Tren Global

Industri Mobil Listrik Asia Balapan, Siapa yang Menang?

  • Asia menjadi arena perang mobil listrik global. China melaju di depan, Korea dan Jepang bersaing mempertahankan posisi, sementara Indonesia, Thailand, dan Vietnam menawarkan dinamika baru lewat strategi unik masing-masing.
vinfast.png
Mobil Listrik VinFast (bbc international)

JAKARTA, TRENASIA.ID  - Industri otomotif dunia tengah memasuki era kendaraan listrik. Jika dulu Jepang mendominasi dengan produk mobil konvensional dan hybrid, kini peta persaingan telah berubah. Asia menjadi arena balapan sengit antarnegara untuk memimpin industri kendaraan masa depan. 

Dari China yang melaju kencang, Korea Selatan yang inovatif, Jepang yang masih hati-hati, hingga Thailand, Indonesia, dan Vietnam yang bersiap mengejar, persaingan diantara negara-negara Asia bukan hanya soal mobil, melainkan juga teknologi, energi, dan strategi industri.

Tak bisa dipungkiri, China adalah raja mobil listrik dunia. Dengan total penjualan 10,2 juta unit pada 2022, Negeri Tirai Bambu tak hanya menguasai pasar domestik, tapi juga pasar global. Pada semester pertama 2023, ekspor mobil listrik China menembus 2,34 juta unit, melampaui Jepang.

Nama besar seperti BYD yang sukses menjual 3 juta unit terjual pada 2023, SAIC, dan NIO membuat China hampir mustahil disaingi. Ditambah lagi, teknologi baterai mereka, mulai dari blade battery hingga sistem pertukaran baterai NIO menjadikan China bukan hanya produsen, tapi juga inovator.

Di Asia Tenggara, dominasi China semakin terasa. 70% penjualan kendaraan listrik di kawasan ini dikuasai mereka, dengan BYD memimpin pangsa pasar sebesar 47%. Singkatnya, China sudah jauh berada di depan dalam balapan ini.

Baca juga : Info Grafis: Proyeksi Mobil Listrik dan Kebutuhan SPKLU hingga 2033

Jepang Salah Strategi

Jepang adalah legenda lama dunia otomotif. Namun, di arena mobil listrik baterai (BEV), mereka justru tertinggal. Jepang terlalu lama bertahan di teknologi hybrid, yang memang sukses di pasar seperti Indonesia, di mana penjualan hybrid pada awal 2024 (20.291 unit) lebih tinggi daripada BEV (11.051 unit).

Toyota dan Honda tetap jadi pemain adalan produk Jepang, tapi strategi yang lambat membuat mereka kini dalam posisi mengejar. Ditambah lagi, beberapa pabrikan Jepang mulai menutup pabrik di Thailand akibat serbuan EV China. Jepang memang masih kuat, tapi jika tak segera beradaptasi, mereka bisa tergelincir dalam balapan teknologi mobil listrik.

Korea Selatan Penantang dengan Strategi

Di belakang China, Korea Selatan tampil sebagai penantang serius. Hyundai dengan Ioniq 5 dan investasi besar-besaran di Asia Tenggara menunjukkan bahwa mereka tak ingin sekadar jadi pengikut.

Pabrik baterai hasil kerja sama Hyundai-LG di Indonesia berkapasitas 10 GWh per tahun, cukup untuk memenuhu permintaan 150 ribu unit kendaraan listrik. Korea paham betul, kunci masa depan ada pada baterai dan rantai pasok, bukan hanya produksi mobil.

Meski menghadapi tekanan dari agresivitas China, Korea punya modal inovasi dan brand global yang kuat untuk tetap bersaing dalam jangka panjang.

Thailand : Pusat Produksi, Bukan Pemain Utama

Thailand sudah lama dikenal sebagai Detroit of Asia berkat industri otomotif konvensionalnya. Kini, mereka bertransformasi menjadi hub produksi mobil listrik, terutama bagi produsen China yang menanamkan investasi hingga US$ 1,44 miliar.

