Dulu “Bidan” Israel, Kini Inggris Dipusingkan Ekspansi Permukiman Yahudi
- Pasca-Perang Dunia I, kekalahan Kekaisaran Ottoman membuat Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui Mandat Palestina (1920–1948) yang disahkan Liga Bangsa-Bangsa.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Ada ironi besar dalam sejarah politik modern Timur Tengah. Inggris, negara yang berperan penting dalam lahirnya negara Israel, kini justru menjadi salah satu pengkritik kebijakan Tel Aviv.
Situasi terbaru terkait rencana pembangunan ribuan unit permukiman di Tepi Barat memperlihatkan betapa kompleks dan berlapisnya warisan sejarah yang ditinggalkan Inggris lebih dari seabad lalu.
Peran Inggris dalam sejarah Israel berawal dari Deklarasi Balfour tahun 1917. Surat dari Menteri Luar Negeri Arthur Balfour kepada Lord Rothschild, tokoh Zionis Inggris, menyatakan dukungan atas pendirian “tanah air nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Walau ditulis dengan klausul agar tidak merugikan penduduk non-Yahudi, deklarasi ini menjadi pijakan politik bagi gerakan Zionis.
Pasca-Perang Dunia I, kekalahan Kekaisaran Ottoman membuat Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui Mandat Palestina (1920–1948) yang disahkan Liga Bangsa-Bangsa.
Dalam periode ini, Inggris menjalankan peran ganda, mengizinkan imigrasi Yahudi ke Palestina sekaligus berupaya meredam konflik dengan penduduk Arab Palestina. Ketegangan meningkat tajam seiring bertambahnya imigran Yahudi pada 1930-an, terutama karena melonjaknya antisemitisme di Eropa.
Baca juga : Sidang PBB 2025 Bisa Jadi Game Changer untuk Palestina
Kebijakan Inggris yang tidak konsisten memicu ketidakpuasan kedua belah pihak. Orang Arab merasa terusir dari tanahnya, sementara kelompok Zionis kecewa pada pembatasan imigrasi.
Pada akhirnya, ketika konflik semakin tidak terkendali, Inggris menyerahkan masalah Palestina ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1947. Setahun kemudian, mandat Inggris berakhir dan David Ben-Gurion memproklamasikan berdirinya Israel pada Mei 1948. Dengan kata lain, tanpa keterlibatan Inggris, mungkin sejarah Israel akan berbeda jauh.
Inggris Tentang Aneksasi Tepi Barat
Kini, hampir 80 tahun setelah proklamasi Israel, Inggris ikut mengecam langkah terbaru pemerintah Israel. Tel Aviv baru saja menyetujui pembangunan 3.753 unit hunian baru, termasuk 3.401 unit di kawasan E1, Tepi Barat, yang sudah dalam tahap akhir persetujuan.
Proyek ini dianggap sangat kontroversial. Lokasi E1 terletak di antara Yerusalem Timur dan permukiman Ma’ale Adumim. Jika pembangunan dilanjutkan, maka akan tercipta blok permukiman besar yang memutus kontinuitas geografis Tepi Barat dan mengancam realisasi solusi dua negara.
Keputusan Israel tersebut langsung memicu protes internasional. Sebanyak 22 negara bersama Uni Eropa, termasuk Inggris, mengeluarkan pernyataan bersama yang menilai pembangunan permukiman baru itu melanggar hukum internasional serta bertentangan dengan Resolusi DK PBB 2334.
"tidak dapat diterima dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional. Kami mengecam keputusan ini dan menyerukan pembatalannya segera dengan tegas," tulis pernyataan bersama tersebut, dikutip Jumat, 22 Agustus 2025.
Langkah Tel Aviv juga dianggap mengancam keamanan regional karena berpotensi memicu gelombang kekerasan baru sekaligus semakin mengikis prospek perdamaian antara Israel dan Palestina.
Baca juga : Israel Tegaskan Ingin Kuasai Gaza, Mungkinkah Terwujud?
Dalam pernyataan itu, negara-negara penandatangan mendesak Israel untuk segera membatalkan rencana pembangunan serta menghentikan kebijakan pembatasan keuangan terhadap Otoritas Palestina.
"Keputusan ini tidak membawa manfaat apa pun kepada masyarakat Israel. Sebaliknya, hal itu berisiko melemahkan keamanan dan memicu aksi kekerasan dan ketidakstabilan lebih lanjut, yang justru menjauhkan kita dari perdamaian," tambah pernyataan tersebut.
Bagi Inggris, langkah ini bukan sekadar formalitas diplomatik. Pemerintah Inggris bahkan memanggil Duta Besar Israel di London untuk menyampaikan protes resmi. Sikap ini menunjukkan bahwa London semakin vokal mengkritisi kebijakan Tel Aviv, meski hubungan keduanya secara historis sangat erat.
Ironinya, Inggris lah yang dulu membuka jalan bagi berdirinya Israel. Kini, negara yang dulu menjadi “bidan” kelahiran Israel justru kerepotan menghadapi dampak dari “anak asuh” yang semakin agresif di kawasan.

Amirudin Zuhri
Editor
