Jepang Butuh 6,8 Juta Pekerja Asing, tapi Gelombang Anti-Imigran Menguat
- Jepang butuh 6,88 juta pekerja asing pada 2040, tapi gelombang anti-imigran justru meningkat dipicu sentimen nasionalis dan sosial.

Muhammad Imam Hatami
Author


TOKYO , TRENASIA.ID - Malam di Osaka beberapa waktu lalu berubah riuh ketika ratusan orang turun ke jalan membawa spanduk dan meneriakkan slogan, “Jepang Harus Bertahan.” Pawai itu bukan sekadar ekspresi politik biasa, melainkan simbol kian menguatnya penolakan sebagian warga terhadap kehadiran imigran asing.
Di balik aksi tersebut berdiri Sanseito, partai nasionalis yang dalam pemilu Majelis Tinggi Jepang Juli 2025 berhasil meraih lonjakan suara signifikan.
“Di bawah globalisme, perusahaan multinasional telah mengubah kebijakan Jepang demi kepentingan mereka, Jika kita tidak melawan tekanan asing ini, Jepang akan menjadi koloni” ujar Sohei Kamiya, Ketua Sanseito, dalam kampanye baru-baru ini.
Salah satu agenda utamanya yaitu membatasi jumlah penduduk asing di tiap daerah hingga maksimal lima persen, serta memperketat aturan naturalisasi.
“Ini salah satu lonjakan paling mengejutkan dalam lanskap politik Jepang dalam beberapa tahun terakhir,” tulis laman Japan Times mengutip penyataan pengamat politik lokal dikutip, Senin, 1 September 2025.
Padahal, di sisi lain, angka pekerja asing di Jepang justru terus mencetak rekor baru. Per Oktober 2024, jumlah mereka mencapai 2,3 juta orang, naik hampir tiga kali lipat dibanding satu dekade lalu.
Mayoritas berasal dari Vietnam (570 ribu), China (408 ribu), dan Filipina (245 ribu), dengan sektor manufaktur, perhotelan, dan ritel sebagai ladang pekerjaan utama. Program magang teknis juga berkontribusi besar, menyerap lebih dari 20 persen tenaga asing.
Fenomena ini mencerminkan dilema Jepang: di tengah populasi yang menua cepat dan angka kelahiran terjun bebas hingga 1,15 pada 2024, negeri sakura justru makin bergantung pada tenaga kerja asing.
Laporan Japan International Cooperation Agency (JICA) bahkan memperkirakan Jepang akan membutuhkan 6,88 juta pekerja asing pada 2040 agar ekonominya tetap bertahan.
Tak heran, pemerintah meluncurkan program Specified Skilled Worker (SSW), yang membuka pintu bagi tenaga kerja terampil di 14 sektor vital seperti keperawatan, konstruksi, dan perhotelan.
Skema ini menjanjikan hak upah setara pekerja lokal dan akses ke fasilitas publik. Indonesia menjadi salah satu mitra strategis, dengan target pengiriman 70.000 tenaga ahli dalam lima tahun ke depan, bahkan berpotensi meningkat hingga 800.000 pekerja.
Berhadapan Dengan Resistensi Sosial
Namun, kebutuhan ekonomi itu harus berhadapan dengan gelombang resistensi sosial dan politik. Data Kementerian Kehakiman menunjukkan hanya 5,3 persen kasus kriminal pada 2023 melibatkan warga asing, angka yang relatif kecil.
Meski demikian, sentimen negatif tetap menguat, dipicu isu kepadatan turis, kenaikan harga properti, hingga beban pada sistem asuransi kesehatan.
Tak sedikit pekerja asing juga menghadapi diskriminasi. Survei menyebutkan hampir 30 persen imigran pernah mengalami perlakuan rasis. Program magang teknis, yang sejatinya dirancang untuk transfer keterampilan, justru kerap menuai kritik karena praktik kerja yang keras hingga dugaan eksploitasi.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba kini berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, ia harus menenangkan suara nasionalis yang menolak arus masuk tenaga kerja asing.
Di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan realitas demografis yang menuntut Jepang untuk tetap terbuka. Sebuah satuan tugas khusus pun dibentuk guna mengawasi turis dan imigran, sembari memastikan kebutuhan tenaga kerja asing tetap terpenuhi.
Bagi calon pekerja yang ingin meniti karier di Jepang, bekal kemampuan bahasa menjadi syarat mutlak. Sertifikat seperti JLPT atau JFT-Basic wajib dimiliki, ditambah kompetensi keahlian sesuai sektor.

Amirudin Zuhri
Editor