Namun, posisi Thailand lebih sebagai basis produksi ketimbang penguasa pasar. Masalah muncul ketika impor EV China terlalu masif, menyebabkan kelebihan pasokan hingga 90 ribu unit dan penurunan penjualan mobil konvensional sebesar 23% pada awal 2024. Thailand tetap penting dalam rantai pasok regional, tetapi masih kesulitan membangun merek lokal yang kuat.

Baca juga : Mobil Listrik Melonjak 29 Kali Lipat, Infrastruktur SPKLU Sudah Siap?

Indonesia : Kuda Hitam dengan Modal Nikel

Indonesia baru masuk lintasan, tapi langsung melaju cepat. Penjualan BEV melonjak 211% pada semester I 2025, mencapai 35.749 unit. Pemerintah pun memasang target ambisius, produksi 600 ribu unit BEV pada 2030.

Kekuatan Indonesia terletak pada sumber daya nikel terbesar di dunia (55 juta ton), yang menjadi bahan baku utama baterai. Dengan adanya pabrik baterai Hyundai-LG berkapasitas 10 GWh, Indonesia punya modal untuk membangun ekosistem EV yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Ditambah masuknya merek besar seperti BYD, Wuling, Chery, dan Hyundai, Indonesia berpotensi menjadi pusat pertumbuhan EV di ASEAN.

Vietnam : Pendatang Baru yang Penuh Kejutan

Meski relatif baru, Vietnam lewat VinFast mengejutkan banyak pihak. Model seperti VF5, VFe34, dan VF3 dipasarkan dengan harga terjangkau mulai Rp200 jutaan, menyasar segmen masyarakat luas.

Keberhasilan mereka terlihat dari 27.400 pre-order VF3 hanya dalam tiga hari di Vietnam. Di Indonesia, VinFast menggebrak dengan strategi agresif, program buyback hingga 90% harga asli dan insentif berupa cashback serta pengisian daya gratis.

Kelemahannya, skala produksi dan teknologi mereka masih jauh di bawah raksasa seperti BYD atau Hyundai. Namun, dengan dukungan pemerintah dan strategi harga terjangkau, VinFast jelas jadi pemain yang tak bisa diremehkan.

Siapa yang Menang dalam Balapan Ini?

China saat ini melaju di depan dan menjadi pemain dominan yang sulit dikejar dalam industri mobil listrik Asia dan Dunia. Korea Selatan muncul sebagai penantang serius dengan strategi berbasis teknologi yang kuat, sementara Jepang justru tertinggal karena masih terjebak dalam strategi hybrid, meskipun nama besar produsen mobilnya tetap memberi pengaruh global. 

Thailand berperan sebagai pusat produksi regional yang penting, tetapi belum menjadi inovator utama. Indonesia mulai dipandang sebagai kuda hitam dengan modal besar berupa cadangan nikel dan pasar domestik yang luas. Di sisi lain, Vietnam tampil sebagai pendatang baru yang mencoba menembus persaingan melalui strategi harga terjangkau dan pendekatan unik.

Garis akhir dari balapan ini masih jauh. China hampir pasti tetap menjadi pemimpin dalam bebrapa dekade mendatang, tetapi kompetisi sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh siapa yang paling cepat menjual mobil. 

Faktor penentu justru terletak pada siapa yang mampu membangun ekosistem industri berkelanjutan, mulai dari penguasaan teknologi baterai, pengelolaan rantai pasok global, hingga pembangunan infrastruktur pengisian daya yang masif. 

Siapa yang akhirnya keluar sebagai juara jangka panjang masih menjadi tanda tanya. Yang jelas, balapan mobil listrik di Asia masih berlangsung dengan sengit, dan kawasan ini kini telah menjelma menjadi arena paling seru dalam revolusi kendaraan listrik global.