Tren Inspirasi

Ibarat Musik, AI adalah Punk Rock: Tak Perlu Pengalaman untuk Berkarya

  • Punk rock, dengan segala kesederhanaannya, justru berhasil menciptakan ruang baru bagi kreativitas. Ia membebaskan orang-orang dari tuntutan teknis yang tinggi, dan malah merayakan ide-ide liar dan keberanian untuk tampil beda.
greyson-joralemon-nEX8iFBPPko-unsplash.jpg
Ilustrasi musisi punk rock. (Unsplash)

JAKARTA - Di era ketika teknologi berkembang dengan kecepatan signifikan, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi topik yang tak bisa dihindari. Di satu sisi, banyak yang melihat AI sebagai ancaman bagi pekerjaan manusia, tapi di sisi lain, ada juga yang melihat AI sebagai peluang untuk menyederhanakan proses kreatif dan membuka akses bagi lebih banyak orang. 

Salah satunya adalah Rick Rubin, produser musik legendaris yang dikenal sebagai otak di balik banyak hits dari musisi rap dan rock dunia.

Dalam sebuah pernyataan yang menarik, Rubin menyamakan perkembangan AI dengan gerakan punk rock dalam dunia musik. “AI adalah punk rock-nya koding,” ujar Rubin, dalam wawancaranya dalam The Ben & Marc Show bulan lalu. Lantas, apa maksud dari analogi ini?

Punk Rock: Musik Tiga Kunci dan Ide Gila

Untuk memahami analogi Rubin, kita perlu menilik sejenak ke era punk rock. Di tahun 1970-an, punk rock lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap musik yang terlalu rumit dan elitis. 

Untuk bermain punk rock, seseorang tak perlu sekolah musik bertahun-tahun atau menjadi pemain instrumen kelas dunia. Cukup bisa memainkan tiga kunci gitar dan punya sesuatu yang ingin disampaikan—maka kamu sudah bisa punya band.

Itulah semangat yang membesarkan Rick Rubin. “Tiba-tiba kamu tidak perlu jadi ahli musik untuk membentuk band. Yang kamu butuhkan hanya tiga kunci dan ide,” katanya.

Punk rock, dengan segala kesederhanaannya, justru berhasil menciptakan ruang baru bagi kreativitas. Ia membebaskan orang-orang dari tuntutan teknis yang tinggi, dan malah merayakan ide-ide liar dan keberanian untuk tampil beda.

AI dan Semangat Demokratisasi Teknologi

Nah, Rubin melihat AI dengan cara yang sama. AI telah menciptakan kemungkinan bagi siapa pun untuk membuat sesuatu tanpa harus menjadi ahli dulu.

“Di masa lalu, untuk membuat musik kamu harus masuk konservatori dan belajar bertahun-tahun. Tapi kemudian datang punk rock, dan kamu bisa belajar tiga kunci dalam sehari,” jelasnya. “AI melakukan hal yang sama dalam konteks teknologi.”

Bayangkan saja, dulu seseorang harus bisa coding tingkat dewa untuk membuat sebuah aplikasi. Sekarang? Dengan bantuan AI seperti ChatGPT, GitHub Copilot, atau platform no-code/low-code seperti Bubble dan Zapier, siapa pun bisa membuat aplikasi, bahkan membangun situs web sendiri hanya dalam hitungan jam—tanpa satu baris kode pun.

Inilah yang dimaksud Rubin sebagai “demokratisasi teknologi.” AI membuka pintu bagi orang-orang yang sebelumnya tak punya akses atau keahlian teknis untuk tetap bisa menciptakan sesuatu.

Baca Juga: 6 Negara yang Larang hingga Waspadai Penggunaan DeepSeek

AI dan Otomatisasi: Dua Sisi Mata Uang

Namun tentu saja, semangat demokratisasi ini datang dengan konsekuensi. Ketika banyak tugas bisa diotomatisasi oleh AI, maka beberapa pekerjaan bisa tergantikan.

Misalnya, di sektor layanan pelanggan, chatbot berbasis AI sudah mampu menjawab pertanyaan pelanggan 24/7 tanpa perlu istirahat. Di dunia kreatif, AI seperti Midjourney atau DALL·E bisa membuat ilustrasi dalam hitungan detik.

