Energi

Distribusi LPG 3 Kg Ruwet, Pakar Dorong Revisi Regulasi

  • Regulasi yang ada saat ini, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007, masih dianggap belum cukup jelas dalam mengatur siapa saja yang berhak menerima LPG 3 kg bersubsidi.
Skema Baru Subsidi Gas Melon - Panji 6.jpg
Nampak penjual tengah merapikan susunan tabung gas LPG 3Kg di sebuah agen gas kawasan Cipondoh Kota Tangerang.Kamis 5 Januari 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA - Pemerintah mulai menerapkan kebijakan baru terkait penyaluran LPG 3 kg. Mulai tanggal 1 Februari gas bersubsidi tersebut hanya boleh dijual di pangkalan resmi yang terdaftar di Pertamina. Kebijakan diterapkan untuk memastikan distribusi LPG 3 kg lebih tepat sasaran dan mengurangi potensi penyalahgunaan subsidi.

Meski pembatasan ini diterapkan, kebijakan tersebut dinilai tidak akan menjamin pengurangan beban subsidi LPG bagi pemerintah, hal tersebut diutarakan  Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria. 

Menurut Zakaria, jika penyaluran masih tidak tepat sasaran, maka subsidi yang dikeluarkan tetap bisa membengkak. Salah satu tantangan yang harus dilakukan adalah memastikan hanya rumah tangga miskin dan usaha mikro yang benar-benar mendapatkan LPG bersubsidi ini.

“Jika kebijakan tersebut dimaksudkan agar penyaluran LPG subsidi tepat sasaran, maka seharusnya dilakukan dengan membuat peraturan yang tegas atas siapa yang berhak atas LPG bersubsidi,” jelas Zakaria dalam keterangan resmi di Jakarta, dikutip Senin, 3 Februari 2025.

Regulasi yang ada saat ini, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007, masih dianggap belum cukup jelas dalam mengatur siapa saja yang berhak menerima LPG 3 kg bersubsidi. Sejumlah usaha menengah sering kali dianggap sebagai usaha mikro, sehingga mereka tetap mendapatkan subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu.

Solusi yang Diusulkan dan Tantangan di Lapangan

Untuk mengatasi permasalahan ini, Zakaria menyarankan agar pemerintah segera merevisi Perpres 104 Tahun 2007 agar lebih tegas dalam mendefinisikan kelompok penerima manfaat LPG bersubsidi. Selain itu, pengawasan distribusi di lapangan juga harus diperketat untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan baik.

"Oleh karenanya, hal utama yang harusnya dibenahi pemerintah adalah justru merevisi Perpres 104 Tahun 2007 khususnya terkait siapa pengguna yang berhak dan juga pengawasannya di lapangan," tambah Zakaria.

Selain masalah regulasi, kebijakan ini juga menghadapi tantangan dalam penerapannya di lapangan. Banyak pengecer yang selama ini menjual LPG 3 kg mungkin enggan beralih menjadi pangkalan resmi karena margin keuntungan yang lebih kecil. Sementara itu, masyarakat yang terbiasa membeli LPG dari pengecer karena lebih praktis juga perlu beradaptasi dengan sistem baru ini.

Pemerintah diharapkan memberikan dukungan kepada pengecer agar mereka dapat beralih menjadi pangkalan resmi. Namun, tanpa regulasi yang lebih ketat, kebijakan ini tetap berisiko tidak efektif karena pangkalan resmi masih bisa menjual LPG kepada pihak yang tidak berhak.

"Pengangkatan pengecer sebagai pangkalan semoga tidak malah membuat anggaran subsidi malah meningkat karena tidak ada yang bisa menjamin pangkalan tersebut akan menyalurkan LPG 3 kg ke pihak yang tepat karena mereka juga tak paham siapa sesungguhnya yang berhak atas LPG subsidi," pungkas Zakaria.

Pemerintah dan Pertamina terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait aturan baru ini, dengan harapan distribusi LPG 3 kg menjadi lebih tertib dan tepat sasaran.

Antrean Gas LPG 3 kg

Kelangkaan LPG 3 kg di Jakarta Selatan menyebabkan antrean panjang di sejumlah SPBU, termasuk di SPBU Fatmawati. Warga terpaksa datang lebih pagi untuk mendapatkan LPG subsidi yang semakin sulit ditemukan. 

Kasmayanti, salah satu warga, mengaku khawatir tidak bisa memasak karena biasanya ia membeli di pengecer, namun kini harus ke SPBU atau pangkalan resmi. Ia berharap pemerintah mengkaji ulang kebijakan distribusi agar masyarakat lebih mudah mendapatkan LPG.

"Harapan saya kayak dulu, biar gampang, kita kan disuruh makan bergizi dan sehat. Kalau masak sendiri susah, gimana dong," ujar Kasmayanti, dikutip Antara, Senin, 3 Februari 2024.

Kelangkaan ini juga berdampak pada pelaku UMKM seperti Rochimawati, pemilik usaha katering, yang harus menempuh jarak hingga satu kilometer untuk mendapatkan LPG. 

Selain itu, harga LPG di pasaran naik dari Rp21.000 menjadi Rp26.000, membuat operasional bisnisnya semakin sulit akibat antrean dan jarak yang jauh. Ia berharap LPG 3 kg tetap tersedia di pengecer, meskipun dengan harga lebih tinggi, agar usaha kecil tetap bisa berjalan.