Fakta Gunung Kidul : Laut yang Terangkat, Kini Menjadi Surga Karst Dunia
- Gunung Kidul, surga karst dunia, ungkap kisah jutaan tahun transformasi dari dasar laut menjadi dataran tinggi unik penuh gua dan sungai bawah tanah.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Dikenal dengan formasi karst Pegunungan Sewu yang masuk daftar Global Geopark UNESCO, Gunungkidul punya potensi besar menjadi destinasi wisata geologi kelas dunia. Sejarah geologi mengungkap cerita jutaan tahun lalu, dimana wilayah ini masih berupa kawasan laut tropis dangkal yang kaya terumbu karang dan biota laut.
Sekitar 15 hingga 2,5 juta tahun lalu, Gunungkidul berada di bawah laut dangkal yang hangat. Terumbu karang tumbuh subur, dikelilingi ikan, moluska, dan organisme laut lainnya.
Endapan sisa organisme ini, terutama koral dan cangkang, menumpuk selama jutaan tahun membentuk batuan gamping setebal hingga 650 meter. Jejak masa ini masih terlihat pada fosil-fosil ikan dan terumbu karang yang ditemukan hampir di seluruh wilayah Gunung Kidul, termasuk koleksi di Taman Batu Mulo.
Daratan Muncul Akibat Tumbukan Lempeng
Transformasi besar terjadi 2,5 hingga 0,7 juta tahun lalu ketika Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan Lempeng Eurasia. Dorongan tektonik mengangkat dasar laut purba hingga 200-400 meter di atas permukaan laut, membentuk dataran tinggi yang kita kenal sekarang.
Proses ini puncaknya terjadi pada masa Pleistosen Awal. Keberadaan Sesar Opak turut mempercepat pemisahan Gunungkidul dari wilayah utara seperti Bantul dan Sleman, yang dulunya sama-sama merupakan laut dangkal.
Baca juga : Jelang Big Match Trump-Putin, Siapa di Atas Angin?
Setelah terangkat, batuan gamping terpapar hujan dan mengalami proses pelarutan yang dikenal sebagai karstifikasi. Erosi perlahan membentuk bukit-bukit kerucut (cone hills), lembah cekung (doline), dan jaringan gua serta sungai bawah tanah. Beberapa yang paling terkenal diantaranya Gua Pindul, Kalisuci, dan Gua Tritis. Proses ini juga menghasilkan tanah mediterania berwarna merah, miskin unsur hara, dan rawan kekeringan.
Jejak Laut Purba yang Masih Tersisa
Bukti geologis masih banyak ditemukan di Gunungkidul. Kandungan garam pada batuan gamping di Telaga Luweng Lor menguatkan teori bahwa wilayah ini dulunya berada di bawah laut. Struktur batuan yang berlapis-lapis juga merekam perubahan lingkungan dari masa laut tropis hingga daratan kering.
Sistem air bawah tanah di wilayah ini sangat luas namun membuat 84% daerah rawan kekeringan, karena air hujan langsung meresap ke bawah tanpa banyak tersimpan di permukaan.
Kondisi lahan yang kering membuat vegetasi alami didominasi tumbuhan tahan kekeringan seperti jati dan jambu monyet. Petani setempat mengandalkan tanaman palawija serta metode bercocok tanam yang hemat air.
Di sisi lain, penelitian terbaru menunjukkan adanya risiko polusi organik pada air bawah tanah akibat infiltrasi limbah melalui batuan berpori, dengan kadar karbon organik terlarut (TOC) mencapai 4,5-6,8 mg/L di beberapa titik.
Baca juga : Jelang Big Match Trump-Putin, Siapa di Atas Angin?
Keunikan formasi karst Gunungkidul diakui dunia. Kawasan ini menjadi bagian dari Geopark Gunung Sewu, yang membentang dari Yogyakarta hingga Pacitan. Situs seperti Gua Tritis menjadi laboratorium alam yang menampilkan lapisan-lapisan batuan gamping dari Pleistosen hingga masa kini, memberi wawasan bagi ilmuwan sekaligus daya tarik bagi wisatawan.
Transformasi Gunungkidul dari laut purba menjadi lanskap karst modern adalah bukti nyata dinamika bumi yang masih terus berlangsung. Rasa asin pada batuan bukan sekadar cerita rakyat, tetapi sidik jari geologis yang menghubungkan masa lalu purba dengan kehidupan masyarakat saat ini. Dari dasar laut menjadi surga karst, Gunungkidul membuktikan bahwa sejarah alam dapat menjadi warisan tak ternilai bagi generasi mendatang.

Muhammad Imam Hatami
Editor