Berdasarkan laporan McKinsey Global Institute (2023), sebanyak 30% dari jam kerja global bisa diotomatisasi pada tahun 2030 berkat AI dan otomatisasi digital. Tentu ini menjadi perhatian serius, terutama untuk pekerjaan yang sifatnya repetitif.

Namun, Rubin mengajak kita untuk melihat sisi lainnya: AI bukanlah pengganti kreativitas manusia, melainkan alat bantu. AI tidak akan bisa “menciptakan penerbangan seperti Wright bersaudara,” ujarnya, merujuk pada momen lompatan besar yang hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan imajinasi dan keyakinan gila terhadap sesuatu yang “tidak mungkin”.

Delusi Kreatif: Sesuatu yang Tidak Bisa Diajar di Universitas

Menurut Rubin, banyak terobosan besar justru muncul dari hal yang tidak masuk akal. “Semua terobosan muncul dari sesuatu yang tidak rasional,” katanya. “Itulah keunggulan manusia dibanding mesin: kita bisa percaya pada sesuatu yang mustahil.”

Ia menyebutnya sebagai delusi kreatif—sebuah dorongan batin yang membuat manusia tetap nekat mencoba sesuatu meski kelihatannya tidak masuk akal. Sementara itu, AI hanya bisa mengolah dan mengulang apa yang sudah ada, manusia mampu melompat ke ranah yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

Ini adalah argumen penting bagi siapa pun yang khawatir AI akan menggantikan semua aspek kehidupan. AI memang canggih, tetapi kreativitas, intuisi, dan “kegilaan” manusia tetap punya tempat yang tak tergantikan.

AI, Punk Rock, dan Era Kreativitas Baru

Jadi, jika dulu punk rock memungkinkan anak muda untuk membentuk band hanya dengan semangat dan tiga kunci gitar, maka kini AI memungkinkan siapa saja untuk membangun aplikasi, membuat lagu, menciptakan karya seni, hingga membuat bisnis online—tanpa harus jadi ahli dulu.

Itulah yang membuat AI layak disebut sebagai punk rock di era digital. Ia membebaskan, menyederhanakan, dan merayakan semangat “kamu bisa melakukannya juga”.

Seperti halnya punk rock yang dulu sempat dianggap remeh tapi kemudian mengubah wajah musik dunia, AI juga berada di jalur yang sama: awalnya dipandang sebelah mata, namun perlahan menjadi kekuatan besar yang mendemokratisasi kreativitas dan inovasi.

AI dan UMKM: Peluang Tak Terbatas

Contoh nyata dari efek AI ini bisa dilihat pada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dulu, untuk membuat kampanye pemasaran yang efektif, pelaku UMKM harus menyewa agensi profesional dengan biaya mahal. 

Kini, dengan bantuan AI seperti Canva AI, ChatGPT, atau bahkan Meta Ads Manager dengan AI-nya, pelaku UMKM bisa membuat desain dan strategi iklan sendiri meskipun tentunya peran manusia yang memiliki keahlian di bidang yang bersangkutan masih sangat diperlukan karena AI itu akan bekerja sesuai dengan kapasitas keilmuan dari orang yang mengoperasikannya. 

AI membantu UMKM menyusun strategi penjualan, membalas pesan pelanggan secara otomatis, bahkan menganalisis data penjualan untuk mengambil keputusan yang lebih cerdas. Ini semua membuat UMKM menjadi lebih kompetitif dan adaptif di era digital.

AI Adalah Milik Semua Orang

Apa yang dikatakan Rick Rubin bukan sekadar analogi keren. Ini adalah pemahaman mendalam tentang bagaimana teknologi bisa menjadi lebih inklusif dan humanis. AI bukan tentang menggantikan manusia, tapi tentang memberdayakan lebih banyak orang untuk berkreasi, bereksperimen, dan membuat sesuatu dari ide-ide mereka.

Dan seperti yang terjadi pada punk rock dulu, mereka yang percaya pada sesuatu yang dianggap mustahil, justru menjadi pelopor perubahan besar.

Mungkin, kita semua sedang ada di momen "tiga kunci gitar" untuk dunia digital: kita tak butuh jadi jenius, kita hanya butuh ide dan keberanian untuk mencobanya.