hukum bisnis

Inilah Regulasi yang Dilanggar dan Sanksi Jika Terdapat Ketidaksesuaian Angka di Lapkeu Emiten

  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki sejumlah peraturan yang mengatur kewajiban emiten dalam menyusun laporan keuangan yang akurat. Jika ditemukan ketidaksesuaian angka, ada beberapa regulasi yang mungkin dilanggar serta sanksi yang dapat dikenakan.
<p>Ilustrasi laporan keuangan. / Sumber: id.pinterest.com</p>

Ilustrasi laporan keuangan. / Sumber: id.pinterest.com

(Istimewa)

JAKARTA – Ketidaksesuaian angka dalam laporan keuangan emiten dapat menjadi masalah serius yang berdampak pada transparansi dan kepercayaan investor. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki sejumlah peraturan yang mengatur kewajiban emiten dalam menyusun laporan keuangan yang akurat. Jika ditemukan ketidaksesuaian angka, ada beberapa regulasi yang mungkin dilanggar serta sanksi yang dapat dikenakan. 

Regulasi yang Berpotensi Dilanggar 

1. POJK Nomor 29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik 

Peraturan ini mengharuskan emiten menyusun laporan tahunan yang akurat dan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Jika terjadi ketidaksesuaian angka dalam laporan keuangan, maka emiten berpotensi melanggar aturan ini dan bisa dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin usaha. 

2. POJK Nomor 75/POJK.04/2017 tentang Tanggung Jawab Direksi atas Laporan Keuangan 

Peraturan ini menegaskan tanggung jawab direksi dalam memastikan laporan keuangan disajikan secara wajar. Jika ketidaksesuaian terjadi akibat kelalaian atau kesengajaan, direksi dapat dikenakan denda administratif. 

3. POJK Nomor 14/POJK.04/2022 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten atau Perusahaan Publik 

Peraturan ini mengatur kewajiban emiten untuk menyampaikan laporan keuangan berkala yang akurat. Pelanggaran terhadap peraturan ini dapat berujung pada peringatan tertulis hingga sanksi administratif berupa denda. 

Sanksi yang Bisa Dikenakan 

OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada emiten yang tidak memenuhi standar pelaporan keuangan. Beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan antara lain: 
- Peringatan tertulis 
- Denda administratif 
- Pembatasan atau pembekuan kegiatan usaha 
- Pencabutan izin usaha 
 

Ketidaksesuaian angka dalam laporan keuangan emiten bisa terjadi dalam berbagai bentuk, baik yang disengaja (fraud) maupun tidak disengaja (human error atau salah pencatatan). Berikut beberapa contoh kasus yang pernah terjadi di pasar modal Indonesia dan internasional: 

1. Perbedaan Laba atau Pendapatan di Laporan Keuangan dan Publikasi 
- Kasus Garuda Indonesia (2018-2019): Garuda melaporkan laba bersih US$5 juta pada 2018, tetapi setelah audit ulang oleh regulator, ditemukan adanya pencatatan pendapatan dari perjanjian kerja sama yang belum terealisasi senilai US$239 juta. Ini membuat laba seharusnya negatif.  
- Kasus Toshiba (2015): Toshiba menggelembungkan laba sekitar $1,2 miliar selama beberapa tahun dengan manipulasi pencatatan biaya dan pendapatan.  

2. Penyajian Utang atau Liabilitas yang Tidak Akurat 

- Kasus Enron (2001): Enron menggunakan Special Purpose Entities (SPE) untuk menyembunyikan utang, sehingga laporan keuangannya tampak sehat meskipun perusahaan mengalami krisis keuangan.  

- Kasus Lehman Brothers (2008): Bank investasi ini menggunakan teknik "Repo 105" untuk menghapus sementara utang dari neraca agar terlihat lebih sehat sebelum akhirnya bangkrut.  

