Tren Ekbis

Impor Tanpa Regulasi Bikin Industri TPT Merana, Lapangan Kerja Anak Muda Terancam

  • Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia dinilai bukanlah industri “sunset” seperti yang kerap diasumsikan. Mesin produksinya masih menyala, pasar ekspor masih terbuka, dan rantai pasok dari hulu hingga hilir masih ada.
Suasana aktivitas di salah satu pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang diputus pailit karena kesulitan keuangan.
Suasana aktivitas di salah satu pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang diputus pailit karena kesulitan keuangan. (Dokumentasi Internal Sritex)

JAKARTA – Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia dinilai bukanlah industri “sunset” seperti yang kerap diasumsikan. Mesin produksinya masih menyala, pasar ekspor masih terbuka, dan rantai pasok dari hulu hingga hilir masih ada.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menjelaskan alasan, ketidakjelasan arah kebijakan, regulasi yang berubah-ubah, serta masuknya impor tanpa kendali membuat industri ini seperti tertutup kabut—tersendat, tidak bisa bergerak maju.

Padahal, sektor TPT adalah salah satu penyerap tenaga kerja terbesar, terutama untuk lulusan SMP dan SMA yang jumlahnya masih mendominasi angkatan kerja usia muda di Indonesia. Di tengah potensi bonus demografi pada 2040, kelesuan sektor ini seolah menutup pintu bagi jutaan anak muda yang berharap mendapat pekerjaan di dalam negeri.

“Kalau tidak ada lapangan kerja besar yang disiapkan pemerintah, kesempatan bonus demografi akan lewat begitu saja,” ungkapnya dalam diskusi di Menara Kadin, Kamis 12 Juni 2025.

Dihantam Impor Semi-Legal dan Kebijakan Setengah Hati

Jemmy mengungkapkan, yang membuat industri tekstil lokal makin tertekan adalah praktik impor pakaian jadi dan kain secara masif tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat. Ada banyak kasus impor ilegal, under-invoicing (nilai barang dimanipulasi), hingga highest code switching—praktik mengganti kode barang untuk menghindari bea masuk tinggi.

Bahkan, ada selisih harga barang antar pelabuhan yang tak masuk akal: di Tanjung Emas, harga satu item bisa US$0,09 per kg, sementara di Tanjung Priok mencapai US$30 per kg.

Akibatnya, industri domestik yang seharusnya bisa menggeliat justru merana. “Ini bukan soal anti-impor, tapi tanpa regulasi dan level playing field yang adil, industri dalam negeri dan lapangan kerja lokal jadi korban,” tegasnya

Potensi Ratusan Ribu Lapangan Kerja

Menurut data API menunjukkan bahwa jika pakaian jadi diimpor langsung, hanya ada sekitar 8 orang yang terlibat dalam rantai produksinya di Indonesia. Tapi jika kainnya dijahit di dalam negeri, ada 70 orang yang bekerja. Dan jika seluruh proses dari serat, kain, hingga produk jadi diproduksi di dalam negeri, jumlah tenaga kerja bisa mencapai 320 orang.

Dalam konteks ini, industri TPT bukan hanya urusan ekspor, tapi juga instrumen strategis untuk membuka lapangan kerja bagi anak muda. Apalagi industri tekstil sudah terbukti menjadi “industri transisi” di banyak negara seperti Korea Selatan dan Jepang, yang mengawali transformasi ekonominya dari sektor tekstil sebelum melompat ke teknologi tinggi.

Momentum Investasi dan Tantangan Energi

Saat industri TPT dalam negeri masih tumbuh positif di 2020–2021, banyak pelaku industri mulai berinvestasi mengganti mesin-mesin lama. Mesin-mesin baru mulai berdatangan pada 2022 hingga 2024. Namun momentum ini dibayangi tantangan lain yaitu penggunaan energi bersih.

Perjanjian dagang seperti EU-CEPA mengharuskan industri TPT yang ekspor ke Eropa menggunakan energi ramah lingkungan. “Batu bara tidak diterima. Yang mungkin hanya gas. Tapi jaringan gas belum menjangkau kawasan industri utama seperti Bandung Raya dan Solo Raya,” katanya

Maka dari itu menurut Jemmy, stigma bahwa industri tekstil Indonesia sudah usang tidak sesuai kenyataan. Banyak pabrik sudah memakai teknologi otomatis dan terintegrasi dari hulu ke hilir. Mulai dari hutan tanaman industri, pengolahan serat, pemintalan, penenunan, hingga konveksi. "Kita punya dari plantation to vision. Tapi kalau tak ada dukungan regulasi, semua ini bisa stagnan."

Jika pemerintah serius memanfaatkan potensi industri TPT sebagai penyangga ekonomi dan penyerapan kerja, langkah-langkah konkret seperti penertiban impor ilegal, reformasi sistem tarif, hingga distribusi energi harus segera dilakukan. Jika tidak, ancaman kehilangan lapangan kerja bagi generasi muda hanya tinggal menunggu waktu.

Sekadar informasi, jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, naik dari 7,20 juta orang pada Februari 2024. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76%. 

Persentase setengah pengangguran pada Februari 2024 naik sebesar 1,61% poin, sementara pekerja paruh waktu turun sebesar 0,73% poin dibanding Februari 2023.