Harga Emas Meledak Gila-gilaan! Tapi Warren Buffett Bilang Jangan Beli Dulu, Ini Alasannya
- Harga emas menembus Rp2,51 juta per gram dan cetak rekor tertinggi 2025. Tapi Warren Buffett justru mengingatkan investor agar tidak terbawa euforia. Ini alasan sang miliarder menilai emas hanya simbol ketakutan, bukan investasi produktif.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Harga emas kembali menorehkan rekor tertinggi sepanjang masa pada Selasa, 21 Oktober 2025. Di gerai Galeri 24, harga jual emas ukuran 1 gram kini menembus Rp2,51 juta, sementara harga buyback mencapai Rp2,346 juta per gram.
Kenaikan tajam ini didorong oleh gelombang pembelian besar-besaran dari investor global dan bank sentral. Mereka berlomba mengamankan emas sebagai lindung nilai terhadap inflasi, ketidakpastian ekonomi, dan ketegangan geopolitik.
Situasi ekonomi global yang belum stabil memperkuat langkah itu. Inflasi yang naik dari 2,7% pada Juli menjadi 2,9% di Agustus menambah kekhawatiran pasar, membuat logam mulia kembali dipandang sebagai aset “aman” di tengah ketidakpastian.
Namun, di tengah euforia harga emas, Warren Buffett , investor legendaris dan CEO Berkshire Hathaway justru mengingatkan agar tidak terbawa arus. Dalam surat tahunan Berkshire Hathaway 2011, ia menulis dengan tegas bahwa emas adalah aset “tidak berguna dan tidak produktif” karena tidak
Buffett bahkan menyebut, “Investasi emas hanyalah cara untuk ikut-ikutan ketakutan.” Ia menilai bahwa harga emas hanya bergerak berdasarkan emosi dan sentimen pasar, bukan karena nilai riilnya.
“Ketika orang takut, mereka membeli emas. Ketika rasa takut mereda, mereka meninggalkannya, Itu bukan investasi, itu cerminan rasa takut.” ujar Buffett, dikutip laman Finance Yahoo, Selasa, 21 Oktober 2025
Baca juga : Berkah Aset Sitaan, TINS Siap Jadi Raksasa Timah Dunia?
Saat Buffett “Main” di Tambang Emas
Meski terkenal anti-emas, Buffett sempat membuat kejutan pada kuartal II tahun 2020. Saat itu, Berkshire Hathaway diketahui membeli saham perusahaan tambang emas Barrick Gold Corp senilai US$565 juta.
Langkah itu memicu kehebohan di kalangan pasar karena dianggap berlawanan dengan prinsip Buffett sendiri. Namun, banyak analis percaya keputusan itu bukan berasal langsung dari Buffett, melainkan dari dua manajer investasinya, Ted Weschler dan Todd Combs.
Tak lama berselang, seluruh saham tersebut dijual kembali pada akhir 2020, menandakan Buffett tetap konsisten dengan pandangannya, emas bukan tempat menyimpan kekayaan jangka panjang.
Kini, ketika harga emas menanjak tajam di tahun 2025, pasar global kembali diwarnai rasa waswas terhadap perlambatan ekonomi dan tensi geopolitik. Namun, Buffett tetap kukuh pada pendiriannya bahwa emas hanyalah simbol ketakutan, bukan sumber keuntungan.
“Jika Anda membeli satu kilo emas hari ini dan menyimpannya 100 tahun, Anda tetap akan punya satu kilo emas tidak lebih,” ujarnya dalam salah satu pidato lamanya. Pandangan itu mencerminkan filosofi investasinya, hanya menaruh uang pada aset yang bisa berkembang dan menghasilkan laba riil.
Baca juga : Jejak Panjang Wacana Mobil Nasional di Indonesia
Masih Layakkah Emas Jadi Portofolio?
Meski Buffett skeptis, sejumlah penasihat keuangan masih menilai emas punya peran tersendiri dalam strategi investasi. Laura DiFiglio, perencana keuangan dari Northwestern Mutual, menilai emas tetap layak untuk diversifikasi dan perlindungan nilai.
“Untuk investor yang fokus pada pertumbuhan dan pendapatan, saya menyarankan komposisi 90% saham dan obligasi, dengan 2,5% dialokasikan ke emas sebagai lindung nilai terhadap inflasi,” ujarnya.
Dengan kata lain, emas tetap bisa memiliki tempat dalam portofolio investasi, asalkan porsinya tidak berlebihan dan disesuaikan dengan tujuan keuangan serta profil risiko investor.
Emas berfungsi terutama sebagai instrumen lindung nilai (hedging), bukan sumber pertumbuhan utama. Saat terjadi gejolak ekonomi, inflasi tinggi, atau ketidakpastian geopolitik, harga emas cenderung naik karena banyak investor mencari aset aman (safe haven). Namun, ketika ekonomi kembali stabil dan pasar saham menguat, nilai emas sering kali stagnan atau bahkan menurun.
Karena itu, Laura menilai penting untuk menjaga proporsi investasi emas dalam batas wajar, umumnya di kisaran 2–10% dari total portofolio. Tujuannya bukan untuk mengejar keuntungan besar, melainkan menjaga kestabilan nilai kekayaan ketika pasar mengalami tekanan.

Muhammad Imam Hatami
Editor
