Tren Ekbis

Deregulasi dan Pengawasan Rokok Ilegal Kunci Selamatkan Industri Hasil Tembakau

  • Diskusi Kadin Indonesia mengungkap ancaman ganda IHT: kerugian triliunan dari rokok ilegal dan ambiguitas kebijakan pemerintah yang menuntut adanya roadmap industri yang jelas.
NDN00204.jpg
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, dalam diskusi publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) di Jakarta (21/10), mengkritik tajam ambiguitas kebijakan pemerintah terhadap IHT. Menurutnya, industri kini seperti "berjalan tanpa GPS" karena roadmap yang dibatalkan pengadilan tak kunjung diperbaiki, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum yang serius. (Dok/Kadin Indonesia )

JAKARTA, TRENASIA.ID - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menegaskan pentingnya deregulasi dan pengawasan ketat terhadap peredaran rokok ilegal guna menjaga keberlanjutan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang selama ini menjadi salah satu penopang utama perekonomian nasional.

Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perindustrian Saleh Husin menyebut, kebocoran penerimaan negara akibat rokok ilegal mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun dan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan industri.

“Yang paling utama adalah pengawasan terhadap rokok ilegal. Dana yang seharusnya masuk ke pemerintah lenyap begitu saja. Kalau 10 persen saja dari potensi Rp230 triliun hilang, berarti sekitar Rp23–25 triliun,” ujar Saleh dalam diskusi publik bertajuk “Satu Tahun Prabowo: Harapan Deregulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau” di Menara Kadin, Jakarta, 21 Oktober 2025.

Industri hasil tembakau menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja dan menyumbang Rp216 triliun cukai pada 2024, serta menghasilkan devisa ekspor hingga US$1,8 miliar. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari US$600 juta pada 2020.

“Kontribusi ini jauh lebih besar daripada dividen yang diterima negara dari BUMN,” ujar Saleh.

Saleh mendorong Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memperkuat pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal dan mendorong terciptanya iklim investasi yang lebih kondusif bagi para pelaku industri yang taat hukum. Hingga September 2025, tercatat 13.484 kasus penindakan rokok ilegal, turun 11,3 persen dari tahun sebelumnya, namun jumlah batang rokok yang diamankan meningkat 37 persen menjadi 816 juta batang.

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai persoalan IHT harus diselesaikan secara menyeluruh melalui penyusunan roadmap pertembakauan. Ia menyoroti adanya ambiguitas kebijakan pemerintah dalam mengatur industri hasil tembakau. Ia menyebut, meskipun pemerintah telah melakukan moratorium kenaikan tarif cukai, persoalan mendasar industri ini belum tersentuh.

“Menahan kenaikan cukai saja belum menyelesaikan masalah fundamental. Kita ini seperti orang berjalan tanpa GPS karena roadmap industri hasil tembakau dibatalkan lewat putusan pengadilan, dan pemerintah tidak segera memperbaikinya,” jelasnya.

Menurut Misbakhun, ambiguitas tersebut menyebabkan pelaku industri tidak memiliki kepastian arah, sementara berbagai regulasi baru seperti PP No. 28 Tahun 2024 terus dijalankan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap ekonomi rakyat.

“Ambiguitas ini berbahaya. Roadmap tidak ada, tapi PP baru terus muncul. Ini menciptakan ketidakpastian dan menekan industri dari sisi kebijakan,” ujarnya.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika menegaskan pentingnya kepastian hukum dan penyusunan roadmap jangka panjang bagi Industri Hasil Tembakau (IHT). Ia mengungkapkan sebetulnyaKemenperin telah menyusun roadmap pengembangan industri hasil tembakau sejak 2022. Namun, dokumen tersebut masih dalam proses penyempurnaan karena kompleksitas aspek yang harus diatur.

“Roadmap ini sangat strategis bagi masa depan industri hasil tembakau. Kami sudah menyusunnya sejak 2022, tetapi belum selesai karena memang harus mencakup berbagai aspek, dari regulasi, standar, hingga arah investasi,” jelasnya.

Jurnalis Senior Bambang Harymurti, menilai bahwa perdebatan mengenai masa depan industri hasil tembakau di Indonesia selama ini kerap didominasi oleh narasi global yang tidak sepenuhnya relevan dengan konteks nasional. Menurut riset yang pernah ia lakukan, Indonesia merupakan pengecualianutama dalam studi Bank Dunia yang menjadi dasar kebijakan anti-tembakau WHO (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Riset Bank Dunia itu menjadi acuan WHO sejak 1988, industri rokok dikategorikan sebagai sektor yang sebaiknya “dihilangkan” karena dianggap merugikan ekonomi negara.

“Dasar dari framework WHO itu adalah studi Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa industri rokok lebih banyak mudaratnya secara ekonomi. Tapi bahkan dalam laporan itu disebut ada empat negara yang menjadi pengecualian, dan yang paling menonjol adalah Indonesia,” ungkap Bambang.

Namun, di Indonesia, sektor hasil tembakau justru menyumbang 8% dari total industri manufaktur nasional. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ketergantungan ekonomi terbesar terhadap sektor hasil tembakau.

“Kalau laporan Bank Dunia sendiri menyebut Indonesia sebagai pengecualian, kenapa kita justru mau ikut kebijakan global yang mengabaikan fakta itu? Ini ibarat sudah dikasih izin untuk berbeda, tapi kita malah ikut-ikutan negara lain,” tegas Bambang.

Ia menilai, kebijakan publik di sektor ini seharusnya berorientasi pada pengaturan, bukan pemusnahan.

“Rokok itu bukan barang ilegal. Tugas pemerintah adalah mengatur agar industri ini tetap sehat, bukan membunuhnya,” ujarnya.

Regulasi Yang Adil Bagi Pekerja dan Petani Tembakau

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor menegaskan pentingnya penyusunan regulasi yang berkeadilan terhadap industri hasil tembakau (IHT), agar tidak merugikan jutaan pekerja dan petani yang bergantung pada sektor tersebut.

Afriansyah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sejumlah perusahaan besar akibat tekanan regulasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Ia menegaskan, pemerintah menjamin hak-hak pekerja yang terdampak tetap terlindungi sesuai undang-undang.

“Saya ada kekhawatiran Gudang Garam akan PHK. Tapi para pekerja tidak perlu takut. Mereka akan diberikan pesangon sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.

Wamenaker Afriansyah menyatakan dukungannya terhadap gagasan penggunaan sebagian dana cukai untuk pembentukan asuransi PHK bagi pekerja rokok.

“Saya mendukung usulan agar sebagian dana cukai digunakan untuk asuransi PHK bagi pekerja rokok. Itu ide bagus untuk perlindungan mereka,” ujarnya.

Bupati Situbondo Yusuf Rio Wahyu Prayogo menegaskan bahwa industri hasil tembakau harus dilihat bukan hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga dari dimensi ekonomi, sosial, dan kultural. Sebagai salah satu daerah penghasil tembakau terbesar di Jawa Timur, Situbondo memiliki kepentingan langsung terhadap keberlangsungan industri ini.

“Situbondo adalah penghasil tembakau ketiga terbesar di Jawa Timur, produksinya sekitar 12 ribu ton per tahun. Saya hadir di sini untuk memastikan bahwa bisnis rakyat saya masih bisa bertahan, meskipun ada upaya deregulasi yang menekan industri tembakau,” ujar Rio.

Menurutnya, perdebatan seputar tembakau selama ini terlalu didominasi oleh dua kutub: pelaku industri dan kelompok kesehatan. Padahal, di tengah keduanya ada jutaan rakyat kecil yang kehidupannya bergantung pada industri ini.