Jejak Panjang Pho: Mi Kuah Vietnam yang Jadi Warisan Dunia dari Dapur Kolonial
- Pho bukan sekadar mi kuah khas Vietnam. Hidangan yang lahir dari persilangan budaya Prancis dan tradisi lokal ini berkembang mengikuti pergolakan sejarah Vietnam, hingga akhirnya diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda pada 2024.

Ananda Astri Dianka
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Jika Indonesia dikenal dunia lewat sajian nasi goreng, Vietnam memiliki kuliner khas yang tak kalah mendunia: Pho (dibaca fuh). Hidangan berupa mi kuah dengan sayuran serta beragam pilihan daging ini menawarkan cita rasa unik berkat teknik memasak dan racikan bumbu yang berbeda dari mi kuah pada umumnya. Topping daging yang digunakan pun bervariasi, mulai dari sapi hingga bebek.
Popularitas Pho sudah meluas jauh melampaui Vietnam. Kini, hidangan ini mudah ditemui di berbagai kota besar di dunia, berkat penggemarnya yang terus bertambah.
Jejak Kuliner Fusi Prancis–Vietnam
Menariknya, masyarakat Vietnam pada masa lampau tidak terbiasa mengonsumsi daging sapi. Perubahan ini terjadi pada pertengahan abad ke-19 ketika Prancis datang dan menjajah Vietnam. Saat itu, sapi dan kerbau lebih banyak dimanfaatkan sebagai hewan pekerja untuk membajak sawah ketimbang dikonsumsi.
Kehadiran kolonial Prancis memengaruhi pola makan masyarakat setempat. Selain memperkenalkan konsumsi daging sapi, mereka juga mendorong berkembangnya peternakan sapi sebagai sumber protein hewani. Dari sinilah tradisi kuliner baru mulai terbentuk, termasuk kehadiran banh mie yang kelak bertransformasi menjadi Pho.
Para ilmuwan dan pegiat kuliner menilai Pho merupakan hasil perpaduan masakan Prancis dan tradisi lokal Vietnam. Nama pho sendiri diperkirakan berasal dari istilah Prancis pot-au-feu, yang berarti “panci di atas api” sebuah hidangan rebusan daging. Dalam proses masak, potongan daging sapi yang dianggap kurang layak oleh masyarakat Prancis justru dimanfaatkan warga lokal sebagai bahan utama kaldu Pho.
Cita rasa Pho yang khas hadir dari perpaduan kaldu daging sapi dan rempah seperti adas, kayu manis, biji ketumbar, serta kapulaga hitam. Saat disajikan, hidangan ini diperkaya daun ketumbar segar, herba khas Vietnam, bawang merah, dan irisan cabai yang memberikan kesegaran sekaligus aroma kuat.
Perbedaan Pho Utara dan Selatan
Sejarah panjang Vietnam turut membentuk variasi rasa Pho. Pada 1954, negara tersebut terpecah menjadi Vietnam Utara yang berhaluan komunis dan Vietnam Selatan yang antikomunis. Perbedaan budaya kedua wilayah akhirnya tercermin dalam cita rasa Pho.
Pho Utara, terutama dari Hanoi, dikenal lebih sederhana, ringan, dan minim topping. Sebaliknya, Pho Selatan menawarkan porsi lebih besar serta rasa yang lebih manis, kuat, dan berlemak. Variasi ini tak lepas dari kondisi wilayah Selatan yang lebih subur sehingga kaya rempah dan tanaman herba.
Di Selatan, Pho biasanya disajikan dengan kecambah, daun kemangi, daun mint, dan ketumbar. Sementara di wilayah Utara, tambahan seperti jeruk nipis, cabai jalapeno, dan daun jeruk menjadi ciri yang memperkaya aroma kaldu.
Konflik politik dan perang saudara yang melibatkan Amerika Serikat pada era 1950–1970-an memicu arus pengungsian besar-besaran. Persebaran diaspora Vietnam ke berbagai negara seperti Prancis, Amerika Serikat, Australia, dan Inggris ikut memperluas popularitas Pho sampai ke mancanegara.
Resmi Diakui UNESCO
Puncak ketenaran Pho terjadi pada 2024, ketika pemerintah Vietnam menetapkannya sebagai kuliner nasional dan warisan budaya tak benda yang diakui oleh UNESCO. Deklarasi ini menegaskan bahwa Pho bukan sekadar hidangan, tetapi bagian penting dari perjalanan sejarah dan identitas bangsa Vietnam.
Kini, Hanoi dikenal sebagai kota kelahiran Pho, dan hidangan tersebut menjadi simbol persatuan masyarakat Vietnam. Pho tidak hanya menembus batas politik dan ideologi, tetapi juga sukses menjadi representasi jiwa serta budaya kuliner Vietnam di panggung dunia.

Ananda Astri Dianka
Editor
