Tren Ekbis

Ekspansi Nikel Bikin PDB Meroket, tapi Dompet dan Alam Makin Sekarat

  • Di balik angka pertumbuhan PDB yang memukau, riset terbaru justru memperlihatkan sisi gelapnya: ekonomi lokal malah tertekan, lingkungan rusak, dan upah pekerja jangka panjang justru anjlok drastis.
Lokasi Tambang PT Gag Nikel
Lokasi Tambang PT Gag Nikel (TrenAsia/Debrinata )

JAKARTA – Industri nikel digadang-gadang sebagai tulang punggung ekonomi masa depan. Tapi di balik angka pertumbuhan PDB yang memukau, riset terbaru justru memperlihatkan sisi gelapnya: ekonomi lokal malah tertekan, lingkungan rusak, dan upah pekerja jangka panjang justru anjlok drastis.

Riset Center of Economic and Law Studies (Celios) bertajuk “Membantah Mitos Nilai Tambah: Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel 2024” mengungkap bahwa kontribusi industri nikel terhadap PDB nasional memang tinggi di awal—mencapai Rp83,17 triliun dari fase konstruksi smelter dan fasilitas pendukungnya.

Tapi itu cuma fase awal. Masuk tahun ke-7 dan ke-9, kondisi mulai berubah. Ekonomi mulai turun, pekerjaan berkurang, dan biaya kesehatan masyarakat melonjak.

Nikel Naik, Ekonomi Lokal Keteteran

Menurut Celios, dampak paling terasa terjadi di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Dua wilayah ini sempat menikmati lonjakan ekonomi, tapi dalam hitungan tahun, sektor pertanian dan perikanan lokal justru babak belur. Nelayan kehilangan akses ke laut bersih. Petani lada rugi miliaran karena degradasi hutan dan danau.
Contohnya, nilai ekonomi lada di salah satu wilayah Sultra bisa mencapai Rp3,6 triliun per musim. 

Tapi karena kerusakan lingkungan dari pertambangan, hasil panen jadi tak pasti. Dampaknya bukan cuma ekonomi—tapi juga ke identitas masyarakat yang hidup dari alam.
Riset Celios menyebut, pada tahun ke-3, upah pekerja nikel sempat menyentuh puncaknya: Rp19,95 triliun per tahun. Tapi grafiknya langsung terjun bebas. Di tahun ke-9, justru minus Rp60 miliar per tahun. 

Artinya, bukan cuma penghasilan berkurang—tapi bisa jadi defisit karena dampak kesehatan dan produktivitas yang menurun. Sebagai pembanding, skenario yang lebih “hijau” dan berkelanjutan (RE & APC) menunjukkan tren upah yang lebih stabil, bahkan bisa mencapai Rp27,57 triliun per tahun—naik 31% dibanding jalur BAU (business as usual).

Sementara smelter dan perusahaan tambang terus ekspansi, masyarakat lokal justru makin rentan. Lapangan kerja yang dulunya produktif—seperti petani dan nelayan—digantikan oleh posisi buruh kasar tanpa jaminan. Dan ketika lingkungan rusak, biaya kesehatan dan hidup jadi lebih mahal. Fenomena ini menunjukkan bahwa hilirisasi nikel bukan jaminan kesejahteraan, apalagi jika hanya mengejar pertumbuhan angka tanpa menjaga keberlanjutan.

Buat Kamu, Generasi Muda: Ini yang Perlu Diwaspadai

• Jangan cuma lihat PDB – Cek juga distribusi manfaatnya: siapa yang kaya, siapa yang dirugikan?
• Pertanyakan model pertumbuhan – Kalau eksploitasi merusak ekosistem dan ngorbanin ekonomi rakyat, itu pertumbuhan yang cacat.
• Dukung ekonomi hijau – Pilih produk dan investasi yang berkomitmen pada ESG (Environment, Social, Governance).
• Advokasi dan edukasi – Isu ini bukan cuma soal daerah, tapi masa depan Indonesia dan generasimu.