Tren Ekbis

Hadapi Mahalnya Properti, Co-Housing Jadi Opsi Realistis Anak Muda

  • Harga properti yang semakin melambung menjadi tembok tinggi bagi generasi muda Indonesia dalam meraih impian mempunyai hunian. Situasi ini memaksa pencarian solusi kreatif. Konsep perumahan alternatif seperti hunian komunal atau co-living bisa jadi jawaban konkret.
unnamed (4).jpg
llustrasi co-housing. (Arc Daily)

JAKARTA – Harga properti yang semakin melambung menjadi tembok tinggi bagi generasi muda Indonesia dalam meraih impian mempunyai hunian. Situasi ini memaksa pencarian solusi kreatif. Konsep perumahan alternatif seperti hunian komunal atau co-living bisa jadi jawaban konkret. 

Model hunian co-living atau co-housing yang sejatinya telah tumbuh dan berkembang di dunia barat pada dekade 70-an bukan hanya menawarkan keterjangkauan mobilitas, tetapi juga model kehidupan urban yang baru.

Sebagai salah satu manifestasi nyata dari tren ini di dalam negeri, PT Kereta Api Indonesia (Persero) melalui anak usahanya, KAI Properti, tengah menyiapkan KAI Living Gondangdia di Jakarta Pusat. 

Proyek ini dikembangkan sebagai co-living atau tempat hunian sementara dengan konsep modern, dirancang untuk menjadi alternatif bagi para komuter, profesional muda, mahasiswa, hingga ekspatriat yang beraktivitas di ibu kota.

Berdiri di atas lahan seluas 645 meter persegi, KAI Living Gondangdia akan menjulang setinggi 8 lantai, menawarkan 86 unit kamar dengan tipe Standart, Corner, dan Loft. Setiap unitnya dirancang dengan pendekatan arsitektur yang mengedepankan efisiensi ruang, optimalisasi pencahayaan alami, serta kenyamanan maksimal bagi penghuni.

Dengan mengusung tema industrial, KAI Living tidak hanya fungsional tetapi juga bertujuan menciptakan pengalaman hidup yang terhubung secara sosial dan memiliki nilai estetika.

Proyek ini merupakan bagian dari strategi optimalisasi aset PT KAI menjadi properti bernilai tinggi, sekaligus menjawab kebutuhan mendesak masyarakat urban akan tempat tinggal yang nyaman, berlokasi strategis, dan mendukung gaya hidup dinamis. 

Plt Sekretaris Perusahaan KAI Properti, Ramdhani Subagja, mengonfirmasi proyek ini menunjukkan progres signifikan. "KAI Living Gondangdia rencananya akan beroperasi pada kuartal kedua tahun 2025. Saat ini, pembangunannya telah mencapai sebesar 99.51 persen, tahapan konstruksi utama hampir rampung dan segera memasuki fase penyelesaian akhir," ujar Ramdhani belum lama ini. 

KAI Living Gondangdia (KAI).

Pihaknya menghadirkan KAI Living Gondangdia sebagai hunian yang tidak hanya nyaman, tetapi juga berada di lokasi yang sangat strategis. "Dekat dengan pusat bisnis, transportasi umum, dan fasilitas publik, hunian ini menjadi pilihan ideal bagi masyarakat urban.”

Inisiatif seperti KAI Living Gondangdia sejatinya bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Secara global, konsep hunian yang mengedepankan aspek komunal dan efisiensi sumber daya telah berkembang lebih dulu. 

Salah satu pionir dan rujukan utama adalah Sættedammen di Hillerød, Denmark, yang didirikan pada tahun 1972. Komunitas co-housing ini terdiri dari 35 rumah pribadi yang saling terhubung dengan sebuah "rumah bersama" (fælleshus). 

Di sinilah berbagai aktivitas komunal berlangsung, mulai dari agenda makan malam bersama yang terjadwal, fasilitas penitipan anak, hingga ruang serbaguna untuk kegiatan sosial lainnya. Keberhasilan Sættedammen dalam menciptakan lingkungan yang suportif, aman, dan kaya interaksi sosial telah menginspirasi ratusan komunitas serupa di berbagai belahan dunia.

Kelayakan Implementasi di Indonesia 

Lantas, mengapa konsep hunian komunal, baik dalam bentuk co-living seperti KAI Living maupun co-housing partisipatif ala Sættedammen, menjadi semakin layak dan relevan diimplementasikan secara lebih luas di Indonesia, terutama di tengah realitas kenaikan harga properti yang eksponensial?

Pertama, dari segi keterjangkauan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, harga tanah dan biaya konstruksi membuat hunian konvensional makin sulit dijangkau oleh generasi muda. Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mencatat bahwa per Maret 2024, Indeks Harga Properti Perumahan (IHPP) nasional naik 2,76% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Bahkan, sejak 2019, harga properti meningkat 10,90%, dengan rumah naik 11,19% dan apartemen 5,52%. Oleh karena itu, hunian komunal menjadi solusi rasional. Model co-living menurunkan biaya sewa lewat fasilitas bersama, sedangkan co-housing memungkinkan pembelian lahan kolektif dan pembangunan bertahap.

Kedua, efisiensi ruang dan keberlanjutan. Di wilayah urban dengan keterbatasan lahan, berbagi dapur, ruang kerja, dan fasilitas lainnya memungkinkan optimalisasi penggunaan ruang. Di sisi lain, pengelolaan bersama membuka peluang penerapan teknologi hijau dan energi terbarukan.

Ketiga, hunian komunal menjawab kebutuhan sosial generasi urban. Di tengah kehidupan perkotaan yang kerap individualistik dan soliter, banyak generasi muda merindukan ruang yang menghadirkan interaksi sosial yang hangat dan suportif. Hunian komunal menghadirkan lingkungan tempat kolaborasi, kebersamaan, dan kesejahteraan mental dapat tumbuh secara alami.

Keempat, fleksibilitas. Gaya hidup generasi muda yang dinamis dan tidak terikat pada satu tempat dalam jangka panjang cocok dengan model co-living yang menawarkan kemudahan tinggal tanpa komitmen kepemilikan jangka panjang.

Meski tantangan tetap ada, mulai dari hambatan regulasi, kepemilikan bersama, hingga resistensi budaya, inisiatif seperti KAI Living Gondangdia menunjukkan bahwa model hunian komunal dapat diterima di Indonesia. 

Dengan dukungan kebijakan yang progresif dan peningkatan kesadaran publik, model hunian ini dapat menjadi bagian penting dalam strategi jangka panjang untuk menjawab krisis perumahan serta menciptakan kota yang lebih inklusif, efisien, dan berkelanjutan.