Jejak Tay Juhana, Sang Penguasa Dapur Lewat Santan "Kara"
- Di banyak dapur rumah tangga Indonesia, santan kemasan sudah menjadi bahan pokok yang nyaris tak tergantikan. Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik setiap tetes santan yang keluar dari kemasan putih bertuliskan “Kara”, ada kisah perjuangan, inovasi, dan keberanian seorang pria keturunan Tionghoa yang menguasai kerajaan santan, Tay Juhana.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Di banyak dapur rumah tangga Indonesia, santan kemasan sudah menjadi bahan pokok yang nyaris tak tergantikan. Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik setiap tetes santan yang keluar dari kemasan putih bertuliskan “Kara”, ada kisah perjuangan, inovasi, dan keberanian seorang pria keturunan Tionghoa yang menguasai kerajaan santan, Tay Juhana.
Tay Juhana merupakan sosok yang pertama kali menciptakan santan kemasan siap pakai di dunia, produk yang mengubah cara memasak masyarakat modern dan sekaligus menjaga keberlangsungan kuliner tradisional berbasis kelapa.
Inovasi itu lahir bukan di laboratorium raksasa atau gedung modern, melainkan dari daerah terpencil di pesisir timur Sumatra, Kuala Enok, Riau, tempat yang dulu dikenal sebagai rawa-rawa tak produktif.
Dari tanah becek dan penuh genangan, Tay Juhana membangun kerajaan industri kelapa yang kemudian dikenal dengan nama Sambu Group, dan dari sanalah Kara lahir.
Jejak Awal
Tay Juhana lahir di Singapura pada 28 Oktober 1938, dari keluarga pedagang kopra. Masa kecilnya diwarnai aroma kelapa kering dan aktivitas pelabuhan yang sibuk.
Sejak remaja, ia sudah terlibat membantu ayahnya menimbang, menjemur, dan mengekspor kopra ke berbagai negara Asia Tenggara.
Namun, bagi Juhana muda, perdagangan kopra saja tidak cukup. Ia melihat potensi besar yang belum tergarap, bagaimana jika kelapa tidak hanya dijual sebagai bahan mentah, tetapi diolah menjadi produk bernilai tinggi?
Mimpi itu membawanya ke Indonesia. Ia menetap di Riau, menjadi Warga Negara Indonesia pada 1966, dan setahun kemudian mendirikan PT Pulau Sambu di Kuala Enok.
Saat banyak orang menganggap wilayah itu tidak layak untuk pertanian, Tay justru melihat peluang di balik tantangan.
Dengan pendekatan teknik sederhana namun cerdas, ia membuat sistem parit-parit drainase yang menyalurkan air pasang dan hujan keluar dari lahan rawa, hingga akhirnya lahan tersebut berubah menjadi perkebunan kelapa yang subur.
Kerja kerasnya menuai hasil besar, pada tahun 1991 ia dianugerahi Satyalencana Pembangunan oleh Presiden Soeharto, sebagai pengakuan atas dedikasinya mengubah lahan marginal menjadi sentra produksi kelapa nasional.

Lahirnya “Kara”
Pada dekade 1980-an, industri kelapa Indonesia menghadapi tantangan baru. Permintaan ekspor minyak kelapa menurun, sementara masyarakat mulai menginginkan produk yang lebih praktis dan higienis. Saat itulah, Tay Juhana mulai berpikir jauh ke depan.
Ia melihat satu masalah besar di dapur, membuat santan secara tradisional terlalu merepotkan. Harus memarut kelapa, menambahkan air, lalu memerasnya dengan tangan. Proses ini memakan waktu dan tidak efisien bagi masyarakat modern yang sibuk.
Setelah bertahun-tahun riset dan eksperimen di fasilitas pengolahan PT Pulau Sambu (Guntung), lahirlah produk “Kara” pada tahun 1989, santan kemasan siap pakai pertama di dunia.
Dengan teknologi sterilisasi aseptik (UHT), santan segar bisa dikemas tanpa bahan pengawet dan bertahan lama dalam suhu ruang, tanpa kehilangan rasa dan aroma alami kelapa.
Inovasi ini bukan hanya praktis, tetapi juga revolusioner. Ia menjembatani masa lalu dan masa depan, mempertahankan keaslian cita rasa nusantara, namun dengan efisiensi dan kebersihan modern.
Keberhasilan Kara tidak berhenti di pasar domestik. Produk ini segera menembus pasar global dan kini telah diekspor ke lebih dari 80 negara, bahkan menjangkau hingga 150 negara di seluruh dunia.
Konsumen dari Asia, Eropa, Timur Tengah, hingga Amerika Utara menyambut Kara sebagai solusi ideal untuk memasak hidangan bersantan, mulai dari rendang, curry Thailand, laksa Malaysia, hingga dessert tropis Karibia.
Uniknya, di banyak negara, “Kara” telah menjadi istilah generik untuk semua jenis santan kemasan. Seperti “Aqua” untuk air mineral, “Kara” kini identik dengan santan.
Fakta tersebut menjadi bukti pengaruh budaya yang sangat kuat, produk Indonesia yang lahir di rawa-rawa Riau kini menjadi simbol kepraktisan kuliner global.
Selain itu, ekspansi Kara turut memperkenalkan kuliner Indonesia ke dunia. Melalui jaringan distribusi internasionalnya, hidangan seperti rendang dan opor semakin dikenal dan diolah oleh chef mancanegara.
Filosofi Bisnis “Kelapa Rakyat"
Nama “Kara” ternyata bukan sekadar branding manis, melainkan memiliki makna mendalam. “Kara” adalah singkatan dari “Kelapa Rakyat”, filosofi bisnis yang menjadi jiwa seluruh usaha Tay Juhana.
Ia percaya bahwa keberhasilan industri harus dimulai dari kesejahteraan petani. Karena itu, PT Pulau Sambu membeli kelapa langsung dari petani lokal tanpa diskriminasi terhadap ukuran atau bentuk buah. Setiap butir kelapa memiliki nilai, dan setiap petani punya peran dalam rantai produksi global.
Tidak hanya itu, Tay juga aktif membangun fasilitas sosial di sekitar wilayah operasional perusahaan sekolah, rumah ibadah, jalan desa, hingga klinik kesehatan, semuanya untuk memastikan kemajuan ekonomi berjalan seiring dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kini, filosofi itu diteruskan oleh Tay Juhana Foundation, lembaga yang fokus pada pemanfaatan lahan suboptimal untuk ketahanan pangan berkelanjutan.
Fondasi ini melanjutkan visi Tay untuk mengubah tantangan menjadi peluang, dan menjadikan pertanian sebagai kekuatan bangsa.
Di bawah kepemimpinan keluarga Tay, Sambu Group berkembang menjadi raksasa industri kelapa terpadu yang mengelola rantai pasok dari hulu ke hilir.
Dari perkebunan kelapa, pabrik pengolahan, hingga produk turunan bernilai tinggi seperti santan, minyak kelapa, air kelapa, dan tepung kelapa.
Tay Juhana meninggal dunia pada tahun 2015, tetapi warisannya hidup di setiap tetes santan yang dituangkan di dapur. Ia membuktikan bahwa inovasi tidak selalu lahir dari kota besar atau laboratorium canggih, melainkan dari pandangan visioner dan kerja keras di tempat yang tak disangka-sangka.

Muhammad Imam Hatami
Editor
