Tren Ekbis

Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Hantu Inflasi Impor Pangan Kian Nyata

  • Kenaikan harga minyak akan mendorong lonjakan biaya logistik internasional, yang pada gilirannya menaikkan harga bahan baku dan produk pangan impor seperti gandum, kedelai, gula, dan daging sapi.
Tongkang Laut Dimuat dengan Minyak Mentah dari Formasi Eagle Ford Shale di Crude Dock yang Baru Diperluas di Pelabuhan Corpus Christi, Texas
Tongkang Laut Dimuat dengan Minyak Mentah dari Formasi Eagle Ford Shale di Crude Dock yang Baru Diperluas di Pelabuhan Corpus Christi, Texas (Reuters/Darren Abate) (Reuters/Darren Abate)

JAKARTA – Perang Israel-Iran telah menjadi titik balik terbaru dalam eskalasi konflik Timur Tengah.  Bukan hanya berisiko memicu Perang Dunia III, , juga turut mengancam stabilitas energi global.  Terutama dengan munculnya ancaman gangguan di Selat Hormuz, jalur vital pengangkutan lebih dari 20 persen pasokan minyak dunia.

Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menilai efeknya langsung terasa di pasar minyak internasional. Per 23 Juni 2025, harga minyak mentah Brent tercatat naik ke US$77,7 per barel, melonjak 20,54% secara bulanan.

"Meski level ini masih berada di bawah asumsi dasar makro APBN 2025 sebesar US$82 per barel, lonjakan tajam dalam waktu singkat ini memicu kekhawatiran efek berantai terhadap harga-harga barang strategis di Indonesia terutama energi dan pangan,"katanya kepada TrenAsia.id pada Senin, 23 Juni 2025.

Menurut Eliza, Indonesia sebagai negara net importir minyak mentah sangat rentan terhadap gejolak harga energi global. Kenaikan harga minyak akan mendorong lonjakan biaya logistik internasional, yang pada gilirannya menaikkan harga bahan baku dan produk pangan impor seperti gandum, kedelai, gula, dan daging sapi.

Jika harga BBM domestik turut disesuaikan naik, maka biaya distribusi dalam negeri pun ikut terkerek membuat harga pangan lokal dari produsen ke konsumen melonjak.

Pilihan Sulit Pemerintah: Subsidi atau Penyesuaian Harga?

Menurut Eliza selama harga Brent masih di bawah asumsi dasar US$82, pemerintah relatif masih bisa mengelola dampak fiskalnya. Tapi jika harga minyak dunia menembus asumsi makro, pemerintah menghadapi dua skenario besar.

Kapasitas fiskal mencukupi, di mana Pemerintah bisa mempertahankan harga BBM dengan menambah anggaran subsidi dan meningkatkan defisit APBN.

Maka pemerintah tak bisa menambah subsidi, dan opsi penyesuaian harga BBM menjadi tak terhindarkan.

Jika opsi kedua yang terjadi, maka lonjakan harga BBM akan langsung berdampak pada inflasi biaya produksi, logistik, dan barang konsumsi harian terutama pangan.

Bahaya di Tengah Daya Beli yang Melemah

Efek dari konflik ini tak berhenti di energi. Ketika ketidakpastian geopolitik tinggi, investor global cenderung menarik dananya dari emerging markets dan beralih ke aset aman (safe haven) seperti emas dan dolar AS. Akibatnya, rupiah tertekan, dan nilai tukar memburuk.

Situasi ini makin memperparah imported inflation atau kenaikan harga dalam negeri akibat mahalnya barang impor. Ketika bahan baku impor seperti gandum, kedelai, gula, dan pupuk naik drastis, dan produsen sudah tak mampu menahan biaya, maka harga di tingkat konsumen pun ikut naik.

“Jika produsen sudah tidak mampu menahan beban biaya, mereka akan mentransmisikan ke harga jual. Ini yang akan menggerus daya beli rakyat, terutama kelas menengah yang sudah tertekan oleh PHK dan stagnasi lapangan kerja,” jelas Eliza.

Daya Beli Rakyat di Ambang Batas

Ketika harga kebutuhan pokok naik sementara pendapatan tidak bertambah, masyarakat berpendapatan menengah dan bawah akan menunda konsumsi, mengganti pola makan, atau menarik tabungan.

Kondisi ini berbahaya karena bisa menggerus konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Bansos memang membantu, tapi tidak menyelesaikan akar masalah. Yang dibutuhkan adalah strategi stabilisasi harga dan penguatan logistik pangan nasional,” tambah Eliza.

Pemerintah disebut Eliza menghadapi tantangan berat dalam menjaga keseimbangan antara kestabilan harga, ketahanan fiskal, dan daya beli masyarakat. Jika strategi subsidi tidak dikaji ulang dan rantai pasok tidak diperkuat, maka Indonesia akan kembali mengalami siklus krisis pangan dan energi yang menyakitkan.