Ekonomi Jepang Melemah, Risiko Resesi Meningkat di Tengah Inflasi
- Pelemahan ekonomi Jepang didorong oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Salah satu penyebab utama adalah lemahnya konsumsi rumah tangga, yang hanya tumbuh tipis 0,1%. Padahal, konsumsi domestik menyumbang lebih dari 60% terhadap total PDB Jepang.

Muhammad Imam Hatami
Author


TOKYO - Ekonomi Jepang kembali menunjukkan tanda-tanda pelemahan di tengah tekanan inflasi, permintaan yang lemah, serta ketidakpastian global akibat tarif tinggi dari Amerika Serikat dan gejolak perang Timur Tengah. Data terbaru menunjukkan Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang mengalami kontraksi 0,2% pada kuartal pertama 2025, meskipun angka ini lebih baik dibandingkan estimasi awal yang memperkirakan penurunan sebesar 0,7%.
Pelemahan ekonomi Jepang didorong oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Salah satu penyebab utama adalah lemahnya konsumsi rumah tangga, yang hanya tumbuh tipis 0,1%. Padahal, konsumsi domestik menyumbang lebih dari 60% terhadap total PDB Jepang.
Di sisi lain, ekspor bersih justru mencatat kontribusi negatif terhadap pertumbuhan, menyusutkan PDB sebesar 0,8 poin persentase. Kenaikan inventaris juga menunjukkan bahwa produksi tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan, menandakan pelambatan aktivitas ekonomi yang lebih dalam.
Inflasi yang terus bertahan di kisaran 3% memperburuk daya beli masyarakat Jepang. Harga pangan dan energi yang tinggi memberikan tekanan langsung terhadap belanja rumah tangga. Situasi ini menciptakan kekhawatiran bahwa konsumsi yang melemah akan semakin memperburuk prospek pertumbuhan ke depan. World Bank pun menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2025 dari 1,2% menjadi hanya 0,7%.
"Jelas, inflasi harga pangan cukup tinggi, Ketidakpastian memengaruhi investasi sekaligus konsumsi di banyak perekonomian," jelas Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia Ayhan Kose, kepada media di Washington, dilansir Japan Times, Rabu, 25 Juni 2025.
- Top! Saratoga Bagikan Dividen Rp200 Miliar
- FOMO Harga Anjlok? Tenang, Ini Cara Trading Emas Auto Cuan 2025
- Harga Emas Anjlok Pasca Israel dan Iran Damai, Sinyal Serok Investor?
Ancaman Resesi dan Sikap Hati-hati Bank Sentral
Gabungan antara ekspor negatif, konsumsi rendah, dan tekanan harga membuat Jepang berada di ambang risiko resesi teknis, kondisi ketika perekonomian mengalami kontraksi dua kuartal berturut-turut.
Meskipun belum resmi masuk resesi, tanda-tanda perlambatan ekonomi terlihat nyata. Bank of Japan (BOJ) pun mengambil sikap hati-hati dan diperkirakan belum akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat. Bank sentral memilih strategi "menunggu dan melihat", sambil terus memantau inflasi dan aktivitas industri.
Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump masih menyisakan dampak jangka panjang terhadap perdagangan Jepang. Ketidakpastian hubungan dagang AS–Jepang menjadi hambatan tersendiri bagi ekspor Jepang, terutama di sektor otomotif dan teknologi.
Perundingan perdagangan antara kedua negara juga belum menghasilkan kesepakatan besar. Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, dijadwalkan bertemu dengan Presiden Trump di sela-sela KTT G7 mendatang untuk melanjutkan dialog perdagangan yang tertunda.
Tekanan Politik dan Respons Pemerintah
Di dalam negeri, tekanan ekonomi juga memengaruhi stabilitas politik. Perdana Menteri Ishiba menghadapi penurunan tingkat dukungan publik akibat harga pangan yang melonjak dan ketidakpuasan atas penanganan krisis ekonomi.
Sebagai respons, pemerintah meluncurkan sejumlah program subsidi langsung, termasuk bantuan harga beras dan insentif energi untuk rumah tangga berpendapatan rendah. Langkah ini diharapkan dapat menekan inflasi dan memulihkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Ishiba menjelang pemilu nasional.
"Selain itu, jika kita melihat apa yang terjadi dalam konteks perdagangan, ya, memang ada turbulensi yang signifikan, dan tidak seorang pun dapat meremehkan beratnya tantangan yang kita hadapi, tetapi rantai pasokan global masih berfungsi. Rantai pasokan tidak runtuh," katanya.
Secara global, Jepang juga tidak sendirian, World Bank mencatat bahwa sekitar 70% negara di dunia mengalami penurunan proyeksi pertumbuhan. Ekonomi global secara keseluruhan diperkirakan hanya tumbuh 2,3% pada 2025, turun dari estimasi sebelumnya 2,7%.
- Top! Saratoga Bagikan Dividen Rp200 Miliar
- FOMO Harga Anjlok? Tenang, Ini Cara Trading Emas Auto Cuan 2025
- Harga Emas Anjlok Pasca Israel dan Iran Damai, Sinyal Serok Investor?
Namun, kondisi ini belum dianggap sebagai resesi global. AS masih menunjukkan kekuatan di pasar tenaga kerja, sementara Eropa dan China mengalami pelemahan tanpa mengalami kontraksi signifikan.
Meski perdagangan global sempat terguncang akibat kebijakan proteksionisme dan konflik geopolitik, rantai pasok utama masih mampu bertahan. Ketegangan dagang antara negara-negara besar perlahan mereda, dan pasokan logistik kembali stabil, terutama untuk barang-barang pokok dan komponen manufaktur.
Bank of Japan tetap menilai, negaranya perlu mempercepat upaya reformasi di sektor logistik dan kepabeanan untuk memperkuat daya saing ekonominya.
World Bank dalam laporannya juga menyerukan kepada negara-negara seperti Jepang untuk memperbaiki sistem perdagangan dalam negeri guna meningkatkan efisiensi ekonomi. Hambatan birokrasi dan tingginya biaya logistik domestik dinilai masih menjadi penghambat besar bagi pertumbuhan jangka menengah.
Selain itu, negara berkembang dan emerging markets perlu menjadi fokus kerja sama ekonomi baru guna mengurangi ketergantungan Jepang terhadap pasar tradisional.

Amirudin Zuhri
Editor