Baca Juga: Babak Baru Kasus Korupsi Bank BJB, KPK Geledah Rumah Ridwan Kamil

3. Kesalahan dalam Pencatatan Kas atau Aset

- Kasus WorldCom (2002): Perusahaan telekomunikasi ini menggelembungkan aset lebih dari $11 miliar dengan salah mencatat biaya operasional sebagai belanja modal.  

- Kasus Kimia Farma (2002): Emiten farmasi ini ketahuan menggelembungkan laba Rp32 miliar dengan memanipulasi pencatatan harga pokok penjualan.  

4. Penggunaan Estimasi yang Tidak Wajar dalam Akuntansi

- Kasus Xerox (2002): 
Xerox mempercepat pengakuan pendapatan dari kontrak jangka panjang agar tampak lebih menguntungkan.  
- Kasus British Telecom (2017): 

Ditemukan adanya manipulasi dalam laporan keuangan anak usahanya di Italia yang menyebabkan kerugian £530 juta.  

Banyak ketidaksesuaian angka ini terjadi karena tekanan untuk menunjukkan kinerja yang baik kepada investor. Regulator seperti OJK dan BEI di Indonesia atau SEC di AS berusaha mengawasi dan mencegah hal-hal seperti ini dengan audit dan aturan ketat. 

PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) pun menjadi sorotan setelah munculnya dugaan kasus korupsi dalam markup dana iklan senilai Rp200 miliar, yang mana tentunya markup tersebut akan berpengaruh kepada ketidaksesuaian di laporan keuangan. 

Sebelum kasus ini mencuat, Bank BJB terlebih dahulu dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Rakyat Peduli Keuangan Negara terkait dugaan kejanggalan dalam laporan keuangan tahun 2021. 

Pada Agustus 2024, LSM Gerakan Rakyat Peduli Keuangan Negara yang diketuai oleh Evert Nunuhitu melaporkan dugaan penyimpangan senilai Rp219 miliar dalam laporan keuangan Bank BJB tahun buku 2021. 

Dugaan ini mencakup perbedaan pencatatan dividen sebesar Rp14,39 miliar dan selisih dalam pencadangan kerugian kredit sebesar Rp204,7 miliar. 

Dalam laporan arus kas konsolidasi perusahaan, pembayaran dividen kas tercatat sebesar Rp941,97 miliar, tetapi dalam laporan ekuitas konsolidasian hanya Rp927,58 miliar. 

Selisih Rp14,39 miliar tersebut kemudian dimasukkan ke dalam pos pemasukan kepentingan non-pengendali.  Selain itu, terdapat ketidaksesuaian dalam pencatatan beban penyisihan kerugian penurunan nilai, di mana laporan laba rugi mencatat Rp587,75 miliar, sementara total cadangan kerugian penurunan nilai mencapai Rp792,47 miliar. 

\Menanggapi tuduhan tersebut, Bank BJB melalui Divisi Hukum yang dipimpin oleh Boy Panji menegaskan bahwa laporan keuangan mereka telah mengikuti standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku. 

Laporan tersebut juga telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di OJK dan telah mendapat persetujuan dari BEI. 

Kasus Markup Dana Iklan Rp200 Miliar 

Setelah laporan dugaan kejanggalan laporan keuangan 2021, Bank BJB kembali menjadi sorotan dengan temuan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan dana iklan perusahaan. 

Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Maret 2024, ditemukan indikasi markup dalam biaya iklan yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp200 miliar dalam periode 2021-2023. 

Bank BJB mengalokasikan anggaran iklan sebesar Rp1,15 triliun dalam tiga tahun tersebut, dengan Rp801,5 miliar dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec). Dari jumlah itu, Rp341,8 miliar dialokasikan untuk kerja sama dengan enam agensi periklanan. 

Namun, BPK menemukan adanya praktik markup biaya iklan yang seharusnya Rp200 juta per tayang menjadi Rp400 juta, sehingga mengakibatkan potensi kerugian besar bagi negara.