DEN Beberkan Strategi Ganda Purbaya: Rp200 T untuk Likuiditas, Belanja Pemerintah Jadi Motornya
- Anggota DEN Septian Hario Seto menegaskan arah kebijakan fiskal Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menitikberatkan pada stabilitas likuiditas dan percepatan belanja negara untuk memperkuat permintaan domestik.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Pemerintah tengah menyiapkan strategi ganda untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah perlambatan ekonomi dan tingginya bunga kredit yang masih menekan sektor riil.
Langkah ini menjadi bagian dari arah kebijakan baru Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menitikberatkan pada dua hal utama: penjagaan likuiditas keuangan dan percepatan belanja pemerintah.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Septian Hario Seto mengatakan, strategi tersebut dirancang agar kebijakan fiskal dan moneter dapat saling melengkapi dalam menahan pelemahan permintaan domestik. Menurutnya, penguatan likuiditas dan percepatan realisasi anggaran menjadi kunci menjaga kepercayaan pasar sekaligus mendorong aktivitas sektor riil.
Seto menjelaskan, terdapat dua poros utama dalam strategi tersebut. Pertama, menjaga ketersediaan likuiditas melalui penempatan dana Rp200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Kedua, mempercepat belanja pemerintah (government spending) guna memperkuat permintaan domestik.
“Dalam kondisi yang tidak pasti seperti ini, yang penting adalah melakukan perbaikan kecil setiap hari. Apa yang bisa cepat dilakukan, itu yang kita dorong,” ujarnya dalam OCBC Business Forum 2025 di St. Regis Jakarta, Jumat, 24 Oktober 2025.
Likuiditas untuk Stabilitas Sistem Keuangan
Seto menegaskan, penempatan dana pemerintah di Himbara bukan semata untuk menurunkan bunga kredit secara langsung, melainkan untuk menjaga stabilitas likuiditas agar sistem keuangan tetap cair dan siap menopang pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, dampak awal dari kebijakan ini sudah mulai terlihat dari penurunan biaya dana (cost of fund) di perbankan. Kondisi ini diyakini akan menjadi pijakan penting bagi perbaikan penyaluran kredit dan efisiensi pinjaman antarbank (interbank loan).
“Kalau cost of fund turun, penyaluran kredit akan lebih baik. Lalu antarbank juga akan lebih lancar. Nanti ada second round effect yang turut mendorong bank-bank swasta,” jelasnya.
Belanja Pemerintah Jadi Motor Permintaan
Seto menekankan bahwa intervensi di sisi likuiditas perlu diimbangi dengan penguatan di sisi permintaan. Dalam hal ini, belanja pemerintah menjadi motor utama untuk menstimulasi konsumsi dan aktivitas sektor riil.
Ia mengungkapkan, meski penerimaan pajak cukup kuat sepanjang delapan bulan terakhir, realisasi belanja negara belum berjalan optimal. Karena itu, Purbaya menekankan percepatan belanja, terutama melalui stimulus fiskal dan bantuan sosial (bansos).
“Kalau pemerintahnya tidak spending, sementara kita berharap sektor swasta mau spending, itu tidak seimbang. Karena itu, dorongan belanja pemerintah menjadi sangat fundamental,” ujar Seto.
Menurutnya, percepatan penyaluran stimulus dan bansos dapat memperkuat daya beli kelas menengah bawah. Beberapa perusahaan ritel juga mulai melaporkan adanya peningkatan permintaan sejak September.
Dampak Bertahap pada Suku Bunga dan Sektor Riil
Seto menilai bahwa dampak kebijakan likuiditas dan percepatan belanja tidak bisa diharapkan instan, tetapi akan berlangsung bertahap (gradual). Ia optimistis arah kebijakan Bank Indonesia yang mulai melonggarkan suku bunga akan mempercepat penurunan cost of fund dan berimbas pada suku bunga kredit ke depan.
DEN juga mencatat tanda-tanda pemulihan di sektor riil. Berdasarkan hasil studi lembaga tersebut, terdapat 27 pabrik baru di sektor padat karya, khususnya garmen dan alas kaki (footwear), yang mulai beroperasi di Jawa Tengah, meliputi Brebes, Pekalongan, Tegal, dan Pemalang.
“Penyerapan tenaga kerjanya besar. Beberapa pabrik sudah mulai produksi dan melakukan ekspansi,” kata Seto.
Dari 27 pabrik tersebut, 10 telah menyelesaikan perizinan dan tengah dalam tahap konstruksi. Sisanya ditargetkan beroperasi tahun depan. Namun, Seto mengingatkan agar pemerintah tetap mewaspadai potensi perlambatan permintaan dari Amerika Serikat yang bisa menekan ekspor manufaktur.
Klarifikasi Soal Family Office di Bali
Seto juga menyinggung isu pembangunan family office di Bali yang sempat dikabarkan akan menggunakan dana APBN. Ia menegaskan, usulan DEN tersebut tidak melibatkan anggaran negara sama sekali.
“Justru ide ini muncul karena kita melihat tingginya capital outflow. Yang dibutuhkan bukan APBN, tapi regulasi agar dana-dana itu mau kembali masuk,” jelasnya.
Seto mencontohkan Dubai sebagai model sukses pengembangan pusat keuangan global. Bali, menurutnya, memiliki potensi serupa karena citranya sebagai destinasi internasional yang sudah akrab dengan komunitas finansial global.
“Jadi salah persepsi kalau dikira butuh APBN. Saat ini kami masih tahap studi, melihat ekosistem dan regulasi yang perlu diperbaiki sebelum melangkah lebih jauh,” pungkasnya.

Alvin Bagaskara
Editor
