Jauh Panggang dari Api Implementasi K3 di Indonesia
- Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel, sapaan akrabnya, diduga terlibat dalam kasus pemerasan terhadap perusahaan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Sejauh mana sebenarnya implementasi K3 di Indonesia?

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel, sapaan akrabnya, diduga terlibat dalam kasus pemerasan terhadap perusahaan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan, dugaan pemerasan itu dilakukan Wamenker terhadap beberapa perusahaan. Fitroh mengatakan, OTT tersebut terkait dugaan pemerasan, dan terdapat 10 orang lain yang ikut diamankan bersama Wamenker.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah usaha untuk membangun lingkungan kerja yang aman dan sehat, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan atau penyakit akibat kelalaian, yang pada akhirnya bisa memicu penurunan motivasi serta menurunnya produktivitas kerja.
Dilansir dari satudata.kemnaker.go.id, mengabaikan K3 bisa mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja (KK) maupun penyakit akibat kerja (PAK), yang sering berujung pada luka-luka, cacat, hingga kematian.
Hal ini bukan hanya menimbulkan penderitaan bagi pekerja dan keluarganya, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi pengusaha, berupa hilangnya sumber daya manusia sebagai aset penting (human capital asset), menurunnya produktivitas, kerusakan properti, hingga terhambat atau terhentinya kegiatan usaha.
Kecelakaan kerja menjadi tantangan serius bagi keberlangsungan usaha di seluruh sektor industri. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya sebatas kerugian materi yang besar, tetapi juga mencakup kerugian terbesar berupa banyaknya korban jiwa.
Dilansir dari djkn.kemenkeu.go.id, berdasarkan UU Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960 Bab I Pasal II, Kesehatan Kerja merupakan suatu kondisi kesehatan yang bertujuan untuk memberikan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi para pekerja, mencakup aspek jasmani, rohani, dan sosial.
Hal ini dicapai melalui upaya pencegahan serta pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang timbul akibat pekerjaan, lingkungan kerja, maupun penyakit umum.
Sejarah K3 di Indonesia berawal pada masa kolonial, ketika pemerintah Belanda mulai memperhatikan kondisi kerja di pabrik dan tambang. Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia semakin serius mengembangkan regulasi K3.
Pada tahun 1970 diterbitkan Undang-Undang Nomor 1 tentang Keselamatan Kerja, yang menjadi dasar penting bagi pengaturan K3. Undang-undang ini mencakup berbagai aspek keselamatan kerja, termasuk lingkungan kerja, penggunaan alat pelindung diri, serta hak dan kewajiban pekerja maupun pengusaha.
Undang-undang ini mewajibkan pengusaha untuk menerapkan prosedur keselamatan yang tepat, menyediakan alat pelindung diri, serta membentuk sistem pelaporan jika terjadi insiden.
Tanpa adanya regulasi tersebut, keselamatan kerja bisa jadi hal yang diabaikan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap undang-undang ini menjadi hal yang sangat penting bagi semua pihak di lingkungan kerja.
Selain Undang-Undang No. 1 Tahun 1970, terdapat sejumlah peraturan pendukung yang memperkuat penerapan K3, antara lain Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 5 Tahun 1996 mengenai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Peraturan ini mengharuskan perusahaan menerapkan SMK3 untuk memastikan keselamatan dan kesehatan pekerja di lingkungan kerja. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Lingkungan Kerja.
Meski regulasi K3 telah dirancang secara komprehensif, penerapannya di lapangan kerap tidak memenuhi harapan. Beberapa faktor yang menghambat implementasi K3 di Indonesia meliputi, rendahnya kesadaran dan budaya K3, terbatasnya pelatihan serta pendidikan K3, serta adanya kendala finansial dan teknis.
Selain itu, terbatasnya penyedia pelatihan yang menyelenggarakan program berkualitas di bidang K3 juga menyulitkan perusahaan dalam memastikan Operator K3 memperoleh pembekalan yang memadai dan sesuai dengan perkembangan terbaru di bidang tersebut.
Dilansir dari indonesiasafetycenter.org, aspek anggaran juga menjadi perhatian serius, karena beberapa perusahaan enggan atau mengalami kesulitan dalam mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan Operator K3.
Pandangan yang menilai pelatihan K3 hanya sebagai biaya tambahan bisa membatasi pemahaman manajemen akan pentingnya peran Operator K3 dalam meningkatkan standar keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan.
Kurangnya pemahaman manajemen puncak mengenai peran strategis Operator K3 dapat menjadi kendala signifikan.
Apabila Operator K3 hanya dilihat sebagai kewajiban regulasi semata, tanpa dianggap sebagai elemen penting dalam strategi keselamatan dan kesehatan kerja, maka peran serta kontribusinya cenderung tidak mendapatkan dukungan penuh dari manajemen tingkat atas.
Banyak pelaku usaha, khususnya di sektor UKM atau usaha informal, belum sepenuhnya memahami kewajiban mereka dan sering memandang keselamatan kerja sebagai beban tambahan.
Di sisi lain, pengawasan dari instansi terkait seperti Dinas Ketenagakerjaan masih belum merata, disebabkan keterbatasan SDM maupun fokus pengawasan yang lebih menitikberatkan pada sektor formal.
Solusinya bukan sekadar memperketat regulasi, tetapi juga memperluas edukasi. Pelatihan rutin bagi manajemen maupun pekerja perlu dijadikan bagian dari budaya kerja, bukan hanya formalitas saat audit. Pemerintah juga harus memperkuat peran pengawas K3 dan menempatkan program-program pembinaan sebagai agenda prioritas, bukan kegiatan tambahan semata.

Distika Safara Setianda
Editor
