas lokal menjadi salah satu syarat utama sebelum reaktor dapat kembali beroperasi.
Selain itu, proses evaluasi keselamatan oleh NRA memerlukan waktu panjang dan biaya besar. Sejumlah operator menilai bahwa biaya reaktivasi tidak selalu sebanding dengan manfaat ekonomi, terutama jika dibandingkan dengan pengembangan energi terbarukan atau impor energi.
Pengalaman Jepang juga menunjukkan pentingnya ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dalam pengoperasian dan pengawasan PLTN. Industri nuklir melibatkan berbagai disiplin keahlian, mulai dari operator reaktor, insinyur keselamatan, ahli proteksi radiasi, pengelola limbah radioaktif, hingga regulator dan auditor independen.
Di Jepang, regenerasi tenaga ahli nuklir menjadi tantangan tersendiri seiring menurunnya minat generasi muda pasca-Fukushima. Selain aspek SDM, pembangunan PLTN juga memerlukan kesiapan industri pendukung, termasuk manufaktur komponen, sistem keselamatan, dan pengelolaan limbah radioaktif.
Stabilitas dan konsistensi regulasi lintas pemerintahan menjadi faktor penting dalam memastikan keberlanjutan sektor nuklir, baik dari sisi investasi maupun pengelolaan keselamatan jangka panjang.

Muhammad Imam Hatami
Editor
